Tampilkan postingan dengan label Profil Tokoh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Profil Tokoh. Tampilkan semua postingan

Kamis, 23 Oktober 2008

Farag Fouda

"Saya adalah warga negara Mesir yang menyesalkan Nasib Mesir yang tanpa diantisipasi oleh siapapun sedang terseret ke arah yang tidak diperkenankan Tuhan." -Farag Fouda-

Tepat di tahun 1992 lalu, mata dunia terhenyak dengan tragedi kematian yang menimpa pemikir satir Mesir bernama Farag Fouda. Beberapa hari sebelum dibunuh sekelompok dari Universitas Al-Azhar mengeluarkan pernyataan bahwa Fouda, berdasarkan pikiran dan tulisannya, telah menghujat agama dan karenanya keluar dari Islam. Ini berarti, Fouda adalah musuh Islam dan halal darahnya. Di sini, labelisasi halal berarti boleh dibunuh. Sebelumnya, kelompok ulama yang sama menerbitkan nama-nama orang yang dianggap memusuhi Islam dan Fouda berada di urutan pertama. selanjutnya fatwa inilah yang dijadikan alat legitimasi para pembunuh Fouda untuk berdalih.

Kematiannya ini bukan saja membuat kalangan pemikir kebebasan lainya merasa kehilangan tapi juga miris, sedih, marah, goncang dan sesal tiada terkira. Farag Fouda dikenal oleh masyarakat Mesir sebagai seorang satir (pengejek) bagi mereka yang semena-mena, yang berada dipuncak kekuasaan. Terhitung sejak masa kepemimpinan Islam masa lalu hingga puncak kuasa para diktator di negara-negara muslim saat ini, pun tidak lepas dari kritikan pedasnya.

Kasus pembunuhan ini dilakukan oleh dua orang anggota Jama'ah Islamiyah, sayap ekstrimis Ikhwanul Muslimin. Tokoh-tokoh Islam Mesir yang dianggap moderat tidak mengungkapkan kecaman apapun atas kematian yang menimpa Fouda bahkan cenderung bersikap acuh agar tidak terkena getahnya, terlebih diantara kaum moderat tersebut justru ikut mengecam Fouda atas kritiknya yang terlalu frontal, adalah penyebab yang berujung pada kematian.

Konteks sosial politik mesir lalu menjadi hal menarik dan sekaligus unik untuk kita jadikan kaca perbandingan. Di sisi pertama sebagian masyarakat muslim Mesir menilai bahwa umat Islam saat ini memasuki sindrom jahiliyah modern. Dalam perkembangannya doktrin ini melahirkan kelompok-kelompok Islam garis keras. Diantaranya seperti Jama'ah Islamiyah, Takfir wal Hijrah dan kelompok Jihad Islam, yang kesemuanya tercatat sebagai anak kandung dari Rahim Gerakan Ikhawanul Muslimin.

Sedangkan disisi lain, adalah mereka yang menganggap bahwa modernisasi yang di antarkan oleh Napoleon Bonaparte (seorang Raja Prancis) beberapa abad silam melalui proses kolonialisasi adalah pijakan awal, bagi proses beralihnya laku kejumudan berfikir ke arah pembaharuan peradaban dan pengetahuan bangsa Mesir saat itu.

Bagaimana tidak, hasil silang kebudayaan timur dan barat di negara tersebut, melatarbelakangi sebuah peradaban pemikiran baru yang menampilkan wajah Islam yang rindu akan kemajuan dan keluasan ilmu pengetahuan. Hal ini sekilas tersirat dalam catatan-catatan kecil Albert Hourani seorang pemikir liberal, di beberapa karyanya. Hourani melihat negara timur yang berbeda, sangat jelas bahwa Mesir banyak menelurkan pemikir-pemikir yang memberikan semangat pembaharuan, sebut saja Afghani dan Abduh, di masa awal dan beberapa nama seperti Muhammad Said Al-Asymawi (lahir 1932), Salah Isa, Muhammad Husain Haikal, Ahmad Khalafallah Fuad Zakaria serta Farag Fouda sendiri di generasi selanjutnya. Dan yang paling penting adalah bahwa kebanyakan tulisan-tulisan mereka merupakan kritik tajam atas kelemahan-kelemahan dan cara pandang kaum Islamis.

Samsu rizal Panggabean dalam kata pengantar edisi terjemah: Kebenaran Yang Hilang (Al-Haqiqah Al-Ghaibah) berpendapat bahwa pada masa tersebut marak dengan tuntutan penerapan syariat Islam. Karenannya kontroversi mengenai gagasan negara Islam atau penerapan syariat Islam memiliki efek yang lebih luas di masyarakat yang latar belakangnya berbeda-beda.

Faouda adalah salah satu contoh dari fenomena intelektual non-Islamis yang mencoba masuk ke kancah Islamisme guna bertarung wacana. Farag Fouda kemudian bagi sebagaian komentator Islam dianggap sebagai gejala pemikir liberal lainnya yang membawa semangat "sekularisme baru" dunia Arab yang muncul di era pasca-kekalahan Arab dalam perang Enam Hari Melawan Israel (1967). Terdesak oleh wacana Islamisme yang menyederhanakan causa kekalahan karena faktor-faktor agama, mereka lalu tertarik untuk memperdebatkan tentang hubungan Islam dengan Isu-isu modern. Fouda memaparkan tafsir baru atas Islam sekaligus menawarkan jalan bagaimana seharusnya umat Islam melihat masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang secara jujur.

Fouda adalah pengejek ulung dalam hal mengkritik pandangan dan tafsiran kaum Islamis, ia tidak semata-mata mengungkapkan fakta sejarah yang menurutnya telah hilang dari ingatan mereka. Fouda sering menggunakan fakta tersebut untuk menunjukkan keadaan yang bertolak belakang dari yang dipahami lawan debatnya, dan melakukannya dengan selera humor yang tajam. Menariknya adalah bahwa bahan rujukan yang disertakan Fouda dalam kritikannya tersebut di ambil dari kitab-kitab klasik yang dihormati kalangan Islamis sacara umum, seperti Tarikh Thabari, Tarikh Khulafa as-Suyuthi dan Kitab Bidayah wa an-Nihayahnya Ibnu Katsir.

Salah satu fakta yang ingin diungkapkan Fouda adalah kisah dibalik tewasnya Khalifah ke-3 dari empat khalifah al-Rasyidun, Usman bin Affan yang dibunuh dan jenazah beliau tidak diperlakukan dengan hormat. Jasadnya baru di makamkan di hari ketiga setelah ia wafat –hal ini sangat tidak lazim bagi umat Islam yang selalu mengantar jenazah ke pemakaman selekas mungkin. Ketika prosesi pemakaman berlangsung, sebagian muslim tidak menyembahyangkannya. Bahkan, ada yang melempari, meludahi, dan mematahkan salah satu persendian mayat Usman. Akhirnya, ia tidak diperkenankan dikuburkan di pemakaman Muslim, sehingga harus dimakamkan dikuburan Yahudi. Penggantinya Ali Bin Abi Thalib, tak kuasa menahan apalagi menghukum mereka.
Pertanyaan kita selanjutnya, menurut Fouda adalah, kemarahan apa yang berada dibalik perilaku para sahabat Nabi ini?

Fouda mengedepankan fakta-fakta yang dilupakan persfektif romantis terhadap Khilafah. Ada banyak Khalifah, baik dari sejarah dinasti Umayyah maupun Abbasiyah, yang brengsek, brutal, dan biadab. Pendiri Dinasti Abbasiyah ada yang mendapat julukan "Si Penjagal", terkisah ketika dia mengundang 90 anggota keluarga Umayyah makan malam dan menyiksa sebelum membunuh mereka. Tradisi para khalifah yang buruk dan hedonis – seperti gemar minum minuman keras, main perempuan dan berprilaku amoral adalah beberapa contoh kisah kelam sejarah kekhalifahan. Lalu, kata Fouda, kita berhak bertanya, tentang tuntutan kembalinya khilafah, mereka begitu membenci bar, mencela biduan dan mengkafir-kafirkan para penarinya? Justru bukankah itu kelanjutan dari masa lalu dan bukankah juga bagian darinya?

Bagi penulis kalangan Islamis menemukan sebuah dilema – persis bak dilema usaha manusia rasionalnya Sidhunata, hasil pembacaannya atas Horkheimer dan Mazhab Frankfurt awal – modern. Bagi kelompok Islamis, disatu sisi mereka merasa bahwa solusi dari segala masalah kehidupan yang dihadapi manusia kini, sudah lengkap dan cukup tertera dalam kitab suci serta praktek tradisi agama masa lalu, sedangkan disisi lain mereka takut dan gamang akan ketakberdayaan nilai-nilai tradisional yang terus usang seiring alur modern sang waktu yang terus berjalan. Bagaimana mungkin kalangan islamis tersebut mempertahankan laku usang tradisi sekaligus berdialektika dengan arus baru globalisasi!

Sebenarnya kita dapat menangkap gagasan Fouda atas dua aspek, yaitu teoritis dan aspek kebijakan-praktis, terutama dalam telaah kita atas bukunya, al-Haqiqah al-Ghaibah. Aspek teoritis mencakup kritik terhadap doktrin jahiliyah modern; hal ini disebut Fouda sebagai logika fotokopi (al-mantiq al-kurbuni) – yaitu anggapan bahwa umat Islam mungkin mengembalikan fotokopi masa khulafa ar-rasyidun kedunia modern - dan keniscayaan ijtihad; irrelevansi khalifah dan formalisasi syariah, dan ihwal negara agama dan kebebasan sipil. Sementara aspek kebijakan-praktis meliputi soal partisipasi partai agama dalam dunia politik Mesir, dampak ekstremsime beragama dan penyikapan terhadap kaum ekstrimis.

Dalam karyanya al-Haqaiqah al-Ghaibah (Kebenaran yang Hilang), Fouda memang tulus mencerca keburukan sejarah kepemimpinan Islam masa silam, kisah perjuangan Islam berjalan seiring dengan pengorbanan darah dan nyawa manusia tak berdosa, katanya. Pengungkapan sejarah kelam Islam ini sebenarnya bukan hal yang baru bagi masyarakat muslim pada umumnya. Tapi disinilah letak keberanian Farag Fouda ditengah kemunafikan umat Islam dewasa ini, usahanya menyingkap borok kepemimpinan Islam masa silam secara lantang adalah cita-cita tertinggi baginya, Walaupun kisah perjuangan Fouda harus berakhir dengan ongkos kematian.
Syahdan, keberanian Fouda tersebut menjadi kelebihannya tersendiri. Lalu apakah para pemikir kebebasan Islam lainnya akan mengikuti jejaknya ini! Wallahu a'lam Bi Murodihi.

Rabu, 24 September 2008

USAHA IBN RUSYD DALAM PEMADUAN ANTARA AGAMA DAN FILSAFAT

Ibn Rusyd ikut serta mengadakan pemaduan antara agama dan fisafat, bahkan melebihi orang-orang yang sebelumnya, karena ia telah memberikan uraian yang cukup panjang dan mendalam. Hal ini disebabkan karena fuqaha-fuqaha pada masanya mengingkari filsafat Yunani, terutama filsafat Aristoteles dan mendapat bantuan dari penguasa negara Muwahhidin, dimana Ibn Rusyd hidup dibawah naungannya, yang dalam persoalan agama dan filsafat mereka dengan tegas- tegas memihak kepada al-Ghazali, pengarang Tahafut al-Falasifah, yang berisi serangan pedas terhadap filsafat dan filosof-filosof.

Dengan segala ketekunan Ibn Rusyd harus mengadakan pemaduan antara agama dengan filsafat, terutama dari al-Ghazali, dan karena ia sangat menjunjung tinggi Aristoteles. Karena itu ia harus memberikan serangan-serangan argumuen terhadapa al-Ghazali dan menyatakan bahwa fisafat tidak berlawanan dengan agama, bahkan mengokohkannya dan menjelaskan perumusan-perumusannya.

Dalam menguraikan perlunya pemaduan tersebut ia menguraikan empat persoalan. Pertama, Agama mewajibkan berfilsafat. Kedua, pengertian lahir dan pengertian batin, serta keharusan takwil. Ketiga, aturan-aturan takwil. Keempat, pertalian akal dan wahyu. Disini pemakalah akan menjelaskan satu persatu persoalan yang dibahas oleh Ibn Rusyd tersebut.

A. Agama Mewajibkan Berfilsafat
Menurut Ibn Rusyd, fungsi filsafat tidak lebih dari pada mengadakan penyelidikan tentang alam wujud dan memandangnya sebagai jalan untuk menemukan Zat yang membuatnya . Quran berkali-kali memerintahkan demikian, antara lain dalam Surat al-A’raf, ayat 185:

“Apakah mereka tidak memikirkan tentang (yandhuru fi) alam langit dan bumi dan segala sesuatu yang dijadikan oleh Tuhan?” juga dalam surat al-Hasyr ayat 2, disebutkan sebagai berikut: “Hendaklah kamu mengambil ibarat (i’tibar; mengadakan qiyas = sillogis-me), wahai orang-orang yang mempuyai pandangan.”

Ayat terakhir ini dengan jelas mengharuskan kita untuk mengambil qiyas aqli (sillogisme), atau qiyas aqli dan qiyas syar’i (qiyas menurut fiqh) bersama-bersama. I’tibar dan nadzhar yang dimaksudkan oleh ayat tersebut tidak lain ialah pengambilan sesuatu hukum yang belum diketahui (majhul) dari sesuatu hukum yang sudah diketahui (ma’lum), dan inilah yang disebut qiyas-aqli. Karena itu penyelidikan yang bersifat filosof menjadi suatu kewajiban.

Kalau seorang faqih berdasarkan ayat 2, dari surat al-Hasyr tersebut diatas menetapkan adanya qiyas syar’i (qiyas dalam fiqh), maka berdasarkan ayat ini pula seorang filosof lebih berhak lagi untuk menetapkan qiyas-aqli. Kalau dikatakan bahwa qiyas-aqli itu adalah suatu bid’ah, karena tidak terdapat pada masa permulaan Islam, maka qiyas-syar’i itu pun suatu bid’ah pula, karena tidak terdapat juga pada masa tersebut. Meskipun demikian, tidak ada seorang pun yang mengatakan bid’ahnya qiyas-syar’i.

Kalau pengambilan qiyas-aqli diwajibkan oleh Syara’ maka seseorang ahli pikir harus mempelajari logika dan flsafat, meskipun logika Aristoteles dan filsafat Yunani yang tidak berketuhanan itu, dan meskipun tidak seagama dengan kita. Kalau ada orang sesat karena mempelajari filsafat, maka hal ini bukan karena salahnya filsafat, melainkan karena tidak adanya kesediaan (kesanggupan) untuk berfilsafat, atau karena ia mempelajarinya tanpa guru. Tidak ubahnya seperti seorang yang minum air dingin, kemudian terseduk dan mati karenanya. Mati karena terseduk air adalah suatu kejadian insidentil atau pengecualian, sedang mati karena haus (tidak minum air) adalah suatu kelaziman.

B. Agama Mengandung Makna Zhahir dan Bathin
Filosof-filosof Islam sepakat pendapatnya bahwa akal dan wahyu kedua-duanya menjadi sumber pengetahuan dan alat untuk mencapai kebenaran. Akan tetapi dalam al-Qur’an maupun hadis banyak nas-nas yang menurut lahirnya berlawanan dengan filsafat. Bagi Ibn Rusyd, nas-nas itu bisa ditakwilkan, sepanjang aturan-aturan takwil dalam bahasa arab, seperti halnya dengan kata-kata dari Syara’ bisa ditakwilkan pula dari segi aturan fiqh. Karena itu ulama-ulama Islam sepakat pendapatnya bahwa tidak semua kata-katayang datang dari Syara’ diartikan menurut arti lahirnya, tidak pula harus dikeluarkan semuanya dari arti lahirnya (jadi memakai batini). Penafsiran (penakwilan) semacam ini dipakai oleh ulama-ulama fiqh dan ulama-ulama filsafat juga.

Dengan demikian, maka ada arti lahir dan batin. Kalau arti lahir sesuai dengan hasil pemikiran, maka arti ini harus diambil dan kalau berlainan maka harus dicari penakwilannya. Arti takwil ialah mengeluarkan sesuatu kata dari arti yang letterlijk-hakiki untuk dibawa kepada arti yang majazi (arti allegorik; figurative; bukan arti yang sebenarnya). Kalau seorang faqih menempuh jalan yang sama, artinya memakai takwil, maka lebih utama lagi bagi mereka yang bekerja dalam lapangan filsafat. Dengan lain perkataan, Qur’an dan Hadis berisi pikiran-pikiran filosofis, dan pikiran-pikiran ini hanya bisa dikeluarkan oleh orang-orang yang mempunyai kesanggupan untuk itu.
Rangkapnya arti tersebut adalah dikarenakan perbedaan pandangan orang dan kesediannya untuk mempercayai, sebab manusia terdiri dari golongan-golongan, sesuai dengan pembagian qiyas, yaitu golongan pemakai qiyas-burhani, golongan pemakai qiyas jadali, dan golongan pemakai qiyas-khatabi.

C. Kaedah-Kaedah Ta’wil
Ibn Rusyd meletakkan beberapa aturan sebagai pegangan dalam melakukan ta’wil, yaitu:
1. Setiap orang harus menerima dasar-dasar (prinsip-prinsip) syara’ dan mengikutinya, serta menginsyafi bahwa syara’ melarang untuk memperkatakan hal-hal yang tidak disinggung-singgung olehnya.

2. yang berhak mengadakan ta’wil hanya golongan filosof semata-mata, bahkan filosof-filosof tertentu saja, yaitu mreka yang mendalami ilmunya. Ta’wil tidak boleh dilakukan oleh ulama-ulama fiqih (termasuk didalamnya ulama-ulama mutakallimin) karena meskipun mereka pandai, namun terbatas ilmunya dan berbeda-beda pendapatnya, bahkan mereka telah menyebabkan terjadinya perpecahan dan timbulnya golongan-golongan pada kaum Muslimin.

3. Hasil penakwilan hanya bisa dikemukakan kepada golongan pemakai qiyas –burhani, jelasnya filosof-filosof, bukan kepada orang awam, karena bagian orang awam hanya lahir nas (ahlul-dhahir), sedang arti ta’wil ialah membatlkan lahir nas. Orang-orang awam tidak dapat memahami penakwilan itu kalau sekiranya penakwilan itu benar, dan mereka akan sesat, kalau sekirranya penakwilan itu salah, sebab penakwilan tersebut sudah berada diluar kesanggupan mereka. Kepada mereka seyogyanya dikatakan apa yang disebut dalam al-Qur’an: tidak ada yang mengetahi takwilnya kecuali Tuhan sendiri”. (Ali Imran:7). Jadi untuk orang banyak hanyalah lahir syara’, sedang hakikat yang sebenarnya dan yang terpendam menjadi bagian filosof-filosof. Dengan demikian, maka kesatuan dalam lingkungan agama (Islam) tetap terpelihara dan penggolongan-penggolongan (aliran-aliran akan lenyap.

4. kaum Muslimin sudah sepakat pendapatnya, bahwa dalam Syara’ ada tiga bagian, yaitu: (1) Bagian yang harus diartikan menurut lahirnya; (2) Bagian yang harus dita’wilkan; (3) Bagian yang masih diperselisihkan. Sekarang timbul pertanyaan, bolehkah suatu pemikiran , tegasnya qiyas burhani, akan mengakibatkan penakwilan terhadap apa yang sudah disepakati untuk diartikan menurut arti lahirnya, atau akan mengakibatkan pemegangan arti lahira dari nas yang sudah diepakati untuk ditakwilkan? Sedangkan ijma’ dalam Islam merupakan kekuasaan tunggal yang dapat menentukan dalam persoalan takwil.

D. Batas Kemampuan Akal
Bagaimana pendapat Ibn Rusyd tentang pertalian wahyu dan akal? Meskipun ia memuja kekuatan akal dan mempercayai kesanggupannya , untuk mengetahui , namun ia menyatakan bahwa dalam dunia ini ada hal-hal yang terletak diluar kesanggupan akal untuk dapat diketahuinya. Karena itu kita harus kembali kepada wahyu yang diturunkan untuk menyempurnakan pengetahuan akal.

Dalam bukunya,Tahafutut-Tahafut, ia mengatakan sebagai berikut:
“Semua yang tidak disanggupi akal, maka Tuhan memberikannya kepada manusia melalui wahyu.”
Apa yang dimaksudkannya ialah soal-soal: Mengetahui Tuhan, mengetahui arti kebahagiaan dn kesengsaraan dalam dunia dan akhirat, dan mengetahui jalan untuk mencapai kebahagiaan dan menjauhkan kesengsaraan tersebut.

Berkali-kali Ibn Rusyd menegaskan bahwa pertalian filsafat ditujukan kepada pengenalan apa yang dibawa oleh Syara’. Kalau maksud ini dapat dicapai maka filsafat harus mengakui kelemahan akal manusia terhadap hal-hal yang dibawa oleh Syara’ yang hanya bisa diketahui melalui Syara’ itu sendiri.

Jadi wahyu dianggap oleh Ibn Rusyd sebagai suatu keharusan untuk semua orang, dan kekuatan akal dalam mencari kebenaran berada dibawah kekuatan wahyu. Demikianlah sikap yang dikemukakan dalam kedua bukunya, yaitu Manahijul-Adillah dan Tahafutut-Tahafut.

Apakah sikap ini tidak berlawanan dengan sikap yang biasa dikenal oleh para pembahas sampai sekarang ini dari bukunya yang lain, yaitu Faslul-Maqal yaitu suatu pengakuan akan ketinggian penyelidikan akal dan kesanggupan untuk mencapai semua kenyataan dan kebenaran yang dibawa oleh Syara’(wahyu) yang kalau diberikan kepada orang banyak tentu akan melalui perumusan-perumusan dan kiasan-kiasan.

Menurut Mehren, pemikiran Ibn Rusyd mempunyai dua corak, yaitu corak rasionalis dan corak agamis, dimana dalam soal-soal yang pokok akal tidak dikaitkan dengan agama. Menurut Miguel Asin, Ibn Rusyd mengangap bahwa sumber wahyu adalah Allah, yang oleh karenanya maka tidak mungkin berlawanan. Akan tetapi wahyu melebihi filsafat dalam soal-soal pokok, dan oleh karena itu apabila kelihatannya berlawanan dengan filsafat maka filsafat ini harus tunduk kepada wahyu.

Setelah memperbandingkan antara karangan-karangan Ibn Rusyd, dan sesuai pula dengan pendapat Renan dan Gouthier maka Dr. M. Yusuf Musa berkesimpulan bahwa Ibn Rusyd tidak bisa dikatakan seorang rasionalis selamanya. Ia bersikap bukan sebagai seorang rasionalis, jadi bersikap agamis, ketika berhadapan dengan orang banyak yang tidak sanggup mengadakan penyelidikan akal dan alasan-alasan yang bersifat burhani. Dalam pada itu ia bertindak sebagai seorang rasionalis, ketika persoalan yang dibahasnya berhubungan dengan ahli-ahli pikir dan filsafat. Karena sikapnya yang bersifat rangkap ini, maka kata-katanya sering menimbulkan dugaan bahwa ia telah meninggalkan kerasio-annya.

Daftar Pustaka
- Hanafi, Ahmad, MA, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Cetakan Keenam, PT Karya Unipress, 1996
- Ibn Rusyd, Manahijul Adillah, Kairo, Maktabah al Englo al- Mishriyyah, 1995)
- Tahafut Tahafut (Kairo: Darul maarif, 1964)
- Nasution, Hasyimsyah, MA, Filsafat Islam, Jakarta, Cetakan Ketiga, Gaya Media Pratama, 2002
- Renan, E. Ibn Rusyd war Rusydiyah, terjemahan ‘Adil Zu’aitir dari Averros et Averroeism, Kairo: Isa Halaby, 1957


.

Ghazâlî, Abû Hâmid al- (Imam al-Ghazali)

Ia bernama lengkap Ghazâlî, Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammdad ibn Abû Hâmid al-Ghazâlî. Ia dikenal dengan al-Ghazâlî karena lahir di Ghazalah, suatu kampong di kawasan Tus, khurusan, Persia (sekarang termasuk wilayah Iran). Beberapa literatur menyebutkan al-Ghazâlî (dengan dua “z”) karena ayah dan kakeknya adalah tukang eminta benag wol (ghazzâl).

al-Ghazâlî lahir pada 450 H/1058 M, tiga tahun setelah kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad, dan meningal pada hari Senin, 14 Jumadil Akhir 505 H/19 Desember 1111 M. saat kecil, ia bersama adiknya Ahmad, dititipkan oleh sang ayah-ketika merasa ajalnya segera tiba-ke seorang sufi sahabatnya, seraya berwasiat, “Aku menyesal sekali karena aku tidak belajar menulis. Aku berharap untuk mndapatkan apa yang tak aku dapatkan itu melalui dua putraku ini”.

Ketika harta titipan ayahnya habis, sang sufi menganjurkan keduanya untuk belajar di sebuah madrasah di Tûs yang menyediakan biaya hidup bagi para siswanya. Nasehat sufi tersebut mereka turuti. Di sini, Ghazâlî belajar dari Ahmad al-Radzkânî tentang fikih Syâfi’î, kalam Asyârî, sejarah para wali, dan syair-syair.
Belum mencapai usia tahun, al-Ghazâlî melanjutkan studi ke Jurdan untuk H/belajar dari Abû Nasr al-Ismâ’îlî (w. 427 H/1036 M)- menurut versi lain: Ismâ’îl ibn Sa’ad al-Ismâ’îlî (w. 487 H/1083 M). tidak diketahui berapa lama ia berada di Jurdan. Yang jelas, di sini ia juga mempelajari bagasa Arab dan Persia di samping beberapa ilmu agama. Ia menulis semua mata pelajaran yang didapatkannya.

Ia kemudian kembali ke Tûs. Dalam perjalanan kembali, rombongannya dihadang segerombolan perampok yang turut menyita buku catatannya. Catatan itu akhirnya dikembalikan oleh para penyamun, tetapi peristiwa itu telah membuatal-Ghazâlî sedemikian khawatir kehilangan seluruh ilmunya. Sehingga, selama tiga tahun di Tûs ia merenung, berfikir, dan menghafal semua pelajaran yang didapati di Jurdan. Selama itu ia sempat pula belajar tasawuf dari Yûuf al-Nassâj (w. 487 H/1083 M).

Sesudah itu, al-Ghazâlî berangkat ke Nisabur untuk belajar di salah satu Madrasah Nizâmiyyah. Madrasah ini didirikan oleh Perdana Mentri Nizâm al-Mulk di seluruh daerah Saljuk sebagai tempat pembibitan para ahli teologi-guana mengimbangi aktifitas kekhalifahan Fâtimiyyah Kairo yang menyebar paham Syiah (Ismâ’îliyyah)

Madrasah Nizâmiyyah di Nisabur dipimpin oleh Abû al-Ma’âlî al-Juwaynî (w. 478 H/1075 M), teolog Asy’ariyyah yang bergelar Imam al-Haramayn. Di sinilah al-Ghazâlî menekuni banyak disiplin ilmu dan merintis reputasi sebagai pengarang. Kecerdasanya tampak menonjol, sampai-sampai al-Juwaynî menjulukinya sebagai bahr mughriq (lautan yang menenggelamkan). Karya pertamanya, al-Mankûl fi ‘Ilm al-Ushûl (Yang Terseleksi Tentang Ilmu Usul), sangat menggembirakan gurunya itu. Usai membaca karya itu, sang guru berkata kepanya, ”Kamu telah menguburku hidup-hidup. Mengapa engkau tidak bersabar menunggu sampai aku mati? Dengan bukumu itu, karya-karyaku menjadi terabaikan.” Al-Ghazâlî juga kerap menggantikan al-Juwaynî setiap berhalangan mengajar.

Ia sempat belajar tasawuf dari Abû ‘Ali al-Fadl al Farmadi (w. 477 H/1074 M), al-Ghazâlî akhirnya hengkang dari Nisabur pada tahun wafatnya al-Juwaynî. Ia pergi ke Mu’askar untuk bergabung dalam majelis seminar yang digelar oleh Nizâm al_Mulk. Berkat ketajaman menganalisi dan berargumentasi dalam perdebatan-perdebatan di tempat berkumpulnya ulama terkemuka itu, nama al-Ghazâlî menjadi melambung. I berada di sini selama enam tahun sebelum akhirnya diangkat menjadi guru besar dan kepala Madrasah Nizûmiyyah di Baghdad pada 484 H/1091 M. madrasah itu sendiri telah berdiri sejak 458 H/1065 M.

Di Baghdad, sambil mengajar 300-an lebih murid, ia juga secara otodidak mencoba menguasai filsafatnya al-Farâbî ( 339 H/941 M), Ibnu Sînâ (w. 428 H/1037 M), Ibn Miskawayh (w. 431 H/1040 M), dan kelompok ikwan al-Safâ selama dua tahun. Selama periode Baghdad ini, ia melahirkan beberapa karya seperti Maqâsid al-Falâsifah (Tujuan-tujuan Para Filsuf), Tahâfut al-Falâsifah (Inkoherensi Para Filsuf), Fadâîh al-Bâtiniyyah (Kelancungan Paham Bâtiniyyah), al-Iqtisâd fi al-I’tiqâd (Moderasi dalam Akidah), al-Wajîd (Ringkasan), al-Basît (Yang Komprehensif), dan al-Wasît (Pertengahan). Sampai di sini, al-Ghazâlî masih sangat dekat dengan fasilitas, aspirasi dan misi penguasa.

Namun, pada 488 H ia mengalami krisis batin yang hebat. Ia terus merenungi dirinya, amalya, dan niatnya. Ia mendapati bahwa dirinya telah tenggelam dalam ikatan duniawi; aktivitas mengajarnya hanya membawanya pada ilmu-ilmu yang sepele dan tiada berguna; dan niatnya dalam mengajar ternyata tidak ikhlas demi Allah, bahkan hanya mendorong hasrat akan jabaran serta popularitas. “Aku lantas menjadi yakin bahwa aku hampir-hampir mengalami kehancuran; dan aku benar-benar tak akan lepas dari neraka andai saja aku tidak meninggalkan hal-hal sepele itu,” begitu tutur al-Ghazâlî yag mengabdikan eposide krisis batinnya itu dalam al-Munaqidz min al-Dalâl (Pembebas dari Kesesatan).

Akan tetapi, selama enam bulan jiwa al-Ghazâlî dihantui kebimbangan antara tetap tinggal-dengan segenap daya tarik duniawi yang ada di depan matanya-atau memilih pergi, sampai suatu saat, al-Ghazâlî mengisahkan,
“keadaan memaksaku untuk mengambil keputusan, sebab Allah telah mengunci lidahku sampai tidakk bisa mengajar. Suatu hari, dengan sepenuh tenaga aku berusaha mengajar untuk menyenangkan berbagai pihak. Ternyata sepatah kata pun tak terucap oleh lidahku. Aku sama sekali tak bisa berucap. Keadaan yang menimpa lidahku itu lantas menimbulkan derita dalam kalbu. Hancurlah engannya daya cerna, lenyaplah nafsu makan dan minum. Ketika itu, setetes minuman atau sesuap makanan tidak terasakan. Keadaan ini berlanjut ngan melemahnya daya dan kekuatan sehingga para dokter merasa tak mampu menyembuhkannya.”


Dalam keadaan demikian, ia mempasrahkan jiwanya kepada Allah. Hal itu mengawali keputusanya untuk melaepas karir di Baghdad guna melakukan petualangan seama sepuluh atau sebelas tahun. Selama itu ia mengunjungi Damaskus, Mekkah (untuk naik haji pada 489 H), Bayt al-Maqdis, dan –dalam khalwat, riyâdah (latihan spiritual), dan mujahadah. Di Damaskus, sepanjang hari ia beriktikaf di menara Mesjid Jami’-yang kini terkenal dengan nama Menara al-Ghazâlî .

Dalam tempo itu, ia tetap kerap menulis. Di antara yang ia tulis pada masa ini adalah al-Risâlah al-Qudsiyyah (Risalah Suci), Ihya ‘Ulûm al-Dîn (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama), Jawâhir al-Qur'ân (Mutiara-mutiara al-Qur'ân), Bidâyat al-Hidâyah (Permulaan Petunjuk), al-Qistâs alMustaqîm (Teraju yang Lurus), al-Maqsad al-Asnâ (Tujuan Paling Luhur), Faysal al-Tafriqah (Kriteria Pembeda), dan al-Arba’in fi Ushul al-Dîn (Empat Puluh Pokok Agama).

Pada 499 H ia merasa harus keluar dari uzlahnya karena dedikasi moral yang merajalela dan permintaan Wazir Fakh al-Mulk (putra Nizâm al-Mulk) untuk mengajar lagi di Madrasah Nizûmiyyah Nisabur. Akan tetapi, ia tidak lama mengajat di siru dan kembali Tûs. Ia membangun sebuah Madrasah untuk mengajar kalam serta tasauf dan sebuah khanaqah untuk tempat praktikum suluk sufi. Ia berada di Tûs sampai meninggalnya.

Sejak keluar dari uzlah sampai wafatnya, ia menulis beberapa karya lagi, seperti al-Munqidz min al-Dalâl, Iljâm al-‘Awâmm ‘an ‘Ilm al-Kalâm (Mencegah Orang Awam dari Ilmu Kalam), al-Mustasfâ (Tempat Penyucian) dan Minhâj al-‘Âbidin (Titipan Para Ahli Ibadah).

Karya-karyanya. Referensi-referensi tentang al-Ghazâlî menyebut angka yang sangat beragam mengenai jumlah karyanya. Ada yang menyebutkan bahwa karya tulis yang dinisbatkan kepadanya mencapai 400 buah. Referensi lain menyebutkan bahwa hanya 50 buku dan risalah yang masih bisa dijumpai yang bisa dipertanggungjawabkan sebagai karyanya sendiri. Pengakurasian sulit dilakukan, selain karena ada yang hilang, juga karena-sebagaimana dipapar al-Qaradawi-terdapat usaha pemalsuan dan penisbatan nama yang tidak bertanggung jawab, bahkan sejak al-Ghazâlî masih hidup.

Tentang akidah atau ilmu kalam, al-Ghazâlî menulis al-Iqtisâd fî al-I’tiqâd, al-Ajwibah al-Ghazâlîyyah fî Masâ’il al-Ukhrawiyyah, al-Risâlah al-Qudsiyyah fi Qawâ’id al-Aqâ’id, ‘Arâ ‘ilm al-Din, ‘Aqîdat ahl Sunnah, al-Intisâr, Munfasil al-Khilâf fî Usul al-Dîn, al-Maqsad al-Asnâ fî Syarh Asmâ Allah al-Husnâ, dan Iljâm al-‘Awâmm ‘an ‘Ilm al-Kalâm. Ia, secara khusus, juga menulis sanggahan terhadap kaum Bâtiniyyah, yakni Fada’ih al-Batiniyyah wa Fadâ’il al-Mustazhirîyyah, dan al-Qistâs al-Mustaqîm; tanggapan atas kritik, yakni Faysal al-Tafriqah bayn al-Islâm wa al-Zandaqah; serta bantahan terhadap ketuhanan ‘Îsâ (kalau ini benar otentik), yakni al-Radd al-Jamil li Ilâhiyyat ‘Isâ bi Sarîh al-Injîl.

UMAR SAID COKROAMINOTO

Haji Umar Said Cokroaminoto dilahirkan didesa Bakur, daerah Madiun pada tanggal, 20 Mei 1883. Tepat pada waktu Gunung Krakatau meletus. Cokroaminoto adalah anak kedua dari 12 orang bersaudara. Ayahnya, R. M. Cokroamiseno, salah seorang pejabat pemerintahan pada saat itu. Kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah juga menjabat sebagai bupati Ponorogo.

Tamat sekolah rendah ia meneruskan pelajarannya ke OSVIA (Opleidings School voor Inlandsche Ambtenaren/Lembaga Pendidikan Pegawai Bumiputra) Magelang tamat pada tahun 1902 dan menjadi juru tulis sampai 1095. Antara tahun 1907 – 1910 bekerja pada Firma Coy & CO di Surabaya, disamping meneruskan pada Burgelijek Avondschool bagian mesin. Bekerja sebagai masinis pembantu, kemudian ditempatkan dibagian kimia pada pabrik gula di kota tersebut ( 1911 – 1912 ). Beliau wafat pada tahun 1934 dan dikebumikan di TMP Pekuncen, Yogyakarta. Hingga kini beliau dikenal sebagai tokoh dari Sarekat Islam. Selain itu, salah satu kata-kata mutiaranya yang masyhur adalah: "Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat".

Setelah bergulat di sektor swasta, Cokroaminoto giat dalam bidang politik, ia membuat carier politiknya di Sarekat Islam yang didirikan pada bulan Mei tahun 1912. Sarekat Islam ialah sebuah persatuan perdagangan di Jawa, Indonesia yang diasaskan pada tahun 1909 di Jakarta oleh RM Tirtoadisuryo, seorang peniaga dari Kota Surakarta. Pada asalnya dinamai Sarekat Dagang Islam (SDI), pertubuhan ini bertujuan untuk membantu peniaga-peniaga kaum bumiputera, khususnya dalam industri batik. Selain itu, juga untuk menghadapi persaingan daripada pedagang-pedagang Cina.

Pada awal tahun 1912 terjadi sebuah kerusuhan anti-Cina, dan penguasa ketika itu mengharamkan SDI. Oleh itu, pada bulan September dalam tahun tersebut, SDI menggantikan namanya menjadi Sarekat Islam, dan melantik Umar Said Cokroaminoto sebagai ketua. Pada bulan Mei 1912.

Kongres Sarekat Islam yang pertama diadakan pada bulan Januari 1913. Dalam kongres ini, Cokroaminoto menegaskan bahawa Sarekat Islam bukannya sebuah parti politik, tetapi bertujuan untuk:
• meningkatkan perdagangan di kalangan bangsa Indonesia;
• membantu anggotanya yang mengalami kesulitan ekonomi; dan
• mengembangkan kehidupan keagamaan dalam masyarakat Indonesia.
Kongres Sarekat Islam yang kedua diadakan pada bulan Oktober 1917, diikuti oleh Kongres ketiga antara 29 September hingga 6 Oktober 1918 di Surabaya. Dalam kongres ketiga ini, Cokroaminoto menyatakan bahawa jika Belanda tidak melakukan reformasi sosial secara besar-besaran, maka Sarekat Islam pada dirinya akan melakukannya di luar parlemen.

Dalam kongres selama 1913–1916 tampaklah kemana S.I dibawa Cokroaminoto, dalam kongres Surabaya 1913 ia dipilih sebagai ketua Pedoman Besar, meskipun pada waktu itu belum ada organisasi pusatnya. Dalam kongres Bandung dinyatakan, bahwa untuk mencapai kemerdekaan ditempuh jalan revolusi, sementara kemudian dalam Kongres Batavia keluar dengan keputusan yang lebih tegas, jalan parlemen atau revolusioner. Sifat nasional-islam-revolusioner itu, lebih jelas lagi tampak, waktu Central Sarikat Islam 1916 menyatakan akan berjuang melawan kapitalisme, sebagai yang pada program perjuangan kongres nasional 1817.

Dengan adanya Volksraad, terbentuk politik Comite guna penyusunan calon-calon. Cokroaminoto menjadi anggota angkatan pemerintah, sementara Abdul Muis dipilih. Dalam Kongres Yogyakarta tahun 1921, terang-terangan S.I pecah dua, pihak Cokroaminoto dengan semi-nasional dan sosialis dan pihak Semaun , 100% revolusioner, yang sejak beberapa waktu beberapa waktu dengan cara celvorming memasuki S.I.

Dengan diadakannya kongres Al Islam Hindia pada tahun 1924, S.I direorganisasi dan menjadi Partai Serikat Islam Indonesia ( PSII ). Sebagai pemimpin lebih kuat H.A Salim tampil kemuka dari Cokroaminoto. Dalam tahun 1926 ia dan K.H.M Mansur diutus oleh kongres Al-Islam V ke kongres Alam Islami di Mekkah, Pada waktu inilah ia menunaikan rukun yang kelima. Pada tahun 1933 timbul perpecahan yang kedua, Dr Sukiman dan Suryopranoto dirojeer dan mendirikan Partai Islam Indonesia ( PARII ). Kemudian disusul pula dengan perpecahan dengan kartosuwiryo dan akhirnya dengan H.A Salim yang mendirikan Penyadar pada tanggal, 17 Desember 1934.

Haji Umar Said Cokroaminoto bukan hanya aktifis politik, melainkan juga pemikir. Pemimpin Sarekat Islam (SI) ini menulis buku Islam dan Sosialisme (1925), juga Tarich Islam (1931). Ia pun sering menyampaikan ceramah.
Cokroaminoto bahkan layak disebut sebagai guru bangsa, sejenis hulu sungai bagi kepemimpinan politik di Indonesia. Orang mencatat bahwa Sukarno dari kalangan nasionalis yang mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI), Semaun dari kalangan sosialis yang mendirikan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Kartosuwiryo dari kalangan Islam yang mendirikan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Bung Karno bahkan pernah jadi menantunya pula. Karena perannya begitu penting, dulu Cokroaminoto konon sering diledek oleh lawan-lawan politiknya sebagai "De Ongekroonde koning van Indie" (Raja Hindia tanpa Mahkota) atau "De aanstaande koning der Javanen" (Raja Jawa masa depan).

Buku Islam dan Sosialisme, merupakan salah satu buku penting karya cendekiawan Indonesia dari paro pertama abad ke-20. Cokroaminoto menulis buku ini dalam bahasa Indonesia pada 1924, kira-kira empat tahun sebelum Sumpah Pemuda antara lain menyerukan pemakaian bahasa Indonesia. Sempat pula buku ini dicetak ulang, antara lain pada 1950 dan 1962. Dalam buku ini, Cokroaminoto menggali "anasir-anasir sosialisme" dari khazanah Islam, baik dari sumber teologisnya maupun dari pengalaman historisnya. Pada dasarnya ia menekankan bahwa sosialisme sudah terkandung dalam hakikat ajaran Islam, dan sosialisme yang ideal harus diarahkan oleh keyakinan agama (Islam). Itulah yang dia sebut "Sosialisme cara Islam" dan yang ia yakini cocok untuk Indonesia.

Cokroaminoto memeriksa konsep sosialisme dari khazanah pemikiran Eropa, tak terkecuali dari Karl Marx, hingga bentuk-bentuk tatanan sosial politik yang bertolak darinya. Setelah mengajukan kritik atas gagasan pemikir Eropa, ia membandingkan temuannya dengan pemikirannya sendiri mengenai dasar-dasar sosialisme dalam Islam, dengan memetik sejumlah ayat Alquran, juga mengutip hadis. Ia antara lain berpijak pada Surat Al-Baqarah ayat 213: Perikemanusiaan itu adalah satu kesatuan. Tinjauan historisnya, mengarah ke tatanan pemerintahan Nabi Muhammad SAW, yang dilanjutkan oleh para khalifah, teristimewa Khalifah Umar. Ia tunjukkan bahwa pemerintahan Islam -- yang dipandang bersifat sosialistis -- berpijak pada nilai-nilai kedermawanan, persaudaraan, kemerdekaan, dan persamaan.

Referensi

 Holk H. Dengel, Darul Islam dan Kartosoewirjo “Angan-angan yang gagal” (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1995), hlm. l6.
 http//: ms.wikipedia.org/wiki/Omar_Said_Cokroaminoto
 http//: ms.wikipedia.org/wiki/Sarekat_Islam
 http//: azzahraku.multiply.com/reviews/item/64
 www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=264013&kat_id=319

TEMUKAN MAKALAH/ARTIKEL YANG ANDA CARI DI SINI:
Custom Search

Posting Terkini