Tampilkan postingan dengan label ISLAM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ISLAM. Tampilkan semua postingan

Rabu, 24 September 2008

ISLAM DI BRUNEI DARUSSALAM


ISLAM DI BRUNEI DARUSSALAM
Jika anda mendengar nama Brunei Darusalam, segera terbayang dari benak kita nuansa ke-Islaman yang sangat kental di tengah gemilang kehidupan disana hasil emas hitam yang mengalir tanpa henti di negeri kecil di Kepulauan Kalimantan tersebut. Brunei Darusalam adalah negara Islam-Melayu-Beraja, kerajaan tertua di Asia Tenggara.

Brunei Darussalam adalah sebuah negara kecil yang sangat makmur di bagian utara Pulau Borneo/Kalimantan dan berbatasan dengan Malaysia. Brunei terdiri dari dua bagian yang yang dipisahkan di daratan oleh Malaysia. Nama Borneo berdasarkan nama negara ini, sebab pada zaman dahulu kala, negeri ini sangat berkuasa di pulau ini

Secara geografis, Brunei adalah suatu negara di pantai Kalimantan bagian utara, berbatasan dengan laut Cina Selatan, di sebelah utara dan dengan Serawak di sebalah selatan barat dan timur. Luas: 5,765 km2, penduduk 267.000 jiwa (1989), kepadatan penduduk 46/km2, agama: Islam( 63,4 %), Budha (14 %), Kristen (9,7 %), lain-lain (12,9 %). Bahasa Melayu, Ibu kota: Bandar Seri Begawan, satuan mata uang : Dolar Brunei (BI$)

Sebagian besar wilayah Brunei terdiri dari daratan. Dengan pantai berupa rawa-rawa dengan hutan bakau, tetapi makin jauh kepedalaman tanah makin bukit-bukit dengan ketinggian kurang dari 100 M. Diperbatasan dengan Serawak terdapat daerah berbukit dengan ketinggian diatas 300M.

Penduduk Brunei hanya berjumlah 370 ribu orang dengan pendapatan berkapita sekitar 23,600 dollar Amerika atau sekitar 225 juta rupiah, Penduduknya 67% beragama Islam, Budha 13%, Kristen 10% dan kepercayaan lainnya sekitar 10%. Islam adalah agama resmi kerajaan Brunei Darusalam yang dipimpin oleh Haji Hassanal Bolkiah Mu'izzaddin Waddaulah (1967-kini).


Masuk Dan Berkembangnya Islam Di Brunei Darussalam


Catatan tradisi lisan diperoleh dari Syair Awang Semaun yang menyebutkan Brunei berasal dari perkataan baru nah yaitu setelah rombongan klan atau suku Sakai yang dipimpin Pateh Berbai pergi ke Sungai Brunei mencari tempat untuk mendirikan negeri baru. Setelah mendapatkan kawasan tersebut yang memiliki kedudukan sangat strategis yaitu diapit oleh bukit, air, mudah untuk dikenali serta untuk transportasi dan kaya ikan sebagai sumber pangan yang banyak di sungai, maka mereka pun mengucapkan perkataan baru nah yang berarti tempat itu sangat baik, berkenan dan sesuai di hati mereka untuk mendirikan negeri seperti yang mereka inginkan. Kemudian perkataan baru nah itu lama kelamaan berubah menjadi Brunei
Diperkirakan Islam di Brunei datang pada tahun 977 melalui jalur Timur Asteng oleh pedagang-pedagang dari negeri Cina. Catatan bersejarah yang membuktikan penyebaran Islam di Brunei adalah Batu Tarsilah. Catatan pada batu ini menggunakan bahasa Melayu dan huruf Arab. Dengan penemuan itu, membuktikan adanya pedagang Arab yang datang ke Brunei dan sekitar Borneo untuk menyebarkan dakwah Islam.
Silsilah kerajaan Brunei terdapat pada Batu Tarsilah yang menuliskan Silsilah Raja-Raja Brunei yang dimulai dari Awang Alak Betatar, raja yang pertama kali memeluk agama Islam (1368) sampai kepada Sultan Muhammad Tajuddin (Sultan Brunei ke-19, memerintah antara 1795-1804 dan 1804-1807).
Replika stupa yang dapat ditemukan di Pusat Sejarah Brunei menjelaskan bahwa agama Hindu-Buddha dahulu pernah dianut oleh penduduk Brunei. Sebab telah menjadi kebiasaan dari para musafir agama tersebut, apabila mereka sampai di suatu tempat, mereka akan mendirikan stupa sebagai tanda serta pemberitahuan mengenai kedatangan mereka untuk mengembangkan agama tersebut di tempat itu. Replika batu nisan P'u Kung Chih Mu, batu nisan Rokayah binti Sultan Abdul Majid ibni Hasan ibni Muhammad Shah Al-Sultan, dan batu nisan Sayid Alwi Ba-Faqih (Mufaqih) pula menggambarkan mengenai kedatangan agama Islam di Brunei yang dibawa oleh musafir, pedagang dan mubaligh-mubaliqh Islam, sehingga agama Islam itu berpengaruh dan mendapat tempat baik penduduk lokal maupun keluarga kerajaan
Islam menjadi agama resmi negara semenjak Raja Awang Alak Betatar masuk Islam (1406-1402). Awang Alak Betatar ialah Raja Brunei yang pertama memeluk Islam dengan gelar Paduka Seri Sultan Muhammad Shah. Dia terkenal sebagai pengasas kerajaan Islam di Brunei dan Borneo. Pedagang dari China yang pernah ke Brunei merakamkan beliau sebagai Ma-Ha-Mo-Sha. Beliau meninggal dunia pada 1402.
Awang Alak menganut Islam dari Syarif Ali. Dikatakan, Syarif Ali adalah keturunan Ahlul Bait yang bersambung dengan keluarga Rasulullah melalui cucu Baginda,Saidina Hassan. Pendekatan dakwah yang dilakukan Syarif Ali tidak sekadar menarik hati Awang Alak, dakwahnya menambat hati rakyat Brunei. Dengan kebaikan dan sumbangan besarnya dalam dakwah Islam di Brunei, beliau dinikahkan dengan puteri Sultan Muhammad Shah. Setelah itu, beliau dilantik menjadi Sultan Brunei atas persetujuan pembesar dan rakyat setempat
Sebagai pemimpin dan ulama, Syarif Ali gigih mendaulatkan agama Islam, diantaranya membina masjid dan melaksanakan hukum Islam dalam pentadbiran negara. Kegiatan membina masjid ini dijadikan pusat kegiatan keagamaan dan penyebaran Islam. Setelah tujuh tahun memerintah Brunei, pada 1432, Syarif Ali meninggal dunia dan dimakamkan di Makam Diraja Brunei.
Perkembangan Islam semakin maju setelah pusat penyebaran dan kebudayaan Islam Malaka jatuh ke tangan Portugis (1511), sehingga banyak ahli agama Islam pindah ke Brunei. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tersebut telah menyebabkan Sultan Brunei mengambil alih kepimpinan Islam dari Malaka, sehingga Kesultanan Brunei mencapai zaman kegemilangannya dari abad ke-15 hingga abad ke-17 sewaktu memperluas kekuaaannya ke seluruh pulau Borneo dan ke Filipina di sebelah utaranya. Kemajuan dan perkembangan Islam semakin nyata pada masa pemerintahan Sultan ke-5, yaitu Sultan Bolkiah (1485 - 1524), yang wilayahnya meliputi Suluk, Selandung, seluruh pulau Kalimantan (Borneo), kepulauan Sulu, Kepulauan Balabac, Pulau Banggi, Pulau Balambangan, Matani dan Utara Pulau Pahlawan sampai ke Manila
Pada masa sultan ke-9, yaitu Sultan Hassan (1605-1619), dilakukan beberapa hal yang menyangkut tata pemerintahan, pertama, menyusun Institusi-institusi pemerintahan agama, karena agama memainkan peranan penting dalam memandu negara Brunei kearah kesejahteraan, kedua, menyusun adat istiadat yang dipakai dalam semua upacara, baik suka maupun duka. Di samping menciptakan atribut kebesaran raja dan perhiasan raja. Ketiga, memuatkan UU Islam yaitu Hukum Qanun yang mengandung 46 pasal dan 6 bagian. Aturan adat istiadat kerajaan dan istana tersebut masih kekal hingga sekarang.
Pada tahun 1658 Sultan Brunei menghadiahkan kawasan timur laut Kalimantan kepada Sultan Sulu di Filipina Selatan sebagai penghargaan terhadap Sultan Sulu dalam menyelesaikan perang saudara di antara Sultan Abdul Mubin dengan Pengeran Mohidin. Persengketaan dalam kerajaan Brunei merupakan satu faktor yang menyebabkan kejatuhan kerajaan tersebut, yang bersumber dari pergolakan dalam disebabkan perebutan kuasa antara ahli waris kerajaan, juga disebabkan timbulnya pengaruh kuasa penjajah Eropa yang menggugat corak perdagangan tradisi, serta memusnahkan asas ekonomi Brunei dan kesultanan Asia Tenggara yang lain.
Brunei Darussalam Pada Masa Penjajahan Inggris
Pada Tahun 1839, James Brooke dari Inggris datang ke Serawak dan menjadi raja disana serta menyerang Brunei, sehingga Brunei kehilangan kekuasaannya atas Serawak. Sebagai balasan, ia dilantik menjadi gubernur dan kemudian "Rajah" Sarawak di Barat Laut Borneo sebelum meluaskan kawasan di bawah pemerintahannya. Pada tanggal 19 Desember 1846, pulau Labuan dan sekitarnya diserahkan kepada James Brooke. Sedikit demi sedikit wilayah Brunei jatuh ke tangan Inggris melalui perusahaan-perusahaan dagang dan pemerintahnya sampai wilayah Brunei kelak berdiri sendiri di bawah protektorat Inggris sampai berdiri sendiri tahun 1984.
Pada masa yang sama, Persekutuan Borneo Utara Britania sedang meluaskan penguasaannya di Timur Laut Borneo. Pada tahun 1888, Brunei menjadi sebuah negeri di bawah perlindungan kerajaan Britania dengan mengekalkan kedaulatan dalam negerinya, tetapi dengan urusan luar negara tetap diawasi Britania. Pada tahun 1906, Brunei menerima suatu langkah perluasan kekuasaan Britania saat kekuasaan eksekutif dipindahkan kepada seorang residen Britania, yang bertugas menasehati baginda Sultan dalam semua perkara, kecuali hal yang bersangkutan dengan adat istiadat setempat dan agama.
Pada tahun 1959, Brunei mendeklarasikan kerajaan baru yang berkuasa memerintah, kecuali dalam isu hubungan luar negeri, keamanan dan pertahanan. Di mana isu-isu ini menjadi tanggung jawab Britania. Percobaan untuk membentuk sebuah badan perundangan pada tahun 1962 terpaksa dilupakan karena terjadi pemberontakan oleh partai oposisi yaitu Partai Rakyat Brunei dan dengan bantuan Britania, pemberontakan ini berhasil diberantas. Pada akhir 1950 dan awal 1960, kerajaan Brunei ketika itu menolak cadangan (walaupun pada awalnya menunjukkan minat) untuk bergabung dengan Singapura, Sabah, Sarawak, dan Tanah Melayu untuk membentuk Malaysia dan akhirnya Sultan Brunei ketika itu bercadang untuk membentuk sebuah negara yang merdeka.
Pada 1967, Sultan ke-28, Omar Ali Saifuddin III (1950-1967) telah turun dari takhta dan melantik putra sulungnya Hassanal Bolkiah, menjadi Sultan Brunei ke-29. Baginda juga berkenan menjadi Menteri Pertahanan setelah Brunei mencapai kemerdekaan penuh dan disandangkan gelar Paduka Seri Begawan Sultan. Pada tahun 1970, pusat pemerintahan negeri Brunei Town, telah diubah namanya menjadi Bandar Seri Begawan untuk mengenang jasa baginda. Baginda mangkat pada tahun 1986.
Pada 4 Januari 1979, Brunei dan Britania Raya telah menandatangani Perjanjian Kerjasama dan Persahabatan. Perjanjian tersebut berisi 6 pasal. Akhirnya setelah 96 tahun di bawah pemerintahan Inggris Brunei resmi menjadi negara merdeka di bawah Sultan Hassanal Bolkiah pada 1 Januari 1984, Brunei Darussalam telah berhasil mencapai kemerdekaan sepenuhnya.

Islam di Brunei Setelah Merdeka
Setelah merdeka Brunei menjadi sebuah negara Melayu Islam Beraja. “Melayu” diartikan dengan negara melayu yang mengamalkan nilai-nilai tradisi atau kebudayaan melayu yang memiliki unsur-unsur kebaikan dan menguntungkan. “Islam” diartikan sebagai suatu kepercayaan yang dianut negara yang bermazhab Ahlussunnah Waljamaah sesuai dengan konstitusi dan cita-cita kemerdekaannya. “Baraja” adalah suatu sistem tradisi melayu yang telah lama ada.

Brunei merdeka sebagai negara Islam di bawah pimpinan sultan ke-29, yaitu Sultan Hassanal Bolkiah Mu’izzadin Waddaulah. Panggilan resmi kenegaraan saultan adalah “ke bawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda dan yang dipersatukan negeri. Gelar “Muizaddin Waddaulah” (pinata agama dan negara) menunjukkan ciri keislaman yang selalu melekat pada setiap raja yang memerintah.

Sebelum abad 16, Brunei memainkan peranan penting dalam penyebaran Islam di Wilayah Kalimantan dan Filipina. Sesudah merdeka, di tahun 1984 Brunei kembali menunjukkan usaha serius bagi memulihkan nafas ke-islaman dalam suasana politik yang baru. Di antara langkah-langkah yang diambil ialah mendirikan lembaga-lembaga modern yang selaras dengan tuntutan Islam. Disamping menerapkan hukum syariah dalam perundangan negara, didirikan Pusat Kajian Islam serta lembaga keuangan Islam.

Sultan telah melakukan usaha penyempurnaan pemerintahan yaitu dengan membentuk Majelis Agama Islam atas dasar UU agama dan Mahkamah Kadi tahun 1955. Majelis ini bertugas menasehati sultan dalam masalah agama Islam.

Kerajaan Brunei Darussalam adalah negara yang memiliki corak pemerintahan monarki konstitusional dengan Sultan yang menjabat sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, merangkap sebagai Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan dengan dibantu oleh Dewan Penasihat Kesultanan dan beberapa Menteri, yang dipilih dan diketuai oleh Sultan sendiri. Sultan Hassanal Bolkiah yang gelarnya diturunkan dalam wangsa yang sama sejak abad ke-15, ialah kepala negara serta pemerintahan Brunei. Baginda dinasihati oleh beberapa majelis dan sebuah kabinet menteri. Pemilu, menurut kontitusi, harus diadakan setiap 5 tahun. Namun sejak 1965 tidak pernah lagi diadakan pemerintahan umum. Partai Demokrasi Nasional Brunei, partai politik satu-satunya dinegara ini, dibentuk pada tahun 1985.

Langkan lain yang ditempuh sultan adalah menjadikan Islam benar-benar berfungsi sebagai pandangan hidup rakyat Brunei dan satu-satunya ideologi negara. Untuk itu dibentuk jabatan hal Ehwal Agama yang bertugas menyebarkan paham Islam. Baik kepada pemerintah beserta aparatnya maupun kepada masyarakat luas. Brunei mengembangkan hubungan luar negeri dengan masuk Organisasi Konferensi Islam, ASEAN dan PBB.

Untuk kepentingan penelitian agama Islam, pada tanggal 16 September 1985 didirikan pusat dakwah yang juga bertugas melaksanakan program dakwah serta pendidikan kepada pegawai-pegawai agama serta masyarakat luas dan pusat pameran perkembangan dunia Islam. Di Brunei orang-orang cacat dan anak yatim menjadi tanggungan negara. Seluruh pendidikan rakyat (dari Tk sampai Perguruan Tinggi) dan pelayanan kesehatan diberikan secara gratis.
-------------------------------------------

Catatan Kaki:Ensiklopedia Indonesia Seri Geografi. Penyusun Redaksi Ensiklopedia Indonesia, Jakarta: PT. Intermesa.1990) cet 1, hal 48
"http://id.wikipedia.org/wiki/Brunei"
"http://id.wikipedia.org/wiki/Brunei"
Awang Mohd. Jamil Al-Sufri, liku-liku Pencapain Kemerdekaan Negara Brunei Darussalam, (Brunei: Jabatan Pusat Sejarah,1992) Cet ke-1, hal 276-283
Ensiklopedia Islam Indonesia, Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah. Jakarta. Djambatan. 1992. hal 50
Ensiklopedia Islam, Jakarta: Pt. Ichtiar Baru Van Hoeve. 1999. Cet. 5 hal 27



REFERENSI

Awang Mohd. Jamil Al-Sufri, liku-liku Pencapain Kemerdekaan Negara Brunei Darussalam, (Brunei: Jabatan Pusat Sejarah,1992) Cet ke-1.
Ensiklopedia Islam, Jakarta: Pt. Ichtiar Baru Van Hoeve. 1999. Cet. 5
Ensiklopedia Islam Indonesia, Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah. Jakarta. Djambatan. 1992.
Ensiklopedia Indonesia Seri Geografi. Penyusun Redaksi Ensiklopedia Indonesia, (Jakarta: PT. Intermesa.1990) cet 1.
"http://id.wikipedia.org/wiki/Brunei"

ISLAM DI BRUNEI DARUSSALAM ISLAM DI BRUNEI DARUSSALAM ISLAM DI BRUNEI DARUSSALAM ISLAM DI BRUNEI DARUSSALAM ISLAM DI BRUNEI DARUSSALAM ISLAM DI BRUNEI DARUSSALAM ISLAM DI BRUNEI DARUSSALAM ISLAM DI BRUNEI DARUSSALAM ISLAM DI BRUNEI DARUSSALAM

SEJARAH ISLAM NUSANTARA

SEJARAH ISLAM NUSANTARA
Belum ada tolak ukur kesepakatan di antara para sejarawan dalam memberikan tolak ukur pada kedatangan Islam di Indonesia. Perbedaan- perbedaan tersebut, selain disebabkan oleh perbedaan-perbedaan kategori yang digunakan dalam melihat sosok Islam, juga berkaitan erat dengan perbedaan dalam memahami apa yang dimaksud dengan “Islam”. Kelompok pertama, mereka menyatakan bahwa islamisasi dapat didasarkan pada kriteria minimal formal keagamaan, seperti pengucapan dua kalimat syahadat, pemakaian nama Muslim atau pemakaian aksara Arab pada batu nisan atau pada pengambilan beberapa kata atau istilah yang berasal dari “pusat dunia Islam” seperti Timur Tengah atau Persia. Pengertian Islam seperti ini terutama dianut oleh sejarawan lokal, dan juga oleh sejumlah sejarawan asing. Sedangkan kelompok kedua, yang mayoritas digunakan oleh sejarawan asing, menggunakan aspek “sosiologi” sebagai para meter, yaitu sejauh mana Islam dan perangkat institusinya berfungsi secara aktual dan secara keseluruhan di dalam masyarakat Muslim setempat. Menurut pandanagan ini pengucapan kalimat syahadat belaka belum dapat dikategorikan atau dijadikan tolak ukur penetrasi Islam di wilayah tertentu, meskipun secara formal keagamaan sudah memadai untuk membuat seseorang menjadi Muslim. Kalau diakui sebagai penganut Islam , mereka digolongkan sebagai Muslim yang mempraktekkan ajaran Islam secara lebih taat dalam kehidupan sehari-harinya.

Kalau pengertian dan ukuran pertama digunakan , maka beberapa kawasan tertentu seperti Samudera Pasai atau Leran di Jawa Timur telah memeluk Islam sedikitnya sejak akhir abad ke-11. Ini karena masing-msing tempat ditemukan batu nisan yang bertuliskan Arab yang bertahun 1927 (di Pasai) dan 1102 (di Leran). Selain itiu, Marco Polo yang mengunjungi wilayah Samudera Pasai pada 1292 menyebutkan bahwa Perlak sudah memeluk Islam, sementara “Samara” (Samudera) masih menyembah berhala. Demikian pula, pengembara Muslim Maroko, Ibnu Battuta, yang mengunjungi pasai pada 1345 menyatakan bahwa masyarakat setempat sudah masuk Islam. Dari tempat-tempat inilah kemudian Islam menyebar keseluruh Nusantara.

Mengenai tempat asal datangnya Islam ke Asia Tenggara, sedikitnya ada empat teori besar. Pertama, teori yang menyatakan bahwa Islam datang langsung dari Arab, atau tepatnya Hadramaut. Teori ini dikemukakan Crawfurd (1820), Keyzer (1859), Niemann (1861), De Hollander (1861), dan Veth (1878). Crawfurd menyatakan bahwa Islam datang langsung dari Arab, meskipun ia menyebut adanya hubungan dengan orang-orang “Mohammedan” di India Timur. Keyzer beranggapan bahwa Islam datyang dari Mesir yang bermazhab Syafi’I, sama seperti yang dianut kaum Muslimin Nusantara umumnya. Teori ini juga dipegang NIemann dan De Hollander, tetapi dengan menyebut Hadramaut, bukan Mesir, sebagai sumber datangnya Islam, sebab Muslim Hadramaut adalah pengikut mazhab Syafi’I seperti juga kaum Muslimin Nusantara.

Teori kedua, diajukan oleh Veth yang berpendapat bahwa orang-orang Arablah yang menyebarkan Islam di Timur Tengah. Teori semacam ini juga diajukan Hamka dalam seminar “Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia” pada tahun 1962. Menurutnya Islam masuk ke Indonesia langsung dari Arab, bukan melalui India, dan bukan pula pada abad ke-1, melainkan pada abad pertama Hijriyah/7 M.

Ketiga, Teori yang mengatakan bahwa Islam di Nusantara datang dari India pertama kali dikemukakan oleh Pijnapel tahun 1872. Berdasarkan terjemahan Prancis tentang catatan perjalanan Sulaiman, Marco Polo, dan Ibnu Battuta, ia menyimpulkan bahwa orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’I dari Gujarat dan Malabar di India yang membawa Islam ke Asia Tenggara. Menurutnya , melalui perdagangan amat memungkinkan terselenggaranya hubungan antara kedua wilayah ini, ditambah lagi dengan umumya istilah-istilah Persia yang dibawa dari India digunakan oleh masyarakat kota-kota pelabuhan Nusantara. Teori ini lebih lanjut dikembangkan oleh Snouck Hurgronye yang melihat para pedagang kota pelabuhan Dakka di India Selatan sebagai pembawa Islam ke wilayah Islam baru ini. Teori Snouck lebih lanjut dikembangkan oleh Marrison pada 1951. Dengan menunjuk tempat yang pasti di India, ia menyatakan dari sanalah Islam datang ke Nusantara. Ia menunjuk pantai Koromandel sebagai pelabuhan tempat bertolaknya para pedagang Muslim dalam pelayaran mereka menuju Nusantara.

Teori keempat, yang dikembangkan Fatimi menyatakan bahwa Islam datang dari Benggali (kini Bangladesh). Dia mengutip keterangan Tome Pires yang mengungkapkan bahwa kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali atau keturunan mereka. Dan Islam muncul pertama kali di Semenanjung Malaya, dari arah pantai Timur, bukan dari Barat (Malaka), pada abad ke-11, melalui Kanton, Phanrang (Vietnam), Leran, dan Trengganu. Ia beralasan bahwa secara doktrin, Islam di semenanjung lebih sama dengan Islam di Phanrang, elemen-elemen prasasti di Trengganu juga lebih mirip dengan Prasasti yang ditemukan di Leran.

Semua teori diatas jelaslah belum final, meskipun telah banyak sejarawan yang menulis tentang masalah ini. Agenda penelitian dan penafsiran lebih lanjut menyangkut sifat penyebaran agama Islam di kawasan ini terlepas dari mana datangya Islam dan faktor-faktor apa yang menyebabkan Islam berkembang menjadi agm dominan dalam pertarungannya dengan sistem-sistem agama, kebudayaan dan tradisi lain yang sebelumnya dominan atau dalam waktu yang kira-kira bersamaan dengan datangnya Islam, berusaha pula mengembangkan pengaruhnya.

A. Proses Masuknya Islam Ke Indonesia
Teori yang menjelaskan masuknya Islam ke Indonesia cukup variatif sesuai dengan bukti historis yang para sejarawan temukan. Suatu teori menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M. Para sarjana sepakat bahwa agama Islam mulai berkembang dengan semarak pada ke-13 setelah terbentuknya komuniti-komuniti Islam dalam jumlah yang cukup besar di berbagai tempat di kepulauan Indonesia. Komuniti-komuniti itu terdiri dari kaum urban yang telah memeluk Islam dan para pendatang yang terdiri dari kaum pedagang, sarjana, ulama dan sufi. Pertanyaan kemudian adalah bagaimana proses islamisasi itu berlangsung? Melalui jalur apa Islam masuk ke Indonesia?

Menurut Hanun Asrohah menyebutkan bahwa ada tiga teori yang berbicara tentang proses Islamisasi di Indonesia, yakni pertama, teori bahwa Islam dibawa ke Nusantara melalui para pedagang Gujarat dan Arab Saudi. Kedua, Islam tersebar di Indonesia melalui para ulama (mullah). Atau dengan kata lain, menurut teori ini proses Islamisasi di Indonesia pernah dilakukan juga melalui jalur-jalur pendidikan sebagaimana yang pernah dilakukan Maulana Malik Ibrahim, Syekh Ishaq dan lain sebagainya. Dan ketiga, melalui jalur kekuasaan keraton. Teori ini mengindikasikan bahwa raja-raja di Nusantara ketika itu memiliki peran dan pengaruh signifikan dalam penyebaran Islam di Indonesia. Seorang raja yang telah masuk Islam biasanya akan diikuti oleh rakyat secara serentak. Sementara Uka Tjandrasasmita sebagaimana dikutip Badri Yatim menyebutkan bahwa saluran-saluran islamisasi melalui enam cara, yaitu:
1. Jalur Perdagangan
Tradisi berdagang dengan cara berpindah dari satu negara ke negara lainnya merupakan satu tradisi dan kerekteristik yang pernah dikembangkan oleh bangsa-bangsa Arab, India, dan Gujarat. Bahkan bisnis berdagang dijadikan sebagai jalan alternative dalam mengais rezki sekaligus penyebaran Islam di Dunia, termasuk penyebaran Islam di Indonesia.

Pada masa awal, saudagar-saudagar Muslim dikenal cukup mendominasi perdagangan di Nusantara. Hubungan pergaulan antara pedagang Muslim dengan penduduk setempat akhirnya dapat menarik hati penduduk setempat untuk memeluk Islam. Besarnya pengaruh saudagar Muslim mampu memperkenalkan nilai-nilai Islam terutama ketentuan hukum Islam mengenai perdagangan yang memberi keuntungan ekonomi secara maksimal, sekaligus mereka membatasi adanya pilihan terhadap agama-agama lain. Hubungan ini dilakukan pada abad ke-7 hingga ke-16 M, ketika itu para penduduk Indonesia masih belum mengenal Islam sebagai satu agama dan keyakinan. Pada waktu itu, masyarakat Indonesia lebih mengenal agama Hindu, Budha, pemujaan terhadap benda-benda keramat (aninisme, dinanisme) dan lain sebagainya. Para pedagang Muslim banyak bermukim di pesisir pulau Jawa yang penduduknya ketika itu masih kafir. Bahkan mereka berhasil mendirikan mesjid-mesjid dan mendatangkan mullah-mullah dari luar sehingga jumlah mereka menjadi benyak.

2. Jalur Perkawinan
Penyebaran Islam di Indonesia banyak didukung oleh adanya hubungan perkawinan antara bangsawan yang notabene pedagang Muslim dengan para wanita dari kalangan bangsawan. Mungkin tidak sedikit para ulama (mullah) yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman pada masyarakat Indonesia yang kemudian diambil menantu oleh para bangsawan terkemuka. Sebut saja Sunan Ampel (Raden Rahmat) kawin dengan Nyi Manila, Sunan Gunung Djati kawin dengan Kawunganten, dan sebagainya.

3. Jalur Tasawuf
Pengajar-pengajar tasawuf atau para sufi, mengajarkan teosofi yang bercampur dengan ajaran-ajaran yang bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalam soal-soal magis dan mempunyai kekuatan-kekuatan menyembuhkan. Diantara mereka ada juga yang mengawini putri-putri bangsawan setempat. Dengan tasawuf, “bentuk” Islam yang diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama Hindu, sehingga agama baru itu mudah dimengerti dan diterima. Di antara ahli-ahli tasawuf yang memberikan ajaran yang mengandung persamaan dengan alam pikiran Indonesia pra-Islam itu adalah Hamzah Fansuri di Aceh, Syaikh Lemah Abang, Sunan Panggung di Jawa. Ajaran mistik seperti ini masih berkembang di abad ke-19 M bahkan di abad ke-20 M ini.

4. Jalur PendidikanIslamisasi juga melalui pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang diselanggarakan oleh guru agama, kiai-kiai, dan ulama-ulama. Di pesantren atau pondok-pondok itu, calon ulama, guru agama,dan kiai mendapat pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren, mereka pulang ke kampung masing-masing kemudian berdakwah ke tempat tertentu mengajarkan Islam. Misalnya pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta Surabaya dan Sunan Giri di Giri. Keluaran pesantren Giri ini banyak yang diundang ke Maluku Untuk mengajarkan agama Islam.

5. Jalur Kesenian
Saluran Islamisasi melalui kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukan wayang. Sunan Kalijaga adalah pencipta wayang kult dan tokoh yang paling mahir dalam mementaskan wayang, dan kini kesenian itu menjadi kesenian tradisional Jawa yang paling popular hingga saat inii. Sunan Kalijaga tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi ia meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian besar cerita wayang masih dipetik dari cerita Mahabharata dan Ramayana, namun telah dipangkasi akar-akar hinduisme di dalamnya. Di dalam cerita itu disisipkan ajaran dan nama-nama pahlawan Islam. Kesenian-kesinian lain juga dijadikan alat Islamisasi, seperti sastra (hikayat, babad, dan sebagainya), seni bangunan dan seni ukir.

6. Jalur Politik
Di Maluku dan Sulawesi Selatan, kebudayaan rakyat masuk Islam setelah rajanya memeluk Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya Islam di daerah ini. Di samping itu, baik Sumatera dan Jawa maupun di Indonesia bagian timur, demi kepentingan politik, kerajaan-kerajaan Islam memerangi kerajaan-kerajaan non-Islam. Kemenangan kerajaan Islam secara politis banyak menarik penduduk kerajaan bukan Islam masuk Islam.

Ada faktor yang cukup menentukan bagi cepatnya perkembangan Islam di Indonesia, khususnya antara abad ke-13 hingga abad ke-17, yang sering dilupakan oleh para pengkaji sejarah Islam. Factor itu ialah peranan organisasi dagang yang disebut ta’ifa, semacam gilde yang mempunyai jaringan perdagangan yang luas mulai dari Istanbul, Turki, hingga ke Sumatera dan pulau Jawa. Anggota-anggota ta’ifa tidak hanya terdiri dari para saudagar dan bangsawan kaya. Tetapi juga bekas tentara yang ingin mengabdikan diri bagi penyebaran agama Islam, para ulama dan sarjana dari berbagai disiplin ilmu, muballigh, penyair, sastrawan, sufi, seniman, pengrajin, pengusaha pabrik tekstil, parabot, keramik dan lain-lain, guru agama dan bahasa Arab, pakar perkapalan dan pelayaran, tabib dan banyak lagi profesi yang terlibat dalam sebuah ta’ifa.

B. Kontribusi Umat Islam Terhadap Pembinaan Masyarakat, Bangsa dan Negara Indonesia
Islam sebagai satu bentuk keberagamaan yang memiliki karekteristik dan watak seperti ajarannya yang terbuka (inklusiv), dapat menampung dan menerima ajarannya agama terdahulu yang masih sesuai dengan ajaran Islam (akomodatif), bersifat egaliter,reformatif dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan inti ajaran Islam itu sendiri yakni memposisikan semua ajarannya sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin).

Dalam persoalan politik, kehadiran Islam di beberapa tempat mendorong terjadinya perubahan pola kekuasaan dan melahirkan kesatuan-kesatuan politik Islam dalam bentuk kesultanan-kesultanan. Agama Islam juga membawa berbagai pandangan baru yang revolusioner untuk masa itu. Bagi Nurcholis Madjid kondisi Islam yang seperti itu dengan dua alasan sebagai berikut, pertama, sifat Islam sebagai agama egaliter radikal yang berakibat pada penyudahan sistem kasta dalam masyarakat Hindu Nusantara dan penghentian praktek sati (keharusan seorang janda untuk terjun ke dalam api yang juga digunakan untuk membakar jenajah suaminya). Kedua, Islam dengan kesadaran hukumnya yang amat kuat telah melengkapi penduduk nusantara khususnya para pedagang dengan sistem hukum yang berjangkauan internasional yang mampu mendukung kegiatan perdagangan dalam konteks ekonomi global yang saat itu sedang dalam kekuasaan Islam.

Dalam bidang ekonomi sosial Islam telah membuka masyarakat untuk senantiasa berlaku adil dalam melakukan transaksi, tidak berbuat curang dalam timbangan, harus ada kesepakatan antara penjual dan pembeli serta bagaimana konsep keseimbangan, tidak boros atau tidak berlebihan yang dianjurkan al-Qur’an juga mampu menciptakan suasana kehidupan manusia yang sehat, damai dan sejahtera. Dengan demikian, kedatangan Islam sesungguhnya bukan tanpa makna bagi kehidupan umat manusia, Islam banyak memberikan kontribusi dan peran signifikan di setiap sektor kehidupan manusia.

Dalam konteks Indonesia, kedatangan Islam sejak abad ke-7 M telah menampilkan sebuah pola dan sikap keberagaman yang bisa diterima oleh hampir sebagian masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa alasan antara lain, pertama, tidak sedikit para pedagang yang berbangsa asing yang pada akhirnya menetap di nusantara, bahkan menikah dengan wanita pribumi. Kedua, banyak kerajaan-karajaan di Nusantara yang pada akhirnya bergabung dengan Islam.

Dengan demikian, keberadaan Islam pada akhirnya dapat diterima oleh masyarakat dan mampu memainkan peran yang cukup penting dalam berbagai bidang, terutama dalam bidang pendidikan, politik, sosial ekonomi perdagangan dan kebudayaan.

1. Kontribusi Umat Islam Sebelum KemerdekaanDalam kancah politik, Islam memiliki doktrin bahwa rasa nasionalisme terhadap tanah air, cinta tanah air (hubbull watan) menjadi ciri mendasar ajaran Islam itu sendiri. Doktrin yang dimiliki umat Islam yang pada akhirnya menggugah rasa nasionalisme yang kuat terhadap hati mayoritas masyarakat Muslim di Indonesia untuk berjuang dalam mempertahankan bumi pertiwi. Nasionalisme ini bisa dibuktikan melalui cara peperangan langsung (fisik) atau dapat juga melalui jalur diplomasi. Perjuangan fisik ini dapat dibuktikan dengan serangkaian usaha yang dilakukan para pahlawan Indonesia seperti, Pangeran Diponegoro (1785-1830 M) dari Yogyakarta, RA Kartini dari Jawa, Cut Nyakdin dari Aceh, Imam Bonjol dari Sumatera barat, Sultan Hasanudin dari Banten, Syarif Hidayatullah dari Cirebon, Budi Utomo ((1908-1939 M) dan pahlawan lainnya yang berusaha menentang penjajah dengan satu tujuan agar Negara Kesatuan Republik Indonesia ((NKRI) kembali kepangkuan ibu pertiwi.

Perjuangan melalui jalur diplomatik seperti yang pernah dilakukan para pahlawan lainnya seperti Haji Agus Salim dan Abdoel Moeis sebagai tokoh central Sarekat Islam (1915), KH. Ahmad Dahlan (1869-1923 M) yang kemudian mendirikan organisasi beraliran modernis (1912), KH. Hasyim Asy’ari mendirikan organisasi tradisionalis Nahdatul Ulama (1926), KH. Abdullah Ahmad yang kemudian mendirikan Madrasah Adabiyah di Padang Sumatera Barat, Moh Hatta, Moh Yamin Moh Syahrir, Moh Natsir, H. Samanhoedi, Adam Malik, H. Abdul Karim Abdullah. Sebagian besar dari tokoh tersebut juga dicatat dalam sejarah sebagai tokoh yang pernah mengonsep Piagam Jakarta yang kemudian dijadikan sebagai dasar pembentukan falsafah negara Indonesia yakni Pancasila. Dan masih banyak pahlawan Islam lain yang mencoba melakukan serangkaian usaha demi memajukan bangsa Indonesia.

Dalam pendidikan, umat Islam juga memiliki peran yang cukup signifikan. Hal ini dapat dibuktikan dengan upaya yang dilakukan oleh para tokoh Muslim tersebut, misalnya KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari dalam merespon pendidikan yang diterapkan oleh Belanda yang cukup sekuler, tidak berpihak kepada rakyat kecil, dan mendikhotomikan ilmu pengetahuan agama dan Ilmu pengetahuan umum, dengan lembaga yang bisa merespon keinginan masyarakat Indonesia secara luas, yakni pendidikan pesantren dan madrasah. Melalui lembaga pendidikan ini masyarakat Indonesia dapat belajar ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum secara seimbang. Pendidikan Islam tidak menghendaki terjadinya dikotomi keilmuan, sebab dengan adanya sistem dikotomi menyebabkan sistem pendidikan Islam menjadi sekularistis, rasionalistis, empiris, intuitif dan materialistis. Keadaan demikian tidak mendukung tata kehidupan umat yang mampu melahirkan peradaban Islam.

Terlepas dari perbedaan usaha yang coba dilakukan para tokoh tersebut yang pasti sebelum kemerdekaan RI usaha negoisasi melalui jalur politik, pembinaan akhlak melalui pendidikan agama dan organisasi keislaman, usaha perbaikan ekonomi atas prakarsa organisasi Sarekat Dagang Islam dan lain sebagainya. Usaha-usaha tersebut yang pada akhirnya membuk mata hati rakyat Indonesia untuk bersatu, demi satu kata Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sehingga pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka dan kembali ke bumi pertiwi.

2. Kontribusi Umat Islam Setelah KemerdekaanTerbentuknya NKRI tidak lantas mengakhiri perjuangan yang pernah dilakukan para pendiri dan pahlawan Indonesia. Serangkaian usaha dalam rangka perjuangan bangsa Indonesia terus dilakukan demi sebuah cita-cita yang sangat ideal, yakni menciptakan negara yang baldatun thayyibatun warabbun ghafur. Oleh karena itu, pasca kemerdekaan, umat Islam terus berupaya dan berjuang terutama dalam rangka pembinaan moralitas bangsa, mengisi pembangunan, perbaikan pendidikan, dan perbaikan sumber daya manusia Indonesia.

Kehadiran Departemen Agama dapat dikatakan sebagai satu di antara banyak kontribusi yang dilakukan umat Islam. Departemen ini didirikan pada 3 Januari 1949 berdasarkan UUD 1945 pasal 29, bahwa Negara berdasarkan atas ketuhanan Yang Maha Esa dan bahwa Negara menjamin kemerdekaan atas setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.

Selain itu juga, lahirnya lembaga-lembaga keagamaan seperti Majlis Ta’lim, pesantren salaf dan pesantren modern, serta munculnya Islamic Boarding School merupakan kontribusi riil yang coba dimainkan umat Islam. Kehadiran lembaga-lembaga tersebut secara tidak langsung telah memberi warna tersendiri bagi perjalanan sejarah Sistem Pendidikan Nasional.

Melalui jalur pendidikan, mulai dari tingkat Taman Pendidikan al-Qur’an ((TPA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah ((MA), dan IAIN, STAIN serta UIN, juga merupakan satu kontribusi yang sangat bernilai. Lembaga-lembaga pendidikan yang bernaung di bawah Depag tersebut di samping telah ikut andil dalam membantu mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang tertuang dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, juga tidak sedikit investasi materi yang lahir melalui peran lembaga tersebut.

Peranan umat Islam dalam mengisi kemerdekaan juga bisa dilihat dari berbagai serangkain usaha, tindakan yang kemudian berimbas pada lahirnya organisasi seperti, MUI, ICMI, Bank Muamalat Indonesia (BMI), lembaga pemerintahan seperti Depag RI, perundang-undangan seperti undang-undang peradilan agama, Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan lain sebagainya.

Didirikannya Majlis Ulama Indonesia ((MUI) sebagai lembaga yang bertugas menampung segala aspirasi keagamaan dari organisasi Islam, menyeleksi dan mengevaluasi tentang kehalalan atau keharaman suatu makanan, juga memberi fatwa keagamaan secara mutlak kepada umat Islam, sehingga keberadaannya harus dijadikan sebagai rujukan dan dapat memenangkan seluruh masyarakat Muslim tanpa terkecuali.

3. Islam Indonesia dan Tantangan Masa Depan
Islam Indonesia adalah etnis yang sah dan refresentatif dari masyarakat Islam internasional dan tidak harus diapresiasi sebagai bagian menyimpang kesadaran keummatan-keislaman intenasional. Umat Islam yang satu bukanlah sebuah bentuk di mana setiap bagiannya harus menyerahkan kepalanya masing-masing untuk diseragamkan dalam segala hal. Memang terdapat keseragaman nyata di wilayah teologis, syari’ah, dan ubudiyah, namun itu bukan berarti keseragaman dalam semua hal. Islam justeru mentoleransi sejumlah perbedaan dan menganggapnya sebagai rahmat.

Hal ini penting untuk dicatat mengingat konstalasi global saat ini secara sepihak menempatkan Islam vis a vis barat dalam medan pertentanagan fisik yang saling menafikan. Peristiwa 11 September 2001 di New York, perang As melawan Taliban, kehancuran Palestina dan pengepungan Iraq seolah-olah menjadi fakta tunggal umat Islam.

Ini diperparah lagi dengan kampanye barat yang intens bahwa Islam identik dengan kekerasan dan apa yang disebut mereka sebagai terorisme sebagaimana tercermin melalui jaringan Al-Qaeda, Otsama bin Laden, Rezim Taliban, Saddam Husein atau Imran Khoemeini. Barat memang tidak pernah mau serius berdialog secara sejajar dengan umat Islam secara keseluruhan.

Di sisi lain, kampanye barat ini berdampak pada semakin bermunculnya kelompok minoritas Islam garis keras (saat ini mulai berkembang subur di Indonesia) yang bermimpi menciptakan komando (kekhalifahan) tunggal dan menyeru untuk berkonfrontasi secara fisik dengan Amerika. Agenda kelompok ekstrim ini seolah-olah mendominasi aktivitas umat Islam internasional yang berjumlah 1 milyar jiwa.

Persoalan ini yang harus dipecahkan secara kreatif dan substantive oleh seluruh umat Islam internasional, termasuk di Indonesia. Kesadaran dan kenyataan Islam Indonesia adalah modal yang besar dan strategis guna melakukan agenda dan tugas-tugas peradaban dan cultural baik dalam area domestic, regional, maupun internasional. Kita harus mampu melanjutkan contoh yang baik dari para pendahulu kita seperti komunitas Wali Songo dalam mengapresiasi perbedaan, improvisasi cultural maupun penyusunan agenda-agenda besar di masa depan.



DAFTAR PUSTAKA

Asrohah, Hanun, Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: Logos. 2000)
Azra, Azyumardi, Perspektif Islam di Asia Tenggara. (Jakarta: Yayasan obor Indonesia. 1991)
Gholib, Achmad, Study Islam: Pengantar Memahami Agama, Al-Qur’an, Al-Hadist & Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Faza Media, 2006)
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)
Madjid, Nurcholis, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan Indonesia. (Jakarta. Paramadina. 1997)
Noer, Deliar, Membincang Tokoh-tokoh Bangsa. (Bandung: Mizan, 2001)
Nurdin, Ali & Abd. Aziz Hasibuan, Islam dan Prospek Keberagamaan di Indonesia, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006) cet.1
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004)




SEJARAH ISLAM NUSANTARASEJARAH ISLAM NUSANTARASEJARAH ISLAM NUSANTARASEJARAH ISLAM NUSANTARASEJARAH ISLAM NUSANTARASEJARAH ISLAM NUSANTARASEJARAH ISLAM NUSANTARASEJARAH ISLAM NUSANTARASEJARAH ISLAM NUSANTARA
TEMUKAN MAKALAH/ARTIKEL YANG ANDA CARI DI SINI:
Custom Search

Posting Terkini