"Saya adalah warga negara Mesir yang menyesalkan Nasib Mesir yang tanpa diantisipasi oleh siapapun sedang terseret ke arah yang tidak diperkenankan Tuhan." -Farag Fouda-
Tepat di tahun 1992 lalu, mata dunia terhenyak dengan tragedi kematian yang menimpa pemikir satir Mesir bernama Farag Fouda. Beberapa hari sebelum dibunuh sekelompok dari Universitas Al-Azhar mengeluarkan pernyataan bahwa Fouda, berdasarkan pikiran dan tulisannya, telah menghujat agama dan karenanya keluar dari Islam. Ini berarti, Fouda adalah musuh Islam dan halal darahnya. Di sini, labelisasi halal berarti boleh dibunuh. Sebelumnya, kelompok ulama yang sama menerbitkan nama-nama orang yang dianggap memusuhi Islam dan Fouda berada di urutan pertama. selanjutnya fatwa inilah yang dijadikan alat legitimasi para pembunuh Fouda untuk berdalih.
Kematiannya ini bukan saja membuat kalangan pemikir kebebasan lainya merasa kehilangan tapi juga miris, sedih, marah, goncang dan sesal tiada terkira. Farag Fouda dikenal oleh masyarakat Mesir sebagai seorang satir (pengejek) bagi mereka yang semena-mena, yang berada dipuncak kekuasaan. Terhitung sejak masa kepemimpinan Islam masa lalu hingga puncak kuasa para diktator di negara-negara muslim saat ini, pun tidak lepas dari kritikan pedasnya.
Kasus pembunuhan ini dilakukan oleh dua orang anggota Jama'ah Islamiyah, sayap ekstrimis Ikhwanul Muslimin. Tokoh-tokoh Islam Mesir yang dianggap moderat tidak mengungkapkan kecaman apapun atas kematian yang menimpa Fouda bahkan cenderung bersikap acuh agar tidak terkena getahnya, terlebih diantara kaum moderat tersebut justru ikut mengecam Fouda atas kritiknya yang terlalu frontal, adalah penyebab yang berujung pada kematian.
Konteks sosial politik mesir lalu menjadi hal menarik dan sekaligus unik untuk kita jadikan kaca perbandingan. Di sisi pertama sebagian masyarakat muslim Mesir menilai bahwa umat Islam saat ini memasuki sindrom jahiliyah modern. Dalam perkembangannya doktrin ini melahirkan kelompok-kelompok Islam garis keras. Diantaranya seperti Jama'ah Islamiyah, Takfir wal Hijrah dan kelompok Jihad Islam, yang kesemuanya tercatat sebagai anak kandung dari Rahim Gerakan Ikhawanul Muslimin.
Sedangkan disisi lain, adalah mereka yang menganggap bahwa modernisasi yang di antarkan oleh Napoleon Bonaparte (seorang Raja Prancis) beberapa abad silam melalui proses kolonialisasi adalah pijakan awal, bagi proses beralihnya laku kejumudan berfikir ke arah pembaharuan peradaban dan pengetahuan bangsa Mesir saat itu.
Bagaimana tidak, hasil silang kebudayaan timur dan barat di negara tersebut, melatarbelakangi sebuah peradaban pemikiran baru yang menampilkan wajah Islam yang rindu akan kemajuan dan keluasan ilmu pengetahuan. Hal ini sekilas tersirat dalam catatan-catatan kecil Albert Hourani seorang pemikir liberal, di beberapa karyanya. Hourani melihat negara timur yang berbeda, sangat jelas bahwa Mesir banyak menelurkan pemikir-pemikir yang memberikan semangat pembaharuan, sebut saja Afghani dan Abduh, di masa awal dan beberapa nama seperti Muhammad Said Al-Asymawi (lahir 1932), Salah Isa, Muhammad Husain Haikal, Ahmad Khalafallah Fuad Zakaria serta Farag Fouda sendiri di generasi selanjutnya. Dan yang paling penting adalah bahwa kebanyakan tulisan-tulisan mereka merupakan kritik tajam atas kelemahan-kelemahan dan cara pandang kaum Islamis.
Samsu rizal Panggabean dalam kata pengantar edisi terjemah: Kebenaran Yang Hilang (Al-Haqiqah Al-Ghaibah) berpendapat bahwa pada masa tersebut marak dengan tuntutan penerapan syariat Islam. Karenannya kontroversi mengenai gagasan negara Islam atau penerapan syariat Islam memiliki efek yang lebih luas di masyarakat yang latar belakangnya berbeda-beda.
Faouda adalah salah satu contoh dari fenomena intelektual non-Islamis yang mencoba masuk ke kancah Islamisme guna bertarung wacana. Farag Fouda kemudian bagi sebagaian komentator Islam dianggap sebagai gejala pemikir liberal lainnya yang membawa semangat "sekularisme baru" dunia Arab yang muncul di era pasca-kekalahan Arab dalam perang Enam Hari Melawan Israel (1967). Terdesak oleh wacana Islamisme yang menyederhanakan causa kekalahan karena faktor-faktor agama, mereka lalu tertarik untuk memperdebatkan tentang hubungan Islam dengan Isu-isu modern. Fouda memaparkan tafsir baru atas Islam sekaligus menawarkan jalan bagaimana seharusnya umat Islam melihat masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang secara jujur.
Fouda adalah pengejek ulung dalam hal mengkritik pandangan dan tafsiran kaum Islamis, ia tidak semata-mata mengungkapkan fakta sejarah yang menurutnya telah hilang dari ingatan mereka. Fouda sering menggunakan fakta tersebut untuk menunjukkan keadaan yang bertolak belakang dari yang dipahami lawan debatnya, dan melakukannya dengan selera humor yang tajam. Menariknya adalah bahwa bahan rujukan yang disertakan Fouda dalam kritikannya tersebut di ambil dari kitab-kitab klasik yang dihormati kalangan Islamis sacara umum, seperti Tarikh Thabari, Tarikh Khulafa as-Suyuthi dan Kitab Bidayah wa an-Nihayahnya Ibnu Katsir.
Salah satu fakta yang ingin diungkapkan Fouda adalah kisah dibalik tewasnya Khalifah ke-3 dari empat khalifah al-Rasyidun, Usman bin Affan yang dibunuh dan jenazah beliau tidak diperlakukan dengan hormat. Jasadnya baru di makamkan di hari ketiga setelah ia wafat –hal ini sangat tidak lazim bagi umat Islam yang selalu mengantar jenazah ke pemakaman selekas mungkin. Ketika prosesi pemakaman berlangsung, sebagian muslim tidak menyembahyangkannya. Bahkan, ada yang melempari, meludahi, dan mematahkan salah satu persendian mayat Usman. Akhirnya, ia tidak diperkenankan dikuburkan di pemakaman Muslim, sehingga harus dimakamkan dikuburan Yahudi. Penggantinya Ali Bin Abi Thalib, tak kuasa menahan apalagi menghukum mereka.
Pertanyaan kita selanjutnya, menurut Fouda adalah, kemarahan apa yang berada dibalik perilaku para sahabat Nabi ini?
Fouda mengedepankan fakta-fakta yang dilupakan persfektif romantis terhadap Khilafah. Ada banyak Khalifah, baik dari sejarah dinasti Umayyah maupun Abbasiyah, yang brengsek, brutal, dan biadab. Pendiri Dinasti Abbasiyah ada yang mendapat julukan "Si Penjagal", terkisah ketika dia mengundang 90 anggota keluarga Umayyah makan malam dan menyiksa sebelum membunuh mereka. Tradisi para khalifah yang buruk dan hedonis – seperti gemar minum minuman keras, main perempuan dan berprilaku amoral adalah beberapa contoh kisah kelam sejarah kekhalifahan. Lalu, kata Fouda, kita berhak bertanya, tentang tuntutan kembalinya khilafah, mereka begitu membenci bar, mencela biduan dan mengkafir-kafirkan para penarinya? Justru bukankah itu kelanjutan dari masa lalu dan bukankah juga bagian darinya?
Bagi penulis kalangan Islamis menemukan sebuah dilema – persis bak dilema usaha manusia rasionalnya Sidhunata, hasil pembacaannya atas Horkheimer dan Mazhab Frankfurt awal – modern. Bagi kelompok Islamis, disatu sisi mereka merasa bahwa solusi dari segala masalah kehidupan yang dihadapi manusia kini, sudah lengkap dan cukup tertera dalam kitab suci serta praktek tradisi agama masa lalu, sedangkan disisi lain mereka takut dan gamang akan ketakberdayaan nilai-nilai tradisional yang terus usang seiring alur modern sang waktu yang terus berjalan. Bagaimana mungkin kalangan islamis tersebut mempertahankan laku usang tradisi sekaligus berdialektika dengan arus baru globalisasi!
Sebenarnya kita dapat menangkap gagasan Fouda atas dua aspek, yaitu teoritis dan aspek kebijakan-praktis, terutama dalam telaah kita atas bukunya, al-Haqiqah al-Ghaibah. Aspek teoritis mencakup kritik terhadap doktrin jahiliyah modern; hal ini disebut Fouda sebagai logika fotokopi (al-mantiq al-kurbuni) – yaitu anggapan bahwa umat Islam mungkin mengembalikan fotokopi masa khulafa ar-rasyidun kedunia modern - dan keniscayaan ijtihad; irrelevansi khalifah dan formalisasi syariah, dan ihwal negara agama dan kebebasan sipil. Sementara aspek kebijakan-praktis meliputi soal partisipasi partai agama dalam dunia politik Mesir, dampak ekstremsime beragama dan penyikapan terhadap kaum ekstrimis.
Dalam karyanya al-Haqaiqah al-Ghaibah (Kebenaran yang Hilang), Fouda memang tulus mencerca keburukan sejarah kepemimpinan Islam masa silam, kisah perjuangan Islam berjalan seiring dengan pengorbanan darah dan nyawa manusia tak berdosa, katanya. Pengungkapan sejarah kelam Islam ini sebenarnya bukan hal yang baru bagi masyarakat muslim pada umumnya. Tapi disinilah letak keberanian Farag Fouda ditengah kemunafikan umat Islam dewasa ini, usahanya menyingkap borok kepemimpinan Islam masa silam secara lantang adalah cita-cita tertinggi baginya, Walaupun kisah perjuangan Fouda harus berakhir dengan ongkos kematian.
Syahdan, keberanian Fouda tersebut menjadi kelebihannya tersendiri. Lalu apakah para pemikir kebebasan Islam lainnya akan mengikuti jejaknya ini! Wallahu a'lam Bi Murodihi.
Tepat di tahun 1992 lalu, mata dunia terhenyak dengan tragedi kematian yang menimpa pemikir satir Mesir bernama Farag Fouda. Beberapa hari sebelum dibunuh sekelompok dari Universitas Al-Azhar mengeluarkan pernyataan bahwa Fouda, berdasarkan pikiran dan tulisannya, telah menghujat agama dan karenanya keluar dari Islam. Ini berarti, Fouda adalah musuh Islam dan halal darahnya. Di sini, labelisasi halal berarti boleh dibunuh. Sebelumnya, kelompok ulama yang sama menerbitkan nama-nama orang yang dianggap memusuhi Islam dan Fouda berada di urutan pertama. selanjutnya fatwa inilah yang dijadikan alat legitimasi para pembunuh Fouda untuk berdalih.
Kematiannya ini bukan saja membuat kalangan pemikir kebebasan lainya merasa kehilangan tapi juga miris, sedih, marah, goncang dan sesal tiada terkira. Farag Fouda dikenal oleh masyarakat Mesir sebagai seorang satir (pengejek) bagi mereka yang semena-mena, yang berada dipuncak kekuasaan. Terhitung sejak masa kepemimpinan Islam masa lalu hingga puncak kuasa para diktator di negara-negara muslim saat ini, pun tidak lepas dari kritikan pedasnya.
Kasus pembunuhan ini dilakukan oleh dua orang anggota Jama'ah Islamiyah, sayap ekstrimis Ikhwanul Muslimin. Tokoh-tokoh Islam Mesir yang dianggap moderat tidak mengungkapkan kecaman apapun atas kematian yang menimpa Fouda bahkan cenderung bersikap acuh agar tidak terkena getahnya, terlebih diantara kaum moderat tersebut justru ikut mengecam Fouda atas kritiknya yang terlalu frontal, adalah penyebab yang berujung pada kematian.
Konteks sosial politik mesir lalu menjadi hal menarik dan sekaligus unik untuk kita jadikan kaca perbandingan. Di sisi pertama sebagian masyarakat muslim Mesir menilai bahwa umat Islam saat ini memasuki sindrom jahiliyah modern. Dalam perkembangannya doktrin ini melahirkan kelompok-kelompok Islam garis keras. Diantaranya seperti Jama'ah Islamiyah, Takfir wal Hijrah dan kelompok Jihad Islam, yang kesemuanya tercatat sebagai anak kandung dari Rahim Gerakan Ikhawanul Muslimin.
Sedangkan disisi lain, adalah mereka yang menganggap bahwa modernisasi yang di antarkan oleh Napoleon Bonaparte (seorang Raja Prancis) beberapa abad silam melalui proses kolonialisasi adalah pijakan awal, bagi proses beralihnya laku kejumudan berfikir ke arah pembaharuan peradaban dan pengetahuan bangsa Mesir saat itu.
Bagaimana tidak, hasil silang kebudayaan timur dan barat di negara tersebut, melatarbelakangi sebuah peradaban pemikiran baru yang menampilkan wajah Islam yang rindu akan kemajuan dan keluasan ilmu pengetahuan. Hal ini sekilas tersirat dalam catatan-catatan kecil Albert Hourani seorang pemikir liberal, di beberapa karyanya. Hourani melihat negara timur yang berbeda, sangat jelas bahwa Mesir banyak menelurkan pemikir-pemikir yang memberikan semangat pembaharuan, sebut saja Afghani dan Abduh, di masa awal dan beberapa nama seperti Muhammad Said Al-Asymawi (lahir 1932), Salah Isa, Muhammad Husain Haikal, Ahmad Khalafallah Fuad Zakaria serta Farag Fouda sendiri di generasi selanjutnya. Dan yang paling penting adalah bahwa kebanyakan tulisan-tulisan mereka merupakan kritik tajam atas kelemahan-kelemahan dan cara pandang kaum Islamis.
Samsu rizal Panggabean dalam kata pengantar edisi terjemah: Kebenaran Yang Hilang (Al-Haqiqah Al-Ghaibah) berpendapat bahwa pada masa tersebut marak dengan tuntutan penerapan syariat Islam. Karenannya kontroversi mengenai gagasan negara Islam atau penerapan syariat Islam memiliki efek yang lebih luas di masyarakat yang latar belakangnya berbeda-beda.
Faouda adalah salah satu contoh dari fenomena intelektual non-Islamis yang mencoba masuk ke kancah Islamisme guna bertarung wacana. Farag Fouda kemudian bagi sebagaian komentator Islam dianggap sebagai gejala pemikir liberal lainnya yang membawa semangat "sekularisme baru" dunia Arab yang muncul di era pasca-kekalahan Arab dalam perang Enam Hari Melawan Israel (1967). Terdesak oleh wacana Islamisme yang menyederhanakan causa kekalahan karena faktor-faktor agama, mereka lalu tertarik untuk memperdebatkan tentang hubungan Islam dengan Isu-isu modern. Fouda memaparkan tafsir baru atas Islam sekaligus menawarkan jalan bagaimana seharusnya umat Islam melihat masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang secara jujur.
Fouda adalah pengejek ulung dalam hal mengkritik pandangan dan tafsiran kaum Islamis, ia tidak semata-mata mengungkapkan fakta sejarah yang menurutnya telah hilang dari ingatan mereka. Fouda sering menggunakan fakta tersebut untuk menunjukkan keadaan yang bertolak belakang dari yang dipahami lawan debatnya, dan melakukannya dengan selera humor yang tajam. Menariknya adalah bahwa bahan rujukan yang disertakan Fouda dalam kritikannya tersebut di ambil dari kitab-kitab klasik yang dihormati kalangan Islamis sacara umum, seperti Tarikh Thabari, Tarikh Khulafa as-Suyuthi dan Kitab Bidayah wa an-Nihayahnya Ibnu Katsir.
Salah satu fakta yang ingin diungkapkan Fouda adalah kisah dibalik tewasnya Khalifah ke-3 dari empat khalifah al-Rasyidun, Usman bin Affan yang dibunuh dan jenazah beliau tidak diperlakukan dengan hormat. Jasadnya baru di makamkan di hari ketiga setelah ia wafat –hal ini sangat tidak lazim bagi umat Islam yang selalu mengantar jenazah ke pemakaman selekas mungkin. Ketika prosesi pemakaman berlangsung, sebagian muslim tidak menyembahyangkannya. Bahkan, ada yang melempari, meludahi, dan mematahkan salah satu persendian mayat Usman. Akhirnya, ia tidak diperkenankan dikuburkan di pemakaman Muslim, sehingga harus dimakamkan dikuburan Yahudi. Penggantinya Ali Bin Abi Thalib, tak kuasa menahan apalagi menghukum mereka.
Pertanyaan kita selanjutnya, menurut Fouda adalah, kemarahan apa yang berada dibalik perilaku para sahabat Nabi ini?
Fouda mengedepankan fakta-fakta yang dilupakan persfektif romantis terhadap Khilafah. Ada banyak Khalifah, baik dari sejarah dinasti Umayyah maupun Abbasiyah, yang brengsek, brutal, dan biadab. Pendiri Dinasti Abbasiyah ada yang mendapat julukan "Si Penjagal", terkisah ketika dia mengundang 90 anggota keluarga Umayyah makan malam dan menyiksa sebelum membunuh mereka. Tradisi para khalifah yang buruk dan hedonis – seperti gemar minum minuman keras, main perempuan dan berprilaku amoral adalah beberapa contoh kisah kelam sejarah kekhalifahan. Lalu, kata Fouda, kita berhak bertanya, tentang tuntutan kembalinya khilafah, mereka begitu membenci bar, mencela biduan dan mengkafir-kafirkan para penarinya? Justru bukankah itu kelanjutan dari masa lalu dan bukankah juga bagian darinya?
Bagi penulis kalangan Islamis menemukan sebuah dilema – persis bak dilema usaha manusia rasionalnya Sidhunata, hasil pembacaannya atas Horkheimer dan Mazhab Frankfurt awal – modern. Bagi kelompok Islamis, disatu sisi mereka merasa bahwa solusi dari segala masalah kehidupan yang dihadapi manusia kini, sudah lengkap dan cukup tertera dalam kitab suci serta praktek tradisi agama masa lalu, sedangkan disisi lain mereka takut dan gamang akan ketakberdayaan nilai-nilai tradisional yang terus usang seiring alur modern sang waktu yang terus berjalan. Bagaimana mungkin kalangan islamis tersebut mempertahankan laku usang tradisi sekaligus berdialektika dengan arus baru globalisasi!
Sebenarnya kita dapat menangkap gagasan Fouda atas dua aspek, yaitu teoritis dan aspek kebijakan-praktis, terutama dalam telaah kita atas bukunya, al-Haqiqah al-Ghaibah. Aspek teoritis mencakup kritik terhadap doktrin jahiliyah modern; hal ini disebut Fouda sebagai logika fotokopi (al-mantiq al-kurbuni) – yaitu anggapan bahwa umat Islam mungkin mengembalikan fotokopi masa khulafa ar-rasyidun kedunia modern - dan keniscayaan ijtihad; irrelevansi khalifah dan formalisasi syariah, dan ihwal negara agama dan kebebasan sipil. Sementara aspek kebijakan-praktis meliputi soal partisipasi partai agama dalam dunia politik Mesir, dampak ekstremsime beragama dan penyikapan terhadap kaum ekstrimis.
Dalam karyanya al-Haqaiqah al-Ghaibah (Kebenaran yang Hilang), Fouda memang tulus mencerca keburukan sejarah kepemimpinan Islam masa silam, kisah perjuangan Islam berjalan seiring dengan pengorbanan darah dan nyawa manusia tak berdosa, katanya. Pengungkapan sejarah kelam Islam ini sebenarnya bukan hal yang baru bagi masyarakat muslim pada umumnya. Tapi disinilah letak keberanian Farag Fouda ditengah kemunafikan umat Islam dewasa ini, usahanya menyingkap borok kepemimpinan Islam masa silam secara lantang adalah cita-cita tertinggi baginya, Walaupun kisah perjuangan Fouda harus berakhir dengan ongkos kematian.
Syahdan, keberanian Fouda tersebut menjadi kelebihannya tersendiri. Lalu apakah para pemikir kebebasan Islam lainnya akan mengikuti jejaknya ini! Wallahu a'lam Bi Murodihi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar