Tampilkan postingan dengan label a. Makalah Ilmu Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label a. Makalah Ilmu Sejarah. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 27 September 2008

Sejarah Islam Fhilipina

PENDAHULUAN

Filipina adalah negeri kepulauan yang terdiri dari 7. 109 Pulau Tropis dengan luas total wilayah 26. 629. 000 hektare dan terdiri dari beragam etnis, bahasa, dan agama.

Meskipun lebih dikenal sebagai sebuah negara yang mayoritas penduduknya menganut katolik, wilayah Filipina sekarang ini meliputi juga beberapa kawasan yang berpenduduk muslim. Menurut catatan sensus resmi Filipina pada 1990, jumlah kelompok muslim di negara yang ber-ibu kota Manila itu adalah 5% dari keseluruhan penduduk Filipina, yakni sekitar 2’8 juta jiwa dari jumlah total populasi 65 juta penduduk. Sementara itu, berbagai sunber lainnya menyebutkan, sekarang ini setidaknya terdapat kurang lebih 7 juta penduduk muslim; artinya mencapai 10% dari total penduduk Filipina.

Jumlah itu cukup menjadikan komunitas muslim sebagai kelompok minoritas, baik dari segi budaya maupun poltik, di tengah-tengah bangsa Filipina yang mayoritas beragama Katolik. Setidaknya terdapat 12 kelompok etno-lingustik dalam masyarakat islam Filipina. Mayoritas dari mereka bertempat tinggal di kawasan Filipina selatan, khususnya di pulau Mindanao dan kepulauan Sulu.

Meskipun menyandang status minoritas, orang Islam merupakan komunitas agama terbesar di Filipina, sebuah negara dengan dominasi Katolik.

Masyarakat Islam di Filipina juga sering kali disebut bangsa Moro. Menurut catat sejarahnya istilah “Moro” merujuk kepada kata ”Moor”, “Mariscor”, atau “Muslim”. Kata “Moor” berasal dari istilah latin “Mauri” Sebuah istilah yang sering digunakan orang- orang romawi kuno untuk menyebut penduduk wilayah Aljazair barat dan Maroko. Ketika bangsa Spanyol tiba di wilayah Filipina dan menemukan sebuah bangsa yang memiliki agama dan adat istiadat seperti orang-orang “Moor” di Spanyol Andalusia, maka mereka mulai menyebut orang-orang di Filipina dengan istilah Moro.

Dalam catatan sejarah, Islam masuk ke Filipina pada Tahun 1360, tidak lama setelah Islam berkembang di Dunia Melayu. Islam sudah berkembang di beberapa kepulauan, khususnya Sulu di Filipina Selatan, setidaknya pada perempat terakhir abad ke- 13. ini berarti, bagi kawasan Filipina, kedatangan Islam Jauh lebih awal daripada kedatangan kolonial Barat, khususnya bangsa Spanyol.

Islam berkembang melalui jalur perdagangan dan disebarkan oleh para dai pengembara yang dikawasan Filipina Selatan dikenal dengan sebutan Masya ‘ika, Makhdumin, dan auliya. Kelompok- kelompok ini menyatakan diri sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW.

PERKEMBANGAN ISLAM DI FILIPINA
(secara intern; Pendidikan, Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya)

PEMBAHASAN

Faktor Pendidikan
Dalam bidang pendidikan daerah-daerah Islam sengaja di terbelakangkan supaya orang-orang islam tetap bodoh. Kalaupun pemerintah Filipina mendirikan sekolah-sekolahataupun Universitas di Filipina Selatan, adalah dengan memprioritaskan orang-orang Katolik/Kristen. Anak-anak muslim dipersukar memasuki sekolah. Orang-orang Islam ada yang terpaksa menukar agama Islam menjadi berbau Katolik/Kristen untuk memungkinkan mereka diterima sekolah atau Universitas. Karena itu, kita sering menemukan cendikiawan Islam yang namanya berbau Katolik/Kristen.

Faktor Politik
Pada masa-masa awal kemerdekaannya, Filipina tidak stabil, justru diwarnai dengan berbagai pertikaian dan pemberontakan terhadap pemerintah.

Pemerintah Filipina meneruskan politik Amerika dalam soal pertanahan, yaitu tanah-tanah orang Islam harus dibuka untuk orang-orang Katolik/Kristen. Secara besar-besaran, pemerintah Filipina mendatangkan trasmigran Katolik dari Filipina Utara ke Filipina Selatan. Dengan segala macam cara, tipu muslihat dan teror, tanah-tanah subur milik orang Islam jatuh ke tangan pihak Katolik. Pemerintah Filipina tidak sedikit pun berusaha melindungi hak milik umat Islam, bahkan sebaliknya, pemerintah memberikan fasilitas kepada kaum Katolik untuk menguasai tanah-tanah orang Islam.

Bagi banyaka kalangan muslim Filipina, Spanyol menerapkan sistem polotik divide and rule (pecah belah dan dikuasai), dan missonsacre (misi suci Kristenisasi) terhadap orang islam. Pada 1578, terjadi perang antara kaum muslim dan Spanyol yang juga melibatkan orang-orang Filipina Utara yang telah menjadi Kristen.

Peristiwa ini sering kali disebut sebagai cikal bakal pertikaian, kebencian, dan rasa tidak percaya kelompok-kelompok Kristen Filipina kepada umat Islam di Filipina Selatan.

Faktor Ekonomi
Mayoritas orang-orang Moro adalah nelayan dan petani. namun ada juga orang Islam yang bekerja disektor pemerintahan sebagai guru, administratur, personil angkatan bersenjata, pegawai kantor kehakiman, dan bahkan adapula yang terpilih sebagai gubernur.

Pemerintah disisi lain ingin mengatasi persoalan yang dihadapi kaum muslim di selatan karena diakui bahwa kaum muslim menghadapi kesulitan ekonomi yang amat serius dengan masa depan yang semakin terasing.

Faktor Sosial dan Budaya
Dalam penjelasan Cesar Adib Majul disebutkan bahwa meskipun terdapat perbedaan yang kadang-kadang agak mencolok dalam hal menerapkan tradisi kebudayaan dan hukum adat setempat, masyarakat Islam di Filipina cenderung memiliki Struktur sosial yang serupa. Sering kali, Struktur sosialnya merupakan warisan kultural yang terus dipertahankan sejak sebelum mereka menganut Islam. Contoh yang paling jelas adalah penggunaan istilah dan sistem Datu yang dianggap memiliki kekuasaan yang kuat diberi gelar “Sultan”. Sampai sekarang, meskipun sudah mulaai berkurang otoritasnya, sistem kekuasaan ini masih dipertahankan sebagian masyarakat Islam Filipina.

Kedatangan bangsa Spanyol pada 1565 ke Filipina untuk mendirikan koloni-dengan segala nuansa kekristenannya yang kemudian sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial dan budaya Filipina- secara langsung maupun tidak menghambat proses Islamisasi yang sudah berjalan sekitar 2 atau 3 abad di berbagai kawasan Filipina.



DAFTAR PUSTAKA

Ø Majul, A. Cesar, Dinamika Islam Filipina, Jakarta: LP3ES, 1989.
Ø Muzani, Saiful, Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta: PT. Pusstaka LP3ES, 1993.
Ø Harun, Lukman, Potret dunia Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985
Ø Ensiklopedia Dunia Islam Asia Tenggara

Rabu, 24 September 2008

SEJARAH ISLAM NUSANTARA

SEJARAH ISLAM NUSANTARA
Belum ada tolak ukur kesepakatan di antara para sejarawan dalam memberikan tolak ukur pada kedatangan Islam di Indonesia. Perbedaan- perbedaan tersebut, selain disebabkan oleh perbedaan-perbedaan kategori yang digunakan dalam melihat sosok Islam, juga berkaitan erat dengan perbedaan dalam memahami apa yang dimaksud dengan “Islam”. Kelompok pertama, mereka menyatakan bahwa islamisasi dapat didasarkan pada kriteria minimal formal keagamaan, seperti pengucapan dua kalimat syahadat, pemakaian nama Muslim atau pemakaian aksara Arab pada batu nisan atau pada pengambilan beberapa kata atau istilah yang berasal dari “pusat dunia Islam” seperti Timur Tengah atau Persia. Pengertian Islam seperti ini terutama dianut oleh sejarawan lokal, dan juga oleh sejumlah sejarawan asing. Sedangkan kelompok kedua, yang mayoritas digunakan oleh sejarawan asing, menggunakan aspek “sosiologi” sebagai para meter, yaitu sejauh mana Islam dan perangkat institusinya berfungsi secara aktual dan secara keseluruhan di dalam masyarakat Muslim setempat. Menurut pandanagan ini pengucapan kalimat syahadat belaka belum dapat dikategorikan atau dijadikan tolak ukur penetrasi Islam di wilayah tertentu, meskipun secara formal keagamaan sudah memadai untuk membuat seseorang menjadi Muslim. Kalau diakui sebagai penganut Islam , mereka digolongkan sebagai Muslim yang mempraktekkan ajaran Islam secara lebih taat dalam kehidupan sehari-harinya.

Kalau pengertian dan ukuran pertama digunakan , maka beberapa kawasan tertentu seperti Samudera Pasai atau Leran di Jawa Timur telah memeluk Islam sedikitnya sejak akhir abad ke-11. Ini karena masing-msing tempat ditemukan batu nisan yang bertuliskan Arab yang bertahun 1927 (di Pasai) dan 1102 (di Leran). Selain itiu, Marco Polo yang mengunjungi wilayah Samudera Pasai pada 1292 menyebutkan bahwa Perlak sudah memeluk Islam, sementara “Samara” (Samudera) masih menyembah berhala. Demikian pula, pengembara Muslim Maroko, Ibnu Battuta, yang mengunjungi pasai pada 1345 menyatakan bahwa masyarakat setempat sudah masuk Islam. Dari tempat-tempat inilah kemudian Islam menyebar keseluruh Nusantara.

Mengenai tempat asal datangnya Islam ke Asia Tenggara, sedikitnya ada empat teori besar. Pertama, teori yang menyatakan bahwa Islam datang langsung dari Arab, atau tepatnya Hadramaut. Teori ini dikemukakan Crawfurd (1820), Keyzer (1859), Niemann (1861), De Hollander (1861), dan Veth (1878). Crawfurd menyatakan bahwa Islam datang langsung dari Arab, meskipun ia menyebut adanya hubungan dengan orang-orang “Mohammedan” di India Timur. Keyzer beranggapan bahwa Islam datyang dari Mesir yang bermazhab Syafi’I, sama seperti yang dianut kaum Muslimin Nusantara umumnya. Teori ini juga dipegang NIemann dan De Hollander, tetapi dengan menyebut Hadramaut, bukan Mesir, sebagai sumber datangnya Islam, sebab Muslim Hadramaut adalah pengikut mazhab Syafi’I seperti juga kaum Muslimin Nusantara.

Teori kedua, diajukan oleh Veth yang berpendapat bahwa orang-orang Arablah yang menyebarkan Islam di Timur Tengah. Teori semacam ini juga diajukan Hamka dalam seminar “Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia” pada tahun 1962. Menurutnya Islam masuk ke Indonesia langsung dari Arab, bukan melalui India, dan bukan pula pada abad ke-1, melainkan pada abad pertama Hijriyah/7 M.

Ketiga, Teori yang mengatakan bahwa Islam di Nusantara datang dari India pertama kali dikemukakan oleh Pijnapel tahun 1872. Berdasarkan terjemahan Prancis tentang catatan perjalanan Sulaiman, Marco Polo, dan Ibnu Battuta, ia menyimpulkan bahwa orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’I dari Gujarat dan Malabar di India yang membawa Islam ke Asia Tenggara. Menurutnya , melalui perdagangan amat memungkinkan terselenggaranya hubungan antara kedua wilayah ini, ditambah lagi dengan umumya istilah-istilah Persia yang dibawa dari India digunakan oleh masyarakat kota-kota pelabuhan Nusantara. Teori ini lebih lanjut dikembangkan oleh Snouck Hurgronye yang melihat para pedagang kota pelabuhan Dakka di India Selatan sebagai pembawa Islam ke wilayah Islam baru ini. Teori Snouck lebih lanjut dikembangkan oleh Marrison pada 1951. Dengan menunjuk tempat yang pasti di India, ia menyatakan dari sanalah Islam datang ke Nusantara. Ia menunjuk pantai Koromandel sebagai pelabuhan tempat bertolaknya para pedagang Muslim dalam pelayaran mereka menuju Nusantara.

Teori keempat, yang dikembangkan Fatimi menyatakan bahwa Islam datang dari Benggali (kini Bangladesh). Dia mengutip keterangan Tome Pires yang mengungkapkan bahwa kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali atau keturunan mereka. Dan Islam muncul pertama kali di Semenanjung Malaya, dari arah pantai Timur, bukan dari Barat (Malaka), pada abad ke-11, melalui Kanton, Phanrang (Vietnam), Leran, dan Trengganu. Ia beralasan bahwa secara doktrin, Islam di semenanjung lebih sama dengan Islam di Phanrang, elemen-elemen prasasti di Trengganu juga lebih mirip dengan Prasasti yang ditemukan di Leran.

Semua teori diatas jelaslah belum final, meskipun telah banyak sejarawan yang menulis tentang masalah ini. Agenda penelitian dan penafsiran lebih lanjut menyangkut sifat penyebaran agama Islam di kawasan ini terlepas dari mana datangya Islam dan faktor-faktor apa yang menyebabkan Islam berkembang menjadi agm dominan dalam pertarungannya dengan sistem-sistem agama, kebudayaan dan tradisi lain yang sebelumnya dominan atau dalam waktu yang kira-kira bersamaan dengan datangnya Islam, berusaha pula mengembangkan pengaruhnya.

A. Proses Masuknya Islam Ke Indonesia
Teori yang menjelaskan masuknya Islam ke Indonesia cukup variatif sesuai dengan bukti historis yang para sejarawan temukan. Suatu teori menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M. Para sarjana sepakat bahwa agama Islam mulai berkembang dengan semarak pada ke-13 setelah terbentuknya komuniti-komuniti Islam dalam jumlah yang cukup besar di berbagai tempat di kepulauan Indonesia. Komuniti-komuniti itu terdiri dari kaum urban yang telah memeluk Islam dan para pendatang yang terdiri dari kaum pedagang, sarjana, ulama dan sufi. Pertanyaan kemudian adalah bagaimana proses islamisasi itu berlangsung? Melalui jalur apa Islam masuk ke Indonesia?

Menurut Hanun Asrohah menyebutkan bahwa ada tiga teori yang berbicara tentang proses Islamisasi di Indonesia, yakni pertama, teori bahwa Islam dibawa ke Nusantara melalui para pedagang Gujarat dan Arab Saudi. Kedua, Islam tersebar di Indonesia melalui para ulama (mullah). Atau dengan kata lain, menurut teori ini proses Islamisasi di Indonesia pernah dilakukan juga melalui jalur-jalur pendidikan sebagaimana yang pernah dilakukan Maulana Malik Ibrahim, Syekh Ishaq dan lain sebagainya. Dan ketiga, melalui jalur kekuasaan keraton. Teori ini mengindikasikan bahwa raja-raja di Nusantara ketika itu memiliki peran dan pengaruh signifikan dalam penyebaran Islam di Indonesia. Seorang raja yang telah masuk Islam biasanya akan diikuti oleh rakyat secara serentak. Sementara Uka Tjandrasasmita sebagaimana dikutip Badri Yatim menyebutkan bahwa saluran-saluran islamisasi melalui enam cara, yaitu:
1. Jalur Perdagangan
Tradisi berdagang dengan cara berpindah dari satu negara ke negara lainnya merupakan satu tradisi dan kerekteristik yang pernah dikembangkan oleh bangsa-bangsa Arab, India, dan Gujarat. Bahkan bisnis berdagang dijadikan sebagai jalan alternative dalam mengais rezki sekaligus penyebaran Islam di Dunia, termasuk penyebaran Islam di Indonesia.

Pada masa awal, saudagar-saudagar Muslim dikenal cukup mendominasi perdagangan di Nusantara. Hubungan pergaulan antara pedagang Muslim dengan penduduk setempat akhirnya dapat menarik hati penduduk setempat untuk memeluk Islam. Besarnya pengaruh saudagar Muslim mampu memperkenalkan nilai-nilai Islam terutama ketentuan hukum Islam mengenai perdagangan yang memberi keuntungan ekonomi secara maksimal, sekaligus mereka membatasi adanya pilihan terhadap agama-agama lain. Hubungan ini dilakukan pada abad ke-7 hingga ke-16 M, ketika itu para penduduk Indonesia masih belum mengenal Islam sebagai satu agama dan keyakinan. Pada waktu itu, masyarakat Indonesia lebih mengenal agama Hindu, Budha, pemujaan terhadap benda-benda keramat (aninisme, dinanisme) dan lain sebagainya. Para pedagang Muslim banyak bermukim di pesisir pulau Jawa yang penduduknya ketika itu masih kafir. Bahkan mereka berhasil mendirikan mesjid-mesjid dan mendatangkan mullah-mullah dari luar sehingga jumlah mereka menjadi benyak.

2. Jalur Perkawinan
Penyebaran Islam di Indonesia banyak didukung oleh adanya hubungan perkawinan antara bangsawan yang notabene pedagang Muslim dengan para wanita dari kalangan bangsawan. Mungkin tidak sedikit para ulama (mullah) yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman pada masyarakat Indonesia yang kemudian diambil menantu oleh para bangsawan terkemuka. Sebut saja Sunan Ampel (Raden Rahmat) kawin dengan Nyi Manila, Sunan Gunung Djati kawin dengan Kawunganten, dan sebagainya.

3. Jalur Tasawuf
Pengajar-pengajar tasawuf atau para sufi, mengajarkan teosofi yang bercampur dengan ajaran-ajaran yang bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalam soal-soal magis dan mempunyai kekuatan-kekuatan menyembuhkan. Diantara mereka ada juga yang mengawini putri-putri bangsawan setempat. Dengan tasawuf, “bentuk” Islam yang diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama Hindu, sehingga agama baru itu mudah dimengerti dan diterima. Di antara ahli-ahli tasawuf yang memberikan ajaran yang mengandung persamaan dengan alam pikiran Indonesia pra-Islam itu adalah Hamzah Fansuri di Aceh, Syaikh Lemah Abang, Sunan Panggung di Jawa. Ajaran mistik seperti ini masih berkembang di abad ke-19 M bahkan di abad ke-20 M ini.

4. Jalur PendidikanIslamisasi juga melalui pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang diselanggarakan oleh guru agama, kiai-kiai, dan ulama-ulama. Di pesantren atau pondok-pondok itu, calon ulama, guru agama,dan kiai mendapat pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren, mereka pulang ke kampung masing-masing kemudian berdakwah ke tempat tertentu mengajarkan Islam. Misalnya pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta Surabaya dan Sunan Giri di Giri. Keluaran pesantren Giri ini banyak yang diundang ke Maluku Untuk mengajarkan agama Islam.

5. Jalur Kesenian
Saluran Islamisasi melalui kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukan wayang. Sunan Kalijaga adalah pencipta wayang kult dan tokoh yang paling mahir dalam mementaskan wayang, dan kini kesenian itu menjadi kesenian tradisional Jawa yang paling popular hingga saat inii. Sunan Kalijaga tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi ia meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian besar cerita wayang masih dipetik dari cerita Mahabharata dan Ramayana, namun telah dipangkasi akar-akar hinduisme di dalamnya. Di dalam cerita itu disisipkan ajaran dan nama-nama pahlawan Islam. Kesenian-kesinian lain juga dijadikan alat Islamisasi, seperti sastra (hikayat, babad, dan sebagainya), seni bangunan dan seni ukir.

6. Jalur Politik
Di Maluku dan Sulawesi Selatan, kebudayaan rakyat masuk Islam setelah rajanya memeluk Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya Islam di daerah ini. Di samping itu, baik Sumatera dan Jawa maupun di Indonesia bagian timur, demi kepentingan politik, kerajaan-kerajaan Islam memerangi kerajaan-kerajaan non-Islam. Kemenangan kerajaan Islam secara politis banyak menarik penduduk kerajaan bukan Islam masuk Islam.

Ada faktor yang cukup menentukan bagi cepatnya perkembangan Islam di Indonesia, khususnya antara abad ke-13 hingga abad ke-17, yang sering dilupakan oleh para pengkaji sejarah Islam. Factor itu ialah peranan organisasi dagang yang disebut ta’ifa, semacam gilde yang mempunyai jaringan perdagangan yang luas mulai dari Istanbul, Turki, hingga ke Sumatera dan pulau Jawa. Anggota-anggota ta’ifa tidak hanya terdiri dari para saudagar dan bangsawan kaya. Tetapi juga bekas tentara yang ingin mengabdikan diri bagi penyebaran agama Islam, para ulama dan sarjana dari berbagai disiplin ilmu, muballigh, penyair, sastrawan, sufi, seniman, pengrajin, pengusaha pabrik tekstil, parabot, keramik dan lain-lain, guru agama dan bahasa Arab, pakar perkapalan dan pelayaran, tabib dan banyak lagi profesi yang terlibat dalam sebuah ta’ifa.

B. Kontribusi Umat Islam Terhadap Pembinaan Masyarakat, Bangsa dan Negara Indonesia
Islam sebagai satu bentuk keberagamaan yang memiliki karekteristik dan watak seperti ajarannya yang terbuka (inklusiv), dapat menampung dan menerima ajarannya agama terdahulu yang masih sesuai dengan ajaran Islam (akomodatif), bersifat egaliter,reformatif dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan inti ajaran Islam itu sendiri yakni memposisikan semua ajarannya sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin).

Dalam persoalan politik, kehadiran Islam di beberapa tempat mendorong terjadinya perubahan pola kekuasaan dan melahirkan kesatuan-kesatuan politik Islam dalam bentuk kesultanan-kesultanan. Agama Islam juga membawa berbagai pandangan baru yang revolusioner untuk masa itu. Bagi Nurcholis Madjid kondisi Islam yang seperti itu dengan dua alasan sebagai berikut, pertama, sifat Islam sebagai agama egaliter radikal yang berakibat pada penyudahan sistem kasta dalam masyarakat Hindu Nusantara dan penghentian praktek sati (keharusan seorang janda untuk terjun ke dalam api yang juga digunakan untuk membakar jenajah suaminya). Kedua, Islam dengan kesadaran hukumnya yang amat kuat telah melengkapi penduduk nusantara khususnya para pedagang dengan sistem hukum yang berjangkauan internasional yang mampu mendukung kegiatan perdagangan dalam konteks ekonomi global yang saat itu sedang dalam kekuasaan Islam.

Dalam bidang ekonomi sosial Islam telah membuka masyarakat untuk senantiasa berlaku adil dalam melakukan transaksi, tidak berbuat curang dalam timbangan, harus ada kesepakatan antara penjual dan pembeli serta bagaimana konsep keseimbangan, tidak boros atau tidak berlebihan yang dianjurkan al-Qur’an juga mampu menciptakan suasana kehidupan manusia yang sehat, damai dan sejahtera. Dengan demikian, kedatangan Islam sesungguhnya bukan tanpa makna bagi kehidupan umat manusia, Islam banyak memberikan kontribusi dan peran signifikan di setiap sektor kehidupan manusia.

Dalam konteks Indonesia, kedatangan Islam sejak abad ke-7 M telah menampilkan sebuah pola dan sikap keberagaman yang bisa diterima oleh hampir sebagian masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa alasan antara lain, pertama, tidak sedikit para pedagang yang berbangsa asing yang pada akhirnya menetap di nusantara, bahkan menikah dengan wanita pribumi. Kedua, banyak kerajaan-karajaan di Nusantara yang pada akhirnya bergabung dengan Islam.

Dengan demikian, keberadaan Islam pada akhirnya dapat diterima oleh masyarakat dan mampu memainkan peran yang cukup penting dalam berbagai bidang, terutama dalam bidang pendidikan, politik, sosial ekonomi perdagangan dan kebudayaan.

1. Kontribusi Umat Islam Sebelum KemerdekaanDalam kancah politik, Islam memiliki doktrin bahwa rasa nasionalisme terhadap tanah air, cinta tanah air (hubbull watan) menjadi ciri mendasar ajaran Islam itu sendiri. Doktrin yang dimiliki umat Islam yang pada akhirnya menggugah rasa nasionalisme yang kuat terhadap hati mayoritas masyarakat Muslim di Indonesia untuk berjuang dalam mempertahankan bumi pertiwi. Nasionalisme ini bisa dibuktikan melalui cara peperangan langsung (fisik) atau dapat juga melalui jalur diplomasi. Perjuangan fisik ini dapat dibuktikan dengan serangkaian usaha yang dilakukan para pahlawan Indonesia seperti, Pangeran Diponegoro (1785-1830 M) dari Yogyakarta, RA Kartini dari Jawa, Cut Nyakdin dari Aceh, Imam Bonjol dari Sumatera barat, Sultan Hasanudin dari Banten, Syarif Hidayatullah dari Cirebon, Budi Utomo ((1908-1939 M) dan pahlawan lainnya yang berusaha menentang penjajah dengan satu tujuan agar Negara Kesatuan Republik Indonesia ((NKRI) kembali kepangkuan ibu pertiwi.

Perjuangan melalui jalur diplomatik seperti yang pernah dilakukan para pahlawan lainnya seperti Haji Agus Salim dan Abdoel Moeis sebagai tokoh central Sarekat Islam (1915), KH. Ahmad Dahlan (1869-1923 M) yang kemudian mendirikan organisasi beraliran modernis (1912), KH. Hasyim Asy’ari mendirikan organisasi tradisionalis Nahdatul Ulama (1926), KH. Abdullah Ahmad yang kemudian mendirikan Madrasah Adabiyah di Padang Sumatera Barat, Moh Hatta, Moh Yamin Moh Syahrir, Moh Natsir, H. Samanhoedi, Adam Malik, H. Abdul Karim Abdullah. Sebagian besar dari tokoh tersebut juga dicatat dalam sejarah sebagai tokoh yang pernah mengonsep Piagam Jakarta yang kemudian dijadikan sebagai dasar pembentukan falsafah negara Indonesia yakni Pancasila. Dan masih banyak pahlawan Islam lain yang mencoba melakukan serangkaian usaha demi memajukan bangsa Indonesia.

Dalam pendidikan, umat Islam juga memiliki peran yang cukup signifikan. Hal ini dapat dibuktikan dengan upaya yang dilakukan oleh para tokoh Muslim tersebut, misalnya KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari dalam merespon pendidikan yang diterapkan oleh Belanda yang cukup sekuler, tidak berpihak kepada rakyat kecil, dan mendikhotomikan ilmu pengetahuan agama dan Ilmu pengetahuan umum, dengan lembaga yang bisa merespon keinginan masyarakat Indonesia secara luas, yakni pendidikan pesantren dan madrasah. Melalui lembaga pendidikan ini masyarakat Indonesia dapat belajar ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum secara seimbang. Pendidikan Islam tidak menghendaki terjadinya dikotomi keilmuan, sebab dengan adanya sistem dikotomi menyebabkan sistem pendidikan Islam menjadi sekularistis, rasionalistis, empiris, intuitif dan materialistis. Keadaan demikian tidak mendukung tata kehidupan umat yang mampu melahirkan peradaban Islam.

Terlepas dari perbedaan usaha yang coba dilakukan para tokoh tersebut yang pasti sebelum kemerdekaan RI usaha negoisasi melalui jalur politik, pembinaan akhlak melalui pendidikan agama dan organisasi keislaman, usaha perbaikan ekonomi atas prakarsa organisasi Sarekat Dagang Islam dan lain sebagainya. Usaha-usaha tersebut yang pada akhirnya membuk mata hati rakyat Indonesia untuk bersatu, demi satu kata Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sehingga pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka dan kembali ke bumi pertiwi.

2. Kontribusi Umat Islam Setelah KemerdekaanTerbentuknya NKRI tidak lantas mengakhiri perjuangan yang pernah dilakukan para pendiri dan pahlawan Indonesia. Serangkaian usaha dalam rangka perjuangan bangsa Indonesia terus dilakukan demi sebuah cita-cita yang sangat ideal, yakni menciptakan negara yang baldatun thayyibatun warabbun ghafur. Oleh karena itu, pasca kemerdekaan, umat Islam terus berupaya dan berjuang terutama dalam rangka pembinaan moralitas bangsa, mengisi pembangunan, perbaikan pendidikan, dan perbaikan sumber daya manusia Indonesia.

Kehadiran Departemen Agama dapat dikatakan sebagai satu di antara banyak kontribusi yang dilakukan umat Islam. Departemen ini didirikan pada 3 Januari 1949 berdasarkan UUD 1945 pasal 29, bahwa Negara berdasarkan atas ketuhanan Yang Maha Esa dan bahwa Negara menjamin kemerdekaan atas setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.

Selain itu juga, lahirnya lembaga-lembaga keagamaan seperti Majlis Ta’lim, pesantren salaf dan pesantren modern, serta munculnya Islamic Boarding School merupakan kontribusi riil yang coba dimainkan umat Islam. Kehadiran lembaga-lembaga tersebut secara tidak langsung telah memberi warna tersendiri bagi perjalanan sejarah Sistem Pendidikan Nasional.

Melalui jalur pendidikan, mulai dari tingkat Taman Pendidikan al-Qur’an ((TPA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah ((MA), dan IAIN, STAIN serta UIN, juga merupakan satu kontribusi yang sangat bernilai. Lembaga-lembaga pendidikan yang bernaung di bawah Depag tersebut di samping telah ikut andil dalam membantu mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang tertuang dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, juga tidak sedikit investasi materi yang lahir melalui peran lembaga tersebut.

Peranan umat Islam dalam mengisi kemerdekaan juga bisa dilihat dari berbagai serangkain usaha, tindakan yang kemudian berimbas pada lahirnya organisasi seperti, MUI, ICMI, Bank Muamalat Indonesia (BMI), lembaga pemerintahan seperti Depag RI, perundang-undangan seperti undang-undang peradilan agama, Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan lain sebagainya.

Didirikannya Majlis Ulama Indonesia ((MUI) sebagai lembaga yang bertugas menampung segala aspirasi keagamaan dari organisasi Islam, menyeleksi dan mengevaluasi tentang kehalalan atau keharaman suatu makanan, juga memberi fatwa keagamaan secara mutlak kepada umat Islam, sehingga keberadaannya harus dijadikan sebagai rujukan dan dapat memenangkan seluruh masyarakat Muslim tanpa terkecuali.

3. Islam Indonesia dan Tantangan Masa Depan
Islam Indonesia adalah etnis yang sah dan refresentatif dari masyarakat Islam internasional dan tidak harus diapresiasi sebagai bagian menyimpang kesadaran keummatan-keislaman intenasional. Umat Islam yang satu bukanlah sebuah bentuk di mana setiap bagiannya harus menyerahkan kepalanya masing-masing untuk diseragamkan dalam segala hal. Memang terdapat keseragaman nyata di wilayah teologis, syari’ah, dan ubudiyah, namun itu bukan berarti keseragaman dalam semua hal. Islam justeru mentoleransi sejumlah perbedaan dan menganggapnya sebagai rahmat.

Hal ini penting untuk dicatat mengingat konstalasi global saat ini secara sepihak menempatkan Islam vis a vis barat dalam medan pertentanagan fisik yang saling menafikan. Peristiwa 11 September 2001 di New York, perang As melawan Taliban, kehancuran Palestina dan pengepungan Iraq seolah-olah menjadi fakta tunggal umat Islam.

Ini diperparah lagi dengan kampanye barat yang intens bahwa Islam identik dengan kekerasan dan apa yang disebut mereka sebagai terorisme sebagaimana tercermin melalui jaringan Al-Qaeda, Otsama bin Laden, Rezim Taliban, Saddam Husein atau Imran Khoemeini. Barat memang tidak pernah mau serius berdialog secara sejajar dengan umat Islam secara keseluruhan.

Di sisi lain, kampanye barat ini berdampak pada semakin bermunculnya kelompok minoritas Islam garis keras (saat ini mulai berkembang subur di Indonesia) yang bermimpi menciptakan komando (kekhalifahan) tunggal dan menyeru untuk berkonfrontasi secara fisik dengan Amerika. Agenda kelompok ekstrim ini seolah-olah mendominasi aktivitas umat Islam internasional yang berjumlah 1 milyar jiwa.

Persoalan ini yang harus dipecahkan secara kreatif dan substantive oleh seluruh umat Islam internasional, termasuk di Indonesia. Kesadaran dan kenyataan Islam Indonesia adalah modal yang besar dan strategis guna melakukan agenda dan tugas-tugas peradaban dan cultural baik dalam area domestic, regional, maupun internasional. Kita harus mampu melanjutkan contoh yang baik dari para pendahulu kita seperti komunitas Wali Songo dalam mengapresiasi perbedaan, improvisasi cultural maupun penyusunan agenda-agenda besar di masa depan.



DAFTAR PUSTAKA

Asrohah, Hanun, Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: Logos. 2000)
Azra, Azyumardi, Perspektif Islam di Asia Tenggara. (Jakarta: Yayasan obor Indonesia. 1991)
Gholib, Achmad, Study Islam: Pengantar Memahami Agama, Al-Qur’an, Al-Hadist & Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Faza Media, 2006)
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)
Madjid, Nurcholis, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan Indonesia. (Jakarta. Paramadina. 1997)
Noer, Deliar, Membincang Tokoh-tokoh Bangsa. (Bandung: Mizan, 2001)
Nurdin, Ali & Abd. Aziz Hasibuan, Islam dan Prospek Keberagamaan di Indonesia, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006) cet.1
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004)




SEJARAH ISLAM NUSANTARASEJARAH ISLAM NUSANTARASEJARAH ISLAM NUSANTARASEJARAH ISLAM NUSANTARASEJARAH ISLAM NUSANTARASEJARAH ISLAM NUSANTARASEJARAH ISLAM NUSANTARASEJARAH ISLAM NUSANTARASEJARAH ISLAM NUSANTARA

SEJARAH DAN PEMBANGUNAN

PENDAHULUAN

Dalam makalah ini akan membahas sejarah dan pembangunan dimana dalam pembahasan ini hanya untuk mengulas pembangunan secara singkat, sekedar memberi contoh tentang berfikir kritis secara sejarahwan. Untuk mengetahui persoalan yang akan timbul akibat pembangunan, orang dapat belajar dari evolusi sejarah. Kegiatan pembangunan dalam sejarah terdapat empat tahap, yaitu: Perencanaan (planning), Pelaksanaan, Pengawasan (monitoring), dan Penilaian (evaluating).

Sejarah pembangunan di Indonesia akan di lihat sebagai sebuah perkembangan dengan melakukan pendekatan sejarah oleh sejarawan, yang bertugas memberi pertimbangan, baik melalui sejarah perbandingan, paralelisme sejarah ataupun evolusi.

SEJARAH DAN PEMBANGUNAN
Selama ini orang beranggapan bahwa sejarah memang punya kegunaan pragmatis, diantaranya pendidikan dan pencarian jati diri bangsa, tetapi tidak mempunyai kegunaan praktis, oleh karena itu sejarah tidak dianggap merupakan bagian dari inteligensi bersama.

Kegiatan pembangunan dalam sejarah terdapat empat tahap, yaitu:
a. Perencanaan (planning)
b. Pelaksanaan
c. Pengawasan (monitoring), dan
d. Penilaian (evaluating)
Setidaknya, sejarah sebagai ilmu akan berguna dalam perencanaan dan penilaian, sedangkan untuk pelaksanaan dan pengawasan, terserah pada “kelincahan” sejarawan.
Mengapa sejarah berguna dalam perencanaan dan penilaian? Ada tiga cara untuk memehami semuanya itu, diantaranya adalah:
a. Sejarah perbandingan (comparative history); membandingkan pembangunan di satu tempat dengan tempat lain.
b. Paralelisme sejarah (historical parallelisme); kesejajaran antara masa lalu dan masa tertentu, dan
c. Evolusi sejarah (historical evolution);

KASUS – KASUS PEMBANGUNAN
Sejarah pembangunan di Indonesia akan dilihat sebagai sebuah perkembangan. Artinya, hari ini harus lebih baik daripada hari kemarin. Tugas sejarawan ialah memberi pertimbangan, baik melelui sejarah perbandingan, paralelisme sejarah, ataupun evolusi. Sejarawan yang bekerja di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) harus menyadari bahwa tolak ukur pembangunan adalah Pancasila dan UUD 45 serta kerangka acuannya adalah GBHN. Jadi, dalam hal ini sejarawan sama dengan ahli ilmu-ilmu yang lain, adalah bagian dari kecerdasan bersama. Bedanya terletak dalam kemampuan sejarawan untuk membanding ke samping, ke belakang, dan dalam perspektif evolusi, karena itu diharapkan sejarawan dapat berfikir denag pendekatan sejarah.

 Pembangunan Ekonomi
Di dalam pembangunan ekonomi pemerintah mempunyai kehendak atau wewenang dalam melakukan perencanaan dan perizinan, baik pemilik pembangunan itu swasta maupun pemerintah itu sendiri. Wewenang itu sendiri diantaranya adalah:
a. Imbauan supaya perusahan menyerahkan sebagian saham kepada karyawan; perusahan yang menerapkan sistem ini ialah sebagian industri pers.
b. Pembangunan Kawasan Timur Indonesia; maksud dari PKTI adalah pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia, bukan hanya wilayah Indonesia bagian Barat saja. seperti yang telah dicanagkan pada PELITA V,dan
c. Inpres Desa Tertinggal; yang di maksud disini adalah suatu usaha untuk meminimalisir adanya kemiskinan dalam masyarakat, (memberikan bantuan-bantuan kepada daerah-daerah tertinggal). IDT sendiri mulai direalisasikan pada PELITA VI.

 Pembangunan Pertanian
Di dalam pembangunan pertanian akan di bahas dua isu, yaitu:
a. Ketimpangan harga hasil sektor pertama dengan barang sector kedua dan jasa sektor ketiga, dan
b. Pergeseran dari natural resource ke human resource.

Sekarang ini sektor pertanianlah yang terpaksa “dikorbankan” untuk menbiayai industri, meskipun semboyan pembangunan mengutamakan pertanian. Dengan kata lain, desa menyubsidi kota. Dalam sejarah Industrialisasi memang terdapat tiga pendekaran. Pertama, USSR dahulu mengutamakan industri. Kedua, RRC yang kemenangan revolusinya berkat bantuan petani di desa-desa, mengutamakan pembangunan pertanian daripada industri. Ketiga, ada keseimbangan antara sektor pertanian dan sektor industri.

Di Indonesia sekarang ini hamper tidak ada peranan politik dari petani. Walhasil, petani “dikorbanka” dengan kompensasi. Selain itu, pertanian juga terpengaruh olehglobalisasi dan liberalisasi. Perpindahan dari natural resource ke human resource menyebabkan produk pertanian Indonesia, misalnya karet,tembakau, kopra dan kelapa sawit harus ditingkatkan mutunya. Peningkatan wajar dari enam ke sembilan tahun diharapkan dapat menaikkan mutu human resource.

 Pembangunan Pendidikan
Dalam pembangunan pendidikan ada dua hasil dianyaranya, yaitu:
a. Hasil yang dimaksudkan (intended results); ialah hasil yang langsung, seperti peningkatan kecerdasan danpenyediaan tenaga kerja, dan
b. Hasi yang tidak dimaksudkan (unintended results); ialah hasil yang tidak langsung, misalnya mobilitas vertikal dan integrasi nasional.
Pendidikan umum di Indonesia sudah dimulai oleh pemerintah kolonial, dengan maksud menyediakan tenaga kerja untuk pemerintah, pabrik dan pendidikan. Program ini bersaing dengan pendidikan tradisional. Pemerintah kolonial selalu mengeluarkan angka statistic yang menunjukan kemajuan pendidikan umum dibandingkan dengan penurunah pendidikan pesantren.

Di Indonesia, di masa lalu dan masa kini, pendidikan juga mempunyai efek integrasi nasional. Integrasi nasional melelui pendidikan terjadi, misalnya, lewat nyanyian, ilmu pengetahuan, matematika, bahasa, dan sejarah. Sedangkan tantangan bagi integrasi nasional ialah makin terbaginya Indonesia ke dalam kelas. Meskipun hal itu sudah di antisipasi melalui pelarangan SARA, tetapi adanya kelas yang objektif tidak terhindarkan.

 Pembangunan Agama
Sekalipun ada banyak agama di Indonesia, seperti Islam, Protertan, Katolik, Hindu, dan Budha, di simi hanya akan dibicarakan pembangunan Agama Islam. Dinyatakan bahua Indonesia bukan Negara agama, tetapi juga bukan Negara sekuler, berarti bahua agama yang diakui mendapat perhatian yang sama dan masuk dalam jajaran
Depertemen Agama.
Depertemen Agama mempunyai sejarah sendiri. Meskipun pada kerajaan-kerajaan tradisional sudah ada semacam urusan agama, tugas utamanya ialah pengdilan. Sememtara itu, pendidikan agama diserahkan pada masyarakat. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, Depertemen Agama semakin diperluas. Menjadi tugas nasional untuk menunjukan bahwa depertemen itu bukanlah hanya sebuah “jendela pameran”, tetapi mempunyai subtansi yang sungguh-sungguh, sebagai Negara Pancasila.
KESIMPULAN
Dikatakan sejarah sebagai suatu ilmu dan berhubunga langsung dengan pembangunan, maka dalam kegiatan pembangunannya sejarah mempunyai empat tahap yaitu, perencanaan (planning), pelaksanaan, pengawasan (monitoring), dan penilaian (evaluating).

Selain itu dalam sejarah pembangunan terdapat beberapa kasus pembangunan diantaranya adalah: Pembangunan Ekonomi; di sini pemerintah mempunyai peranan yang sangat penting dalam menentukan kebijakan-kebijakan terhadap para pelaku ekonomi. Pembangunan Pertanian; sebagai korban untuk pembangunai industri, pertanian mengusung dua isu yaitu, ketimpangan harga hasil sektor pertama dengan barang sektor kedua dan jasa sektor ketiga dan pergeseran dari natural resource ke human resource. Pembangunan Pendidikan; ada dua hasil yang di usung dalam pembangunan pendidikan yaitu, hasil yang dimaksudkan dan hasil yang tidak dimaksudkan. Pembangunan Agama; di dalam pembangunan agama di Indonesia hanya di bahas pembangunan agama Islam saja meskipun di Indonesia ada lima agama yang diakui.


DAFTAR PUSTAKA

 Kuntowijoyo. Prof. Dr, Pengantar Ilmu Sejarah, Benteng Pustaka, Jakarta, 2005.

Senin, 22 September 2008

TEMUKAN MAKALAH/ARTIKEL YANG ANDA CARI DI SINI:
Custom Search

Posting Terkini