Belum ada tolak ukur kesepakatan di antara para sejarawan dalam memberikan tolak ukur pada kedatangan Islam di Indonesia. Perbedaan- perbedaan tersebut, selain disebabkan oleh perbedaan-perbedaan kategori yang digunakan dalam melihat sosok Islam, juga berkaitan erat dengan perbedaan dalam memahami apa yang dimaksud dengan “Islam”. Kelompok pertama, mereka menyatakan bahwa islamisasi dapat didasarkan pada kriteria minimal formal keagamaan, seperti pengucapan dua kalimat syahadat, pemakaian nama Muslim atau pemakaian aksara Arab pada batu nisan atau pada pengambilan beberapa kata atau istilah yang berasal dari “pusat dunia Islam” seperti Timur Tengah atau Persia. Pengertian Islam seperti ini terutama dianut oleh sejarawan lokal, dan juga oleh sejumlah sejarawan asing. Sedangkan kelompok kedua, yang mayoritas digunakan oleh sejarawan asing, menggunakan aspek “sosiologi” sebagai para meter, yaitu sejauh mana Islam dan perangkat institusinya berfungsi secara aktual dan secara keseluruhan di dalam masyarakat Muslim setempat. Menurut pandanagan ini pengucapan kalimat syahadat belaka belum dapat dikategorikan atau dijadikan tolak ukur penetrasi Islam di wilayah tertentu, meskipun secara formal keagamaan sudah memadai untuk membuat seseorang menjadi Muslim. Kalau diakui sebagai penganut Islam , mereka digolongkan sebagai Muslim yang mempraktekkan ajaran Islam secara lebih taat dalam kehidupan sehari-harinya.
Kalau pengertian dan ukuran pertama digunakan , maka beberapa kawasan tertentu seperti Samudera Pasai atau Leran di Jawa Timur telah memeluk Islam sedikitnya sejak akhir abad ke-11. Ini karena masing-msing tempat ditemukan batu nisan yang bertuliskan Arab yang bertahun 1927 (di Pasai) dan 1102 (di Leran). Selain itiu, Marco Polo yang mengunjungi wilayah Samudera Pasai pada 1292 menyebutkan bahwa Perlak sudah memeluk Islam, sementara “Samara” (Samudera) masih menyembah berhala. Demikian pula, pengembara Muslim Maroko, Ibnu Battuta, yang mengunjungi pasai pada 1345 menyatakan bahwa masyarakat setempat sudah masuk Islam. Dari tempat-tempat inilah kemudian Islam menyebar keseluruh Nusantara.
Mengenai tempat asal datangnya Islam ke Asia Tenggara, sedikitnya ada empat teori besar. Pertama, teori yang menyatakan bahwa Islam datang langsung dari Arab, atau tepatnya Hadramaut. Teori ini dikemukakan Crawfurd (1820), Keyzer (1859), Niemann (1861), De Hollander (1861), dan Veth (1878). Crawfurd menyatakan bahwa Islam datang langsung dari Arab, meskipun ia menyebut adanya hubungan dengan orang-orang “Mohammedan” di India Timur. Keyzer beranggapan bahwa Islam datyang dari Mesir yang bermazhab Syafi’I, sama seperti yang dianut kaum Muslimin Nusantara umumnya. Teori ini juga dipegang NIemann dan De Hollander, tetapi dengan menyebut Hadramaut, bukan Mesir, sebagai sumber datangnya Islam, sebab Muslim Hadramaut adalah pengikut mazhab Syafi’I seperti juga kaum Muslimin Nusantara.
Teori kedua, diajukan oleh Veth yang berpendapat bahwa orang-orang Arablah yang menyebarkan Islam di Timur Tengah. Teori semacam ini juga diajukan Hamka dalam seminar “Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia” pada tahun 1962. Menurutnya Islam masuk ke Indonesia langsung dari Arab, bukan melalui India, dan bukan pula pada abad ke-1, melainkan pada abad pertama Hijriyah/7 M.
Ketiga, Teori yang mengatakan bahwa Islam di Nusantara datang dari India pertama kali dikemukakan oleh Pijnapel tahun 1872. Berdasarkan terjemahan Prancis tentang catatan perjalanan Sulaiman, Marco Polo, dan Ibnu Battuta, ia menyimpulkan bahwa orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’I dari Gujarat dan Malabar di India yang membawa Islam ke Asia Tenggara. Menurutnya , melalui perdagangan amat memungkinkan terselenggaranya hubungan antara kedua wilayah ini, ditambah lagi dengan umumya istilah-istilah Persia yang dibawa dari India digunakan oleh masyarakat kota-kota pelabuhan Nusantara. Teori ini lebih lanjut dikembangkan oleh Snouck Hurgronye yang melihat para pedagang kota pelabuhan Dakka di India Selatan sebagai pembawa Islam ke wilayah Islam baru ini. Teori Snouck lebih lanjut dikembangkan oleh Marrison pada 1951. Dengan menunjuk tempat yang pasti di India, ia menyatakan dari sanalah Islam datang ke Nusantara. Ia menunjuk pantai Koromandel sebagai pelabuhan tempat bertolaknya para pedagang Muslim dalam pelayaran mereka menuju Nusantara.
Teori keempat, yang dikembangkan Fatimi menyatakan bahwa Islam datang dari Benggali (kini Bangladesh). Dia mengutip keterangan Tome Pires yang mengungkapkan bahwa kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali atau keturunan mereka. Dan Islam muncul pertama kali di Semenanjung Malaya, dari arah pantai Timur, bukan dari Barat (Malaka), pada abad ke-11, melalui Kanton, Phanrang (Vietnam), Leran, dan Trengganu. Ia beralasan bahwa secara doktrin, Islam di semenanjung lebih sama dengan Islam di Phanrang, elemen-elemen prasasti di Trengganu juga lebih mirip dengan Prasasti yang ditemukan di Leran.
Semua teori diatas jelaslah belum final, meskipun telah banyak sejarawan yang menulis tentang masalah ini. Agenda penelitian dan penafsiran lebih lanjut menyangkut sifat penyebaran agama Islam di kawasan ini terlepas dari mana datangya Islam dan faktor-faktor apa yang menyebabkan Islam berkembang menjadi agm dominan dalam pertarungannya dengan sistem-sistem agama, kebudayaan dan tradisi lain yang sebelumnya dominan atau dalam waktu yang kira-kira bersamaan dengan datangnya Islam, berusaha pula mengembangkan pengaruhnya.
A. Proses Masuknya Islam Ke Indonesia
Teori yang menjelaskan masuknya Islam ke Indonesia cukup variatif sesuai dengan bukti historis yang para sejarawan temukan. Suatu teori menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M. Para sarjana sepakat bahwa agama Islam mulai berkembang dengan semarak pada ke-13 setelah terbentuknya komuniti-komuniti Islam dalam jumlah yang cukup besar di berbagai tempat di kepulauan Indonesia. Komuniti-komuniti itu terdiri dari kaum urban yang telah memeluk Islam dan para pendatang yang terdiri dari kaum pedagang, sarjana, ulama dan sufi. Pertanyaan kemudian adalah bagaimana proses islamisasi itu berlangsung? Melalui jalur apa Islam masuk ke Indonesia?
Menurut Hanun Asrohah menyebutkan bahwa ada tiga teori yang berbicara tentang proses Islamisasi di Indonesia, yakni pertama, teori bahwa Islam dibawa ke Nusantara melalui para pedagang Gujarat dan Arab Saudi. Kedua, Islam tersebar di Indonesia melalui para ulama (mullah). Atau dengan kata lain, menurut teori ini proses Islamisasi di Indonesia pernah dilakukan juga melalui jalur-jalur pendidikan sebagaimana yang pernah dilakukan Maulana Malik Ibrahim, Syekh Ishaq dan lain sebagainya. Dan ketiga, melalui jalur kekuasaan keraton. Teori ini mengindikasikan bahwa raja-raja di Nusantara ketika itu memiliki peran dan pengaruh signifikan dalam penyebaran Islam di Indonesia. Seorang raja yang telah masuk Islam biasanya akan diikuti oleh rakyat secara serentak. Sementara Uka Tjandrasasmita sebagaimana dikutip Badri Yatim menyebutkan bahwa saluran-saluran islamisasi melalui enam cara, yaitu:
Kalau pengertian dan ukuran pertama digunakan , maka beberapa kawasan tertentu seperti Samudera Pasai atau Leran di Jawa Timur telah memeluk Islam sedikitnya sejak akhir abad ke-11. Ini karena masing-msing tempat ditemukan batu nisan yang bertuliskan Arab yang bertahun 1927 (di Pasai) dan 1102 (di Leran). Selain itiu, Marco Polo yang mengunjungi wilayah Samudera Pasai pada 1292 menyebutkan bahwa Perlak sudah memeluk Islam, sementara “Samara” (Samudera) masih menyembah berhala. Demikian pula, pengembara Muslim Maroko, Ibnu Battuta, yang mengunjungi pasai pada 1345 menyatakan bahwa masyarakat setempat sudah masuk Islam. Dari tempat-tempat inilah kemudian Islam menyebar keseluruh Nusantara.
Mengenai tempat asal datangnya Islam ke Asia Tenggara, sedikitnya ada empat teori besar. Pertama, teori yang menyatakan bahwa Islam datang langsung dari Arab, atau tepatnya Hadramaut. Teori ini dikemukakan Crawfurd (1820), Keyzer (1859), Niemann (1861), De Hollander (1861), dan Veth (1878). Crawfurd menyatakan bahwa Islam datang langsung dari Arab, meskipun ia menyebut adanya hubungan dengan orang-orang “Mohammedan” di India Timur. Keyzer beranggapan bahwa Islam datyang dari Mesir yang bermazhab Syafi’I, sama seperti yang dianut kaum Muslimin Nusantara umumnya. Teori ini juga dipegang NIemann dan De Hollander, tetapi dengan menyebut Hadramaut, bukan Mesir, sebagai sumber datangnya Islam, sebab Muslim Hadramaut adalah pengikut mazhab Syafi’I seperti juga kaum Muslimin Nusantara.
Teori kedua, diajukan oleh Veth yang berpendapat bahwa orang-orang Arablah yang menyebarkan Islam di Timur Tengah. Teori semacam ini juga diajukan Hamka dalam seminar “Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia” pada tahun 1962. Menurutnya Islam masuk ke Indonesia langsung dari Arab, bukan melalui India, dan bukan pula pada abad ke-1, melainkan pada abad pertama Hijriyah/7 M.
Ketiga, Teori yang mengatakan bahwa Islam di Nusantara datang dari India pertama kali dikemukakan oleh Pijnapel tahun 1872. Berdasarkan terjemahan Prancis tentang catatan perjalanan Sulaiman, Marco Polo, dan Ibnu Battuta, ia menyimpulkan bahwa orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’I dari Gujarat dan Malabar di India yang membawa Islam ke Asia Tenggara. Menurutnya , melalui perdagangan amat memungkinkan terselenggaranya hubungan antara kedua wilayah ini, ditambah lagi dengan umumya istilah-istilah Persia yang dibawa dari India digunakan oleh masyarakat kota-kota pelabuhan Nusantara. Teori ini lebih lanjut dikembangkan oleh Snouck Hurgronye yang melihat para pedagang kota pelabuhan Dakka di India Selatan sebagai pembawa Islam ke wilayah Islam baru ini. Teori Snouck lebih lanjut dikembangkan oleh Marrison pada 1951. Dengan menunjuk tempat yang pasti di India, ia menyatakan dari sanalah Islam datang ke Nusantara. Ia menunjuk pantai Koromandel sebagai pelabuhan tempat bertolaknya para pedagang Muslim dalam pelayaran mereka menuju Nusantara.
Teori keempat, yang dikembangkan Fatimi menyatakan bahwa Islam datang dari Benggali (kini Bangladesh). Dia mengutip keterangan Tome Pires yang mengungkapkan bahwa kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali atau keturunan mereka. Dan Islam muncul pertama kali di Semenanjung Malaya, dari arah pantai Timur, bukan dari Barat (Malaka), pada abad ke-11, melalui Kanton, Phanrang (Vietnam), Leran, dan Trengganu. Ia beralasan bahwa secara doktrin, Islam di semenanjung lebih sama dengan Islam di Phanrang, elemen-elemen prasasti di Trengganu juga lebih mirip dengan Prasasti yang ditemukan di Leran.
Semua teori diatas jelaslah belum final, meskipun telah banyak sejarawan yang menulis tentang masalah ini. Agenda penelitian dan penafsiran lebih lanjut menyangkut sifat penyebaran agama Islam di kawasan ini terlepas dari mana datangya Islam dan faktor-faktor apa yang menyebabkan Islam berkembang menjadi agm dominan dalam pertarungannya dengan sistem-sistem agama, kebudayaan dan tradisi lain yang sebelumnya dominan atau dalam waktu yang kira-kira bersamaan dengan datangnya Islam, berusaha pula mengembangkan pengaruhnya.
A. Proses Masuknya Islam Ke Indonesia
Teori yang menjelaskan masuknya Islam ke Indonesia cukup variatif sesuai dengan bukti historis yang para sejarawan temukan. Suatu teori menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M. Para sarjana sepakat bahwa agama Islam mulai berkembang dengan semarak pada ke-13 setelah terbentuknya komuniti-komuniti Islam dalam jumlah yang cukup besar di berbagai tempat di kepulauan Indonesia. Komuniti-komuniti itu terdiri dari kaum urban yang telah memeluk Islam dan para pendatang yang terdiri dari kaum pedagang, sarjana, ulama dan sufi. Pertanyaan kemudian adalah bagaimana proses islamisasi itu berlangsung? Melalui jalur apa Islam masuk ke Indonesia?
Menurut Hanun Asrohah menyebutkan bahwa ada tiga teori yang berbicara tentang proses Islamisasi di Indonesia, yakni pertama, teori bahwa Islam dibawa ke Nusantara melalui para pedagang Gujarat dan Arab Saudi. Kedua, Islam tersebar di Indonesia melalui para ulama (mullah). Atau dengan kata lain, menurut teori ini proses Islamisasi di Indonesia pernah dilakukan juga melalui jalur-jalur pendidikan sebagaimana yang pernah dilakukan Maulana Malik Ibrahim, Syekh Ishaq dan lain sebagainya. Dan ketiga, melalui jalur kekuasaan keraton. Teori ini mengindikasikan bahwa raja-raja di Nusantara ketika itu memiliki peran dan pengaruh signifikan dalam penyebaran Islam di Indonesia. Seorang raja yang telah masuk Islam biasanya akan diikuti oleh rakyat secara serentak. Sementara Uka Tjandrasasmita sebagaimana dikutip Badri Yatim menyebutkan bahwa saluran-saluran islamisasi melalui enam cara, yaitu:
1. Jalur Perdagangan
Tradisi berdagang dengan cara berpindah dari satu negara ke negara lainnya merupakan satu tradisi dan kerekteristik yang pernah dikembangkan oleh bangsa-bangsa Arab, India, dan Gujarat. Bahkan bisnis berdagang dijadikan sebagai jalan alternative dalam mengais rezki sekaligus penyebaran Islam di Dunia, termasuk penyebaran Islam di Indonesia.
Pada masa awal, saudagar-saudagar Muslim dikenal cukup mendominasi perdagangan di Nusantara. Hubungan pergaulan antara pedagang Muslim dengan penduduk setempat akhirnya dapat menarik hati penduduk setempat untuk memeluk Islam. Besarnya pengaruh saudagar Muslim mampu memperkenalkan nilai-nilai Islam terutama ketentuan hukum Islam mengenai perdagangan yang memberi keuntungan ekonomi secara maksimal, sekaligus mereka membatasi adanya pilihan terhadap agama-agama lain. Hubungan ini dilakukan pada abad ke-7 hingga ke-16 M, ketika itu para penduduk Indonesia masih belum mengenal Islam sebagai satu agama dan keyakinan. Pada waktu itu, masyarakat Indonesia lebih mengenal agama Hindu, Budha, pemujaan terhadap benda-benda keramat (aninisme, dinanisme) dan lain sebagainya. Para pedagang Muslim banyak bermukim di pesisir pulau Jawa yang penduduknya ketika itu masih kafir. Bahkan mereka berhasil mendirikan mesjid-mesjid dan mendatangkan mullah-mullah dari luar sehingga jumlah mereka menjadi benyak.
2. Jalur Perkawinan
Penyebaran Islam di Indonesia banyak didukung oleh adanya hubungan perkawinan antara bangsawan yang notabene pedagang Muslim dengan para wanita dari kalangan bangsawan. Mungkin tidak sedikit para ulama (mullah) yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman pada masyarakat Indonesia yang kemudian diambil menantu oleh para bangsawan terkemuka. Sebut saja Sunan Ampel (Raden Rahmat) kawin dengan Nyi Manila, Sunan Gunung Djati kawin dengan Kawunganten, dan sebagainya.
3. Jalur Tasawuf
Pengajar-pengajar tasawuf atau para sufi, mengajarkan teosofi yang bercampur dengan ajaran-ajaran yang bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalam soal-soal magis dan mempunyai kekuatan-kekuatan menyembuhkan. Diantara mereka ada juga yang mengawini putri-putri bangsawan setempat. Dengan tasawuf, “bentuk” Islam yang diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama Hindu, sehingga agama baru itu mudah dimengerti dan diterima. Di antara ahli-ahli tasawuf yang memberikan ajaran yang mengandung persamaan dengan alam pikiran Indonesia pra-Islam itu adalah Hamzah Fansuri di Aceh, Syaikh Lemah Abang, Sunan Panggung di Jawa. Ajaran mistik seperti ini masih berkembang di abad ke-19 M bahkan di abad ke-20 M ini.
4. Jalur PendidikanIslamisasi juga melalui pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang diselanggarakan oleh guru agama, kiai-kiai, dan ulama-ulama. Di pesantren atau pondok-pondok itu, calon ulama, guru agama,dan kiai mendapat pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren, mereka pulang ke kampung masing-masing kemudian berdakwah ke tempat tertentu mengajarkan Islam. Misalnya pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta Surabaya dan Sunan Giri di Giri. Keluaran pesantren Giri ini banyak yang diundang ke Maluku Untuk mengajarkan agama Islam.
5. Jalur Kesenian
Saluran Islamisasi melalui kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukan wayang. Sunan Kalijaga adalah pencipta wayang kult dan tokoh yang paling mahir dalam mementaskan wayang, dan kini kesenian itu menjadi kesenian tradisional Jawa yang paling popular hingga saat inii. Sunan Kalijaga tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi ia meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian besar cerita wayang masih dipetik dari cerita Mahabharata dan Ramayana, namun telah dipangkasi akar-akar hinduisme di dalamnya. Di dalam cerita itu disisipkan ajaran dan nama-nama pahlawan Islam. Kesenian-kesinian lain juga dijadikan alat Islamisasi, seperti sastra (hikayat, babad, dan sebagainya), seni bangunan dan seni ukir.
6. Jalur Politik
Di Maluku dan Sulawesi Selatan, kebudayaan rakyat masuk Islam setelah rajanya memeluk Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya Islam di daerah ini. Di samping itu, baik Sumatera dan Jawa maupun di Indonesia bagian timur, demi kepentingan politik, kerajaan-kerajaan Islam memerangi kerajaan-kerajaan non-Islam. Kemenangan kerajaan Islam secara politis banyak menarik penduduk kerajaan bukan Islam masuk Islam.
Ada faktor yang cukup menentukan bagi cepatnya perkembangan Islam di Indonesia, khususnya antara abad ke-13 hingga abad ke-17, yang sering dilupakan oleh para pengkaji sejarah Islam. Factor itu ialah peranan organisasi dagang yang disebut ta’ifa, semacam gilde yang mempunyai jaringan perdagangan yang luas mulai dari Istanbul, Turki, hingga ke Sumatera dan pulau Jawa. Anggota-anggota ta’ifa tidak hanya terdiri dari para saudagar dan bangsawan kaya. Tetapi juga bekas tentara yang ingin mengabdikan diri bagi penyebaran agama Islam, para ulama dan sarjana dari berbagai disiplin ilmu, muballigh, penyair, sastrawan, sufi, seniman, pengrajin, pengusaha pabrik tekstil, parabot, keramik dan lain-lain, guru agama dan bahasa Arab, pakar perkapalan dan pelayaran, tabib dan banyak lagi profesi yang terlibat dalam sebuah ta’ifa.
B. Kontribusi Umat Islam Terhadap Pembinaan Masyarakat, Bangsa dan Negara Indonesia
Islam sebagai satu bentuk keberagamaan yang memiliki karekteristik dan watak seperti ajarannya yang terbuka (inklusiv), dapat menampung dan menerima ajarannya agama terdahulu yang masih sesuai dengan ajaran Islam (akomodatif), bersifat egaliter,reformatif dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan inti ajaran Islam itu sendiri yakni memposisikan semua ajarannya sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin).
Dalam persoalan politik, kehadiran Islam di beberapa tempat mendorong terjadinya perubahan pola kekuasaan dan melahirkan kesatuan-kesatuan politik Islam dalam bentuk kesultanan-kesultanan. Agama Islam juga membawa berbagai pandangan baru yang revolusioner untuk masa itu. Bagi Nurcholis Madjid kondisi Islam yang seperti itu dengan dua alasan sebagai berikut, pertama, sifat Islam sebagai agama egaliter radikal yang berakibat pada penyudahan sistem kasta dalam masyarakat Hindu Nusantara dan penghentian praktek sati (keharusan seorang janda untuk terjun ke dalam api yang juga digunakan untuk membakar jenajah suaminya). Kedua, Islam dengan kesadaran hukumnya yang amat kuat telah melengkapi penduduk nusantara khususnya para pedagang dengan sistem hukum yang berjangkauan internasional yang mampu mendukung kegiatan perdagangan dalam konteks ekonomi global yang saat itu sedang dalam kekuasaan Islam.
Dalam bidang ekonomi sosial Islam telah membuka masyarakat untuk senantiasa berlaku adil dalam melakukan transaksi, tidak berbuat curang dalam timbangan, harus ada kesepakatan antara penjual dan pembeli serta bagaimana konsep keseimbangan, tidak boros atau tidak berlebihan yang dianjurkan al-Qur’an juga mampu menciptakan suasana kehidupan manusia yang sehat, damai dan sejahtera. Dengan demikian, kedatangan Islam sesungguhnya bukan tanpa makna bagi kehidupan umat manusia, Islam banyak memberikan kontribusi dan peran signifikan di setiap sektor kehidupan manusia.
Dalam konteks Indonesia, kedatangan Islam sejak abad ke-7 M telah menampilkan sebuah pola dan sikap keberagaman yang bisa diterima oleh hampir sebagian masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa alasan antara lain, pertama, tidak sedikit para pedagang yang berbangsa asing yang pada akhirnya menetap di nusantara, bahkan menikah dengan wanita pribumi. Kedua, banyak kerajaan-karajaan di Nusantara yang pada akhirnya bergabung dengan Islam.
Dengan demikian, keberadaan Islam pada akhirnya dapat diterima oleh masyarakat dan mampu memainkan peran yang cukup penting dalam berbagai bidang, terutama dalam bidang pendidikan, politik, sosial ekonomi perdagangan dan kebudayaan.
1. Kontribusi Umat Islam Sebelum KemerdekaanDalam kancah politik, Islam memiliki doktrin bahwa rasa nasionalisme terhadap tanah air, cinta tanah air (hubbull watan) menjadi ciri mendasar ajaran Islam itu sendiri. Doktrin yang dimiliki umat Islam yang pada akhirnya menggugah rasa nasionalisme yang kuat terhadap hati mayoritas masyarakat Muslim di Indonesia untuk berjuang dalam mempertahankan bumi pertiwi. Nasionalisme ini bisa dibuktikan melalui cara peperangan langsung (fisik) atau dapat juga melalui jalur diplomasi. Perjuangan fisik ini dapat dibuktikan dengan serangkaian usaha yang dilakukan para pahlawan Indonesia seperti, Pangeran Diponegoro (1785-1830 M) dari Yogyakarta, RA Kartini dari Jawa, Cut Nyakdin dari Aceh, Imam Bonjol dari Sumatera barat, Sultan Hasanudin dari Banten, Syarif Hidayatullah dari Cirebon, Budi Utomo ((1908-1939 M) dan pahlawan lainnya yang berusaha menentang penjajah dengan satu tujuan agar Negara Kesatuan Republik Indonesia ((NKRI) kembali kepangkuan ibu pertiwi.
Perjuangan melalui jalur diplomatik seperti yang pernah dilakukan para pahlawan lainnya seperti Haji Agus Salim dan Abdoel Moeis sebagai tokoh central Sarekat Islam (1915), KH. Ahmad Dahlan (1869-1923 M) yang kemudian mendirikan organisasi beraliran modernis (1912), KH. Hasyim Asy’ari mendirikan organisasi tradisionalis Nahdatul Ulama (1926), KH. Abdullah Ahmad yang kemudian mendirikan Madrasah Adabiyah di Padang Sumatera Barat, Moh Hatta, Moh Yamin Moh Syahrir, Moh Natsir, H. Samanhoedi, Adam Malik, H. Abdul Karim Abdullah. Sebagian besar dari tokoh tersebut juga dicatat dalam sejarah sebagai tokoh yang pernah mengonsep Piagam Jakarta yang kemudian dijadikan sebagai dasar pembentukan falsafah negara Indonesia yakni Pancasila. Dan masih banyak pahlawan Islam lain yang mencoba melakukan serangkaian usaha demi memajukan bangsa Indonesia.
Dalam pendidikan, umat Islam juga memiliki peran yang cukup signifikan. Hal ini dapat dibuktikan dengan upaya yang dilakukan oleh para tokoh Muslim tersebut, misalnya KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari dalam merespon pendidikan yang diterapkan oleh Belanda yang cukup sekuler, tidak berpihak kepada rakyat kecil, dan mendikhotomikan ilmu pengetahuan agama dan Ilmu pengetahuan umum, dengan lembaga yang bisa merespon keinginan masyarakat Indonesia secara luas, yakni pendidikan pesantren dan madrasah. Melalui lembaga pendidikan ini masyarakat Indonesia dapat belajar ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum secara seimbang. Pendidikan Islam tidak menghendaki terjadinya dikotomi keilmuan, sebab dengan adanya sistem dikotomi menyebabkan sistem pendidikan Islam menjadi sekularistis, rasionalistis, empiris, intuitif dan materialistis. Keadaan demikian tidak mendukung tata kehidupan umat yang mampu melahirkan peradaban Islam.
Terlepas dari perbedaan usaha yang coba dilakukan para tokoh tersebut yang pasti sebelum kemerdekaan RI usaha negoisasi melalui jalur politik, pembinaan akhlak melalui pendidikan agama dan organisasi keislaman, usaha perbaikan ekonomi atas prakarsa organisasi Sarekat Dagang Islam dan lain sebagainya. Usaha-usaha tersebut yang pada akhirnya membuk mata hati rakyat Indonesia untuk bersatu, demi satu kata Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sehingga pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka dan kembali ke bumi pertiwi.
2. Kontribusi Umat Islam Setelah KemerdekaanTerbentuknya NKRI tidak lantas mengakhiri perjuangan yang pernah dilakukan para pendiri dan pahlawan Indonesia. Serangkaian usaha dalam rangka perjuangan bangsa Indonesia terus dilakukan demi sebuah cita-cita yang sangat ideal, yakni menciptakan negara yang baldatun thayyibatun warabbun ghafur. Oleh karena itu, pasca kemerdekaan, umat Islam terus berupaya dan berjuang terutama dalam rangka pembinaan moralitas bangsa, mengisi pembangunan, perbaikan pendidikan, dan perbaikan sumber daya manusia Indonesia.
Kehadiran Departemen Agama dapat dikatakan sebagai satu di antara banyak kontribusi yang dilakukan umat Islam. Departemen ini didirikan pada 3 Januari 1949 berdasarkan UUD 1945 pasal 29, bahwa Negara berdasarkan atas ketuhanan Yang Maha Esa dan bahwa Negara menjamin kemerdekaan atas setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Selain itu juga, lahirnya lembaga-lembaga keagamaan seperti Majlis Ta’lim, pesantren salaf dan pesantren modern, serta munculnya Islamic Boarding School merupakan kontribusi riil yang coba dimainkan umat Islam. Kehadiran lembaga-lembaga tersebut secara tidak langsung telah memberi warna tersendiri bagi perjalanan sejarah Sistem Pendidikan Nasional.
Melalui jalur pendidikan, mulai dari tingkat Taman Pendidikan al-Qur’an ((TPA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah ((MA), dan IAIN, STAIN serta UIN, juga merupakan satu kontribusi yang sangat bernilai. Lembaga-lembaga pendidikan yang bernaung di bawah Depag tersebut di samping telah ikut andil dalam membantu mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang tertuang dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, juga tidak sedikit investasi materi yang lahir melalui peran lembaga tersebut.
Peranan umat Islam dalam mengisi kemerdekaan juga bisa dilihat dari berbagai serangkain usaha, tindakan yang kemudian berimbas pada lahirnya organisasi seperti, MUI, ICMI, Bank Muamalat Indonesia (BMI), lembaga pemerintahan seperti Depag RI, perundang-undangan seperti undang-undang peradilan agama, Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan lain sebagainya.
Didirikannya Majlis Ulama Indonesia ((MUI) sebagai lembaga yang bertugas menampung segala aspirasi keagamaan dari organisasi Islam, menyeleksi dan mengevaluasi tentang kehalalan atau keharaman suatu makanan, juga memberi fatwa keagamaan secara mutlak kepada umat Islam, sehingga keberadaannya harus dijadikan sebagai rujukan dan dapat memenangkan seluruh masyarakat Muslim tanpa terkecuali.
3. Islam Indonesia dan Tantangan Masa Depan
Islam Indonesia adalah etnis yang sah dan refresentatif dari masyarakat Islam internasional dan tidak harus diapresiasi sebagai bagian menyimpang kesadaran keummatan-keislaman intenasional. Umat Islam yang satu bukanlah sebuah bentuk di mana setiap bagiannya harus menyerahkan kepalanya masing-masing untuk diseragamkan dalam segala hal. Memang terdapat keseragaman nyata di wilayah teologis, syari’ah, dan ubudiyah, namun itu bukan berarti keseragaman dalam semua hal. Islam justeru mentoleransi sejumlah perbedaan dan menganggapnya sebagai rahmat.
Hal ini penting untuk dicatat mengingat konstalasi global saat ini secara sepihak menempatkan Islam vis a vis barat dalam medan pertentanagan fisik yang saling menafikan. Peristiwa 11 September 2001 di New York, perang As melawan Taliban, kehancuran Palestina dan pengepungan Iraq seolah-olah menjadi fakta tunggal umat Islam.
Ini diperparah lagi dengan kampanye barat yang intens bahwa Islam identik dengan kekerasan dan apa yang disebut mereka sebagai terorisme sebagaimana tercermin melalui jaringan Al-Qaeda, Otsama bin Laden, Rezim Taliban, Saddam Husein atau Imran Khoemeini. Barat memang tidak pernah mau serius berdialog secara sejajar dengan umat Islam secara keseluruhan.
Di sisi lain, kampanye barat ini berdampak pada semakin bermunculnya kelompok minoritas Islam garis keras (saat ini mulai berkembang subur di Indonesia) yang bermimpi menciptakan komando (kekhalifahan) tunggal dan menyeru untuk berkonfrontasi secara fisik dengan Amerika. Agenda kelompok ekstrim ini seolah-olah mendominasi aktivitas umat Islam internasional yang berjumlah 1 milyar jiwa.
Persoalan ini yang harus dipecahkan secara kreatif dan substantive oleh seluruh umat Islam internasional, termasuk di Indonesia. Kesadaran dan kenyataan Islam Indonesia adalah modal yang besar dan strategis guna melakukan agenda dan tugas-tugas peradaban dan cultural baik dalam area domestic, regional, maupun internasional. Kita harus mampu melanjutkan contoh yang baik dari para pendahulu kita seperti komunitas Wali Songo dalam mengapresiasi perbedaan, improvisasi cultural maupun penyusunan agenda-agenda besar di masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
Asrohah, Hanun, Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: Logos. 2000)
Azra, Azyumardi, Perspektif Islam di Asia Tenggara. (Jakarta: Yayasan obor Indonesia. 1991)
Gholib, Achmad, Study Islam: Pengantar Memahami Agama, Al-Qur’an, Al-Hadist & Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Faza Media, 2006)
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)
Madjid, Nurcholis, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan Indonesia. (Jakarta. Paramadina. 1997)
Noer, Deliar, Membincang Tokoh-tokoh Bangsa. (Bandung: Mizan, 2001)
Nurdin, Ali & Abd. Aziz Hasibuan, Islam dan Prospek Keberagamaan di Indonesia, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006) cet.1
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004)
SEJARAH ISLAM NUSANTARASEJARAH ISLAM NUSANTARASEJARAH ISLAM NUSANTARASEJARAH ISLAM NUSANTARASEJARAH ISLAM NUSANTARASEJARAH ISLAM NUSANTARASEJARAH ISLAM NUSANTARASEJARAH ISLAM NUSANTARASEJARAH ISLAM NUSANTARA
Tradisi berdagang dengan cara berpindah dari satu negara ke negara lainnya merupakan satu tradisi dan kerekteristik yang pernah dikembangkan oleh bangsa-bangsa Arab, India, dan Gujarat. Bahkan bisnis berdagang dijadikan sebagai jalan alternative dalam mengais rezki sekaligus penyebaran Islam di Dunia, termasuk penyebaran Islam di Indonesia.
Pada masa awal, saudagar-saudagar Muslim dikenal cukup mendominasi perdagangan di Nusantara. Hubungan pergaulan antara pedagang Muslim dengan penduduk setempat akhirnya dapat menarik hati penduduk setempat untuk memeluk Islam. Besarnya pengaruh saudagar Muslim mampu memperkenalkan nilai-nilai Islam terutama ketentuan hukum Islam mengenai perdagangan yang memberi keuntungan ekonomi secara maksimal, sekaligus mereka membatasi adanya pilihan terhadap agama-agama lain. Hubungan ini dilakukan pada abad ke-7 hingga ke-16 M, ketika itu para penduduk Indonesia masih belum mengenal Islam sebagai satu agama dan keyakinan. Pada waktu itu, masyarakat Indonesia lebih mengenal agama Hindu, Budha, pemujaan terhadap benda-benda keramat (aninisme, dinanisme) dan lain sebagainya. Para pedagang Muslim banyak bermukim di pesisir pulau Jawa yang penduduknya ketika itu masih kafir. Bahkan mereka berhasil mendirikan mesjid-mesjid dan mendatangkan mullah-mullah dari luar sehingga jumlah mereka menjadi benyak.
2. Jalur Perkawinan
Penyebaran Islam di Indonesia banyak didukung oleh adanya hubungan perkawinan antara bangsawan yang notabene pedagang Muslim dengan para wanita dari kalangan bangsawan. Mungkin tidak sedikit para ulama (mullah) yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman pada masyarakat Indonesia yang kemudian diambil menantu oleh para bangsawan terkemuka. Sebut saja Sunan Ampel (Raden Rahmat) kawin dengan Nyi Manila, Sunan Gunung Djati kawin dengan Kawunganten, dan sebagainya.
3. Jalur Tasawuf
Pengajar-pengajar tasawuf atau para sufi, mengajarkan teosofi yang bercampur dengan ajaran-ajaran yang bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalam soal-soal magis dan mempunyai kekuatan-kekuatan menyembuhkan. Diantara mereka ada juga yang mengawini putri-putri bangsawan setempat. Dengan tasawuf, “bentuk” Islam yang diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama Hindu, sehingga agama baru itu mudah dimengerti dan diterima. Di antara ahli-ahli tasawuf yang memberikan ajaran yang mengandung persamaan dengan alam pikiran Indonesia pra-Islam itu adalah Hamzah Fansuri di Aceh, Syaikh Lemah Abang, Sunan Panggung di Jawa. Ajaran mistik seperti ini masih berkembang di abad ke-19 M bahkan di abad ke-20 M ini.
4. Jalur PendidikanIslamisasi juga melalui pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang diselanggarakan oleh guru agama, kiai-kiai, dan ulama-ulama. Di pesantren atau pondok-pondok itu, calon ulama, guru agama,dan kiai mendapat pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren, mereka pulang ke kampung masing-masing kemudian berdakwah ke tempat tertentu mengajarkan Islam. Misalnya pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta Surabaya dan Sunan Giri di Giri. Keluaran pesantren Giri ini banyak yang diundang ke Maluku Untuk mengajarkan agama Islam.
5. Jalur Kesenian
Saluran Islamisasi melalui kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukan wayang. Sunan Kalijaga adalah pencipta wayang kult dan tokoh yang paling mahir dalam mementaskan wayang, dan kini kesenian itu menjadi kesenian tradisional Jawa yang paling popular hingga saat inii. Sunan Kalijaga tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi ia meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian besar cerita wayang masih dipetik dari cerita Mahabharata dan Ramayana, namun telah dipangkasi akar-akar hinduisme di dalamnya. Di dalam cerita itu disisipkan ajaran dan nama-nama pahlawan Islam. Kesenian-kesinian lain juga dijadikan alat Islamisasi, seperti sastra (hikayat, babad, dan sebagainya), seni bangunan dan seni ukir.
6. Jalur Politik
Di Maluku dan Sulawesi Selatan, kebudayaan rakyat masuk Islam setelah rajanya memeluk Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya Islam di daerah ini. Di samping itu, baik Sumatera dan Jawa maupun di Indonesia bagian timur, demi kepentingan politik, kerajaan-kerajaan Islam memerangi kerajaan-kerajaan non-Islam. Kemenangan kerajaan Islam secara politis banyak menarik penduduk kerajaan bukan Islam masuk Islam.
Ada faktor yang cukup menentukan bagi cepatnya perkembangan Islam di Indonesia, khususnya antara abad ke-13 hingga abad ke-17, yang sering dilupakan oleh para pengkaji sejarah Islam. Factor itu ialah peranan organisasi dagang yang disebut ta’ifa, semacam gilde yang mempunyai jaringan perdagangan yang luas mulai dari Istanbul, Turki, hingga ke Sumatera dan pulau Jawa. Anggota-anggota ta’ifa tidak hanya terdiri dari para saudagar dan bangsawan kaya. Tetapi juga bekas tentara yang ingin mengabdikan diri bagi penyebaran agama Islam, para ulama dan sarjana dari berbagai disiplin ilmu, muballigh, penyair, sastrawan, sufi, seniman, pengrajin, pengusaha pabrik tekstil, parabot, keramik dan lain-lain, guru agama dan bahasa Arab, pakar perkapalan dan pelayaran, tabib dan banyak lagi profesi yang terlibat dalam sebuah ta’ifa.
B. Kontribusi Umat Islam Terhadap Pembinaan Masyarakat, Bangsa dan Negara Indonesia
Islam sebagai satu bentuk keberagamaan yang memiliki karekteristik dan watak seperti ajarannya yang terbuka (inklusiv), dapat menampung dan menerima ajarannya agama terdahulu yang masih sesuai dengan ajaran Islam (akomodatif), bersifat egaliter,reformatif dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan inti ajaran Islam itu sendiri yakni memposisikan semua ajarannya sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin).
Dalam persoalan politik, kehadiran Islam di beberapa tempat mendorong terjadinya perubahan pola kekuasaan dan melahirkan kesatuan-kesatuan politik Islam dalam bentuk kesultanan-kesultanan. Agama Islam juga membawa berbagai pandangan baru yang revolusioner untuk masa itu. Bagi Nurcholis Madjid kondisi Islam yang seperti itu dengan dua alasan sebagai berikut, pertama, sifat Islam sebagai agama egaliter radikal yang berakibat pada penyudahan sistem kasta dalam masyarakat Hindu Nusantara dan penghentian praktek sati (keharusan seorang janda untuk terjun ke dalam api yang juga digunakan untuk membakar jenajah suaminya). Kedua, Islam dengan kesadaran hukumnya yang amat kuat telah melengkapi penduduk nusantara khususnya para pedagang dengan sistem hukum yang berjangkauan internasional yang mampu mendukung kegiatan perdagangan dalam konteks ekonomi global yang saat itu sedang dalam kekuasaan Islam.
Dalam bidang ekonomi sosial Islam telah membuka masyarakat untuk senantiasa berlaku adil dalam melakukan transaksi, tidak berbuat curang dalam timbangan, harus ada kesepakatan antara penjual dan pembeli serta bagaimana konsep keseimbangan, tidak boros atau tidak berlebihan yang dianjurkan al-Qur’an juga mampu menciptakan suasana kehidupan manusia yang sehat, damai dan sejahtera. Dengan demikian, kedatangan Islam sesungguhnya bukan tanpa makna bagi kehidupan umat manusia, Islam banyak memberikan kontribusi dan peran signifikan di setiap sektor kehidupan manusia.
Dalam konteks Indonesia, kedatangan Islam sejak abad ke-7 M telah menampilkan sebuah pola dan sikap keberagaman yang bisa diterima oleh hampir sebagian masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa alasan antara lain, pertama, tidak sedikit para pedagang yang berbangsa asing yang pada akhirnya menetap di nusantara, bahkan menikah dengan wanita pribumi. Kedua, banyak kerajaan-karajaan di Nusantara yang pada akhirnya bergabung dengan Islam.
Dengan demikian, keberadaan Islam pada akhirnya dapat diterima oleh masyarakat dan mampu memainkan peran yang cukup penting dalam berbagai bidang, terutama dalam bidang pendidikan, politik, sosial ekonomi perdagangan dan kebudayaan.
1. Kontribusi Umat Islam Sebelum KemerdekaanDalam kancah politik, Islam memiliki doktrin bahwa rasa nasionalisme terhadap tanah air, cinta tanah air (hubbull watan) menjadi ciri mendasar ajaran Islam itu sendiri. Doktrin yang dimiliki umat Islam yang pada akhirnya menggugah rasa nasionalisme yang kuat terhadap hati mayoritas masyarakat Muslim di Indonesia untuk berjuang dalam mempertahankan bumi pertiwi. Nasionalisme ini bisa dibuktikan melalui cara peperangan langsung (fisik) atau dapat juga melalui jalur diplomasi. Perjuangan fisik ini dapat dibuktikan dengan serangkaian usaha yang dilakukan para pahlawan Indonesia seperti, Pangeran Diponegoro (1785-1830 M) dari Yogyakarta, RA Kartini dari Jawa, Cut Nyakdin dari Aceh, Imam Bonjol dari Sumatera barat, Sultan Hasanudin dari Banten, Syarif Hidayatullah dari Cirebon, Budi Utomo ((1908-1939 M) dan pahlawan lainnya yang berusaha menentang penjajah dengan satu tujuan agar Negara Kesatuan Republik Indonesia ((NKRI) kembali kepangkuan ibu pertiwi.
Perjuangan melalui jalur diplomatik seperti yang pernah dilakukan para pahlawan lainnya seperti Haji Agus Salim dan Abdoel Moeis sebagai tokoh central Sarekat Islam (1915), KH. Ahmad Dahlan (1869-1923 M) yang kemudian mendirikan organisasi beraliran modernis (1912), KH. Hasyim Asy’ari mendirikan organisasi tradisionalis Nahdatul Ulama (1926), KH. Abdullah Ahmad yang kemudian mendirikan Madrasah Adabiyah di Padang Sumatera Barat, Moh Hatta, Moh Yamin Moh Syahrir, Moh Natsir, H. Samanhoedi, Adam Malik, H. Abdul Karim Abdullah. Sebagian besar dari tokoh tersebut juga dicatat dalam sejarah sebagai tokoh yang pernah mengonsep Piagam Jakarta yang kemudian dijadikan sebagai dasar pembentukan falsafah negara Indonesia yakni Pancasila. Dan masih banyak pahlawan Islam lain yang mencoba melakukan serangkaian usaha demi memajukan bangsa Indonesia.
Dalam pendidikan, umat Islam juga memiliki peran yang cukup signifikan. Hal ini dapat dibuktikan dengan upaya yang dilakukan oleh para tokoh Muslim tersebut, misalnya KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari dalam merespon pendidikan yang diterapkan oleh Belanda yang cukup sekuler, tidak berpihak kepada rakyat kecil, dan mendikhotomikan ilmu pengetahuan agama dan Ilmu pengetahuan umum, dengan lembaga yang bisa merespon keinginan masyarakat Indonesia secara luas, yakni pendidikan pesantren dan madrasah. Melalui lembaga pendidikan ini masyarakat Indonesia dapat belajar ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum secara seimbang. Pendidikan Islam tidak menghendaki terjadinya dikotomi keilmuan, sebab dengan adanya sistem dikotomi menyebabkan sistem pendidikan Islam menjadi sekularistis, rasionalistis, empiris, intuitif dan materialistis. Keadaan demikian tidak mendukung tata kehidupan umat yang mampu melahirkan peradaban Islam.
Terlepas dari perbedaan usaha yang coba dilakukan para tokoh tersebut yang pasti sebelum kemerdekaan RI usaha negoisasi melalui jalur politik, pembinaan akhlak melalui pendidikan agama dan organisasi keislaman, usaha perbaikan ekonomi atas prakarsa organisasi Sarekat Dagang Islam dan lain sebagainya. Usaha-usaha tersebut yang pada akhirnya membuk mata hati rakyat Indonesia untuk bersatu, demi satu kata Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sehingga pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka dan kembali ke bumi pertiwi.
2. Kontribusi Umat Islam Setelah KemerdekaanTerbentuknya NKRI tidak lantas mengakhiri perjuangan yang pernah dilakukan para pendiri dan pahlawan Indonesia. Serangkaian usaha dalam rangka perjuangan bangsa Indonesia terus dilakukan demi sebuah cita-cita yang sangat ideal, yakni menciptakan negara yang baldatun thayyibatun warabbun ghafur. Oleh karena itu, pasca kemerdekaan, umat Islam terus berupaya dan berjuang terutama dalam rangka pembinaan moralitas bangsa, mengisi pembangunan, perbaikan pendidikan, dan perbaikan sumber daya manusia Indonesia.
Kehadiran Departemen Agama dapat dikatakan sebagai satu di antara banyak kontribusi yang dilakukan umat Islam. Departemen ini didirikan pada 3 Januari 1949 berdasarkan UUD 1945 pasal 29, bahwa Negara berdasarkan atas ketuhanan Yang Maha Esa dan bahwa Negara menjamin kemerdekaan atas setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Selain itu juga, lahirnya lembaga-lembaga keagamaan seperti Majlis Ta’lim, pesantren salaf dan pesantren modern, serta munculnya Islamic Boarding School merupakan kontribusi riil yang coba dimainkan umat Islam. Kehadiran lembaga-lembaga tersebut secara tidak langsung telah memberi warna tersendiri bagi perjalanan sejarah Sistem Pendidikan Nasional.
Melalui jalur pendidikan, mulai dari tingkat Taman Pendidikan al-Qur’an ((TPA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah ((MA), dan IAIN, STAIN serta UIN, juga merupakan satu kontribusi yang sangat bernilai. Lembaga-lembaga pendidikan yang bernaung di bawah Depag tersebut di samping telah ikut andil dalam membantu mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang tertuang dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, juga tidak sedikit investasi materi yang lahir melalui peran lembaga tersebut.
Peranan umat Islam dalam mengisi kemerdekaan juga bisa dilihat dari berbagai serangkain usaha, tindakan yang kemudian berimbas pada lahirnya organisasi seperti, MUI, ICMI, Bank Muamalat Indonesia (BMI), lembaga pemerintahan seperti Depag RI, perundang-undangan seperti undang-undang peradilan agama, Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan lain sebagainya.
Didirikannya Majlis Ulama Indonesia ((MUI) sebagai lembaga yang bertugas menampung segala aspirasi keagamaan dari organisasi Islam, menyeleksi dan mengevaluasi tentang kehalalan atau keharaman suatu makanan, juga memberi fatwa keagamaan secara mutlak kepada umat Islam, sehingga keberadaannya harus dijadikan sebagai rujukan dan dapat memenangkan seluruh masyarakat Muslim tanpa terkecuali.
3. Islam Indonesia dan Tantangan Masa Depan
Islam Indonesia adalah etnis yang sah dan refresentatif dari masyarakat Islam internasional dan tidak harus diapresiasi sebagai bagian menyimpang kesadaran keummatan-keislaman intenasional. Umat Islam yang satu bukanlah sebuah bentuk di mana setiap bagiannya harus menyerahkan kepalanya masing-masing untuk diseragamkan dalam segala hal. Memang terdapat keseragaman nyata di wilayah teologis, syari’ah, dan ubudiyah, namun itu bukan berarti keseragaman dalam semua hal. Islam justeru mentoleransi sejumlah perbedaan dan menganggapnya sebagai rahmat.
Hal ini penting untuk dicatat mengingat konstalasi global saat ini secara sepihak menempatkan Islam vis a vis barat dalam medan pertentanagan fisik yang saling menafikan. Peristiwa 11 September 2001 di New York, perang As melawan Taliban, kehancuran Palestina dan pengepungan Iraq seolah-olah menjadi fakta tunggal umat Islam.
Ini diperparah lagi dengan kampanye barat yang intens bahwa Islam identik dengan kekerasan dan apa yang disebut mereka sebagai terorisme sebagaimana tercermin melalui jaringan Al-Qaeda, Otsama bin Laden, Rezim Taliban, Saddam Husein atau Imran Khoemeini. Barat memang tidak pernah mau serius berdialog secara sejajar dengan umat Islam secara keseluruhan.
Di sisi lain, kampanye barat ini berdampak pada semakin bermunculnya kelompok minoritas Islam garis keras (saat ini mulai berkembang subur di Indonesia) yang bermimpi menciptakan komando (kekhalifahan) tunggal dan menyeru untuk berkonfrontasi secara fisik dengan Amerika. Agenda kelompok ekstrim ini seolah-olah mendominasi aktivitas umat Islam internasional yang berjumlah 1 milyar jiwa.
Persoalan ini yang harus dipecahkan secara kreatif dan substantive oleh seluruh umat Islam internasional, termasuk di Indonesia. Kesadaran dan kenyataan Islam Indonesia adalah modal yang besar dan strategis guna melakukan agenda dan tugas-tugas peradaban dan cultural baik dalam area domestic, regional, maupun internasional. Kita harus mampu melanjutkan contoh yang baik dari para pendahulu kita seperti komunitas Wali Songo dalam mengapresiasi perbedaan, improvisasi cultural maupun penyusunan agenda-agenda besar di masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
Asrohah, Hanun, Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: Logos. 2000)
Azra, Azyumardi, Perspektif Islam di Asia Tenggara. (Jakarta: Yayasan obor Indonesia. 1991)
Gholib, Achmad, Study Islam: Pengantar Memahami Agama, Al-Qur’an, Al-Hadist & Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Faza Media, 2006)
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)
Madjid, Nurcholis, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan Indonesia. (Jakarta. Paramadina. 1997)
Noer, Deliar, Membincang Tokoh-tokoh Bangsa. (Bandung: Mizan, 2001)
Nurdin, Ali & Abd. Aziz Hasibuan, Islam dan Prospek Keberagamaan di Indonesia, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006) cet.1
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004)
SEJARAH ISLAM NUSANTARASEJARAH ISLAM NUSANTARASEJARAH ISLAM NUSANTARASEJARAH ISLAM NUSANTARASEJARAH ISLAM NUSANTARASEJARAH ISLAM NUSANTARASEJARAH ISLAM NUSANTARASEJARAH ISLAM NUSANTARASEJARAH ISLAM NUSANTARA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar