Tampilkan postingan dengan label DAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label DAN. Tampilkan semua postingan

Jumat, 24 Oktober 2008

Pengertian dan Asal Usul Tasawuf, Maqamat dan Ahwal, Takhalli, Tahali, dan Tajalli

Bab I. Tasawuf

Asal Usul dan Pengertian Taswauf
Secara etimologi, ada tiga kata yang menjadi kemungkinan timbulnya istilah tasawuf ( تصوف ), yaitu: shaff ( صف), shûff (), dan shuffah (صوف).[1]


1. Shaff (صف). Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan (shaffan) yang teratur seakan-akan mereka seperti bangunan yang tersusun kokoh.[2] Shaffan sesungguhnya berarti secara berbaris-baris. Jadi, mengacu pada ayat di atas, tasawuf adalah menyusun barisan di jalan Allah SWT (fî sabîlillâh) –pen.

Pengertian dan Asal Usul Tasawuf, Maqamat dan Ahwal, Takhalli, Tahali, dan Tajalli2. Shûf (صوف) adalah bulu domba. Pada masa pra-Islam, bulu domba sering digunakan sebagai pakaian oleh para ruhban () atau rabbi (pemimpin Yahudi yang asketis) sebagai simbol kesederhanaan. Shûf juga sering dijadikan pakaian oleh para petapa Nasrani.[3] Jadi, tasawuf adalah hal yang identik dengan kesederhanaan –pen.

3. Shuffah (صفة) adalah tempat duduk kecil yang terbuat dari kayu atau batu. Para sahabat Nabi saw sering duduk di atas shuffah sehingga mereka disebut Ahlush-shuffah (أهل الصفة).[4] Oleh sebab itu, tasawuf diidentikkan dengan Ahlush-shuffah dan diyakini bahwa tasawuf berasal dari kebiasaan para sahabat Nabi saw –pen.

Kesimpulannya, secara etimologi, tasawuf adalah barisan-barisan yang senantiasa berada di jalan Allah SWT dan hidup sederhana dengan mencontoh teladan para sahabat Nabi saw yang saleh –pen.

Tasawuf Menurut Beberapa Ulama
Ada beberapa ulama yang telah mendefinisikan istilah tasawuf. Di antaranya ialah Abu Muhammad Jariri (w. 923), Kattani (w. 934), Ruwaim (w. 915), Dzun-Nun Mishri (w. 858), dan Junaid (w. 913).

Abu Muhammad al-Jariri berkata, “Tasawuf adalah memasuki akhlak yang baik dan keluar dari akhlak yang buruk”

Kattani berkata, “Tasawuf adalah akhlak. Barangsiapa bertambah baik akhlak, bertambah baik (pula) tasawufnya.”

Ruwaim berkata, “Tasawuf adalah membiarkan diri bersama Allah menurut apa yang dikehendaki Allah.”

Dzun-Nun Mishri berkata, “Sufi (penganut tasawuf –pen.) adalah orang yang tidak berpayah-payah meminta dan tidak terkejut oleh penolakan.” (Maksudnya adalah tidak meminta sesuatu dan tidak kecewa apabila tidak mendapatkan apa yang diharapkan –pen).

Jadi, tasawuf bisa didefinisikan sebagai pendidikan tentang bagaimana seorang hamba harus berakhlak mulia dan senantiasa menyerahkan urusannya kepada Allah SWT (bertawakal) –pen.

Bab II. Maqamat dan Ahwal[5]

Pengertian Maqamat dan Ahwal
Maqamat, bentuk jamak dari maqam berarti tahapan, tingkatan, atau kedudukan. Jadi, maqamat adalah tahapan rohani yang ditempuh oleh para pengamal tasawuf untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sedangkan ahwal, bentuk jamak dari hal, adalah keadaan mental yang dirasakan oleh para pengamal tasawuf sebagai anugerah yang datang dari Allah SWT. Maqam merupakan usaha, sedangkan hal merupakan anugerah. Keadaan hati dinamakan hal karena berubah-ubah dan dinamakan maqam karena telah tetap.

Pendapat yang sangat populer mengenai maqamat dan ahwal dikemukakan oleh Abu Nasr Sarraj yang berkata, “Maqam adalah kedudukan manusia di sisi Allah yang masuk ke dalam hati, sesuatu yang dirasakan karena ketulusan mengingat (dzikr) Allah.”

Istilah-istilah dalam Maqamat dan Ahwal[6]
Ada beberapa istilah dalam maqamat dan ahwal, yaitu: tobat, wara’, zuhud faqir, sabar, tawakal, rida, mahabbah, dan ma’rifah. Orang yang menempuh jalan sufi terlebih dahulu harus bertobat dari dosa, yang dilakukan oleh anggota badan, maupun yang tersembunyi di dalam hati. Setelah melewati maqam tobat, maqam selanjutnya adalah wara’, yaitu meninggalkan segala sesuatu yang syubhat, yaitu segala sesuatu yang mengandung kesamaran atau yang diragukan hukumnya, tidak jelas halal-haramnya, dan meninggalkan segala sesuatu yang tidak berguna. Selanjutnya adalah maqam zuhud, yaitu mengosongkan hati dari cinta terhadap dunia dan menjalani hidup untuk beribadah kepada Allah SWT, serta mengosongkan hati dari selain Allah SWT dan memusatkan hati kepada cinta-Nya. Selanjutnya adalah maqam faqir, yaitu menjalani hidup dengan kesadaran bahwa ia hanya membutuhkan Allah SWT. Selanjunya maqam sabar, yaitu sabar dalam menjalani perintah, sabar dalam meninggalkan larangan, sabar dalam menghadapi kesulitan, dan sabar atas ni’mah yang dilimpahkan oleh Allah SWT kepadanya. Selanjutnya adalah maqam tawakal, yaitu menyerahkan segala sesutunya kepada Allah SWT, tidak bergantung kepada selain-Nya, dan tidak pula kepada amal perbuatannya (nafsunya –pen). Selanjutnya adalah maqam rida, yaitu menerima dengan senang hati segala sesuatu yang ditakdirkan oleh Allah SWT dan menyadari bahwa ketentuan-Nya lebih baik daripada keinginannya. Setelah melewati maqam­­-maqam­ tersebut barulah seorang sufi bisa mencintai (mahabbah) dan mengenal Allah (ma’rifah) atau juga disebut dengan tajalli.

Bab III. Takhalli, Tahali, dan Tajalli[7]

Pengertian Takhalli, Tahalli, dan Tajalli
Takhalli artinya mengosongkan jiwa dari sifat-sifat buruk,seperti: sombong, dengki, iri hati, cinta kepada dunia, cinta kedudukan, riya’, dan sebagainya. Tahalli berarti menghiasi jiwa dengan sifat-sifat yang mulia, seperti: kejujuran, kasih sayang, tolong menolong, kedermawanan, sabar, keikhlasan, tawakal, kerelaan, cinta kepada Allah SWT, dan sebagainya, termasuk di dalahnya adalah banyak beribadah, berzikir, dan muraqabah kepada Allah SWT.

Setelah menempuh takhalli dan tahalli, sampailah para salik pada sesuatu yang dinamakan tajalli. Secara etimologi, tajalli berarti pernyataan atau penampakan. Tajalli adalah terbukanya tabir yang menghalangi hamba dengan-Nya sehingga hamba menyaksikan tanda-tanda kekuasaan dan keagungan-Nya. Istilah lain yang memiliki kedekatan arti dengan tajalli adalah ma’rifah, mukasyafah, dan musyahadah. Semua itu menunjuk pada keadaan di mana terbuka tabir (kasful-hijab) yang menghalangi hamba dengan Allah SWT.

Tajalli menurut Sufi
Ahli tasawuf berkata bahwa tasawuf tidak lain adalah menjalani takhalli, tahalli, dan tajalli. Jalan yang ditempuh oleh para Sufi adalah jalan takhalli, tahalli, dan tajalli. Mengosongkan jiwa dari sifat buruk, menghiasi jiwa dengan sifat yang baik dengan tujuan untuk menyaksikan dengan penglihatan hati bahwa sesungguhnya tuhan itu tidak ada, hanya Allah SWT yang Ada, “Tidak ada tuhan (lâ ilâha) selain (illâ) Allah SWT dan Muhammad bin Abdullah adalah hamba, utusan, dan kekasih-Nya.”

Manfaat Melakukan Takhalli dan Tahalli dalam Kehidupan Sosial
Menghindari sifat buruk dan menghiasi diri dengan sifat mulia dapat mempererat silaturahim dan persaudaraan antar-penganut agama Islam bahkan dengan non-Islam. Justru mungkin itulah –menurut penulis— tujuan dari takhalli dan tahalli. Itulah –masih menurut penulis— yang menjadi inti dari pengamalan tasawut, yaitu menghindari segala larangan Allah SWT dan hal-hal yang tidak beroleh cinta-Nya serta menghiasi diri dengan akhlak mulia. Prof. Dr. Jalaluddin Rachmat (Kang Jalal) berkata, “Dahulukan akhlak di atas fiqh”. Akhlak mulia itulah yang akan menjaga persaudaraan antar-umat manusia. Insya Allah.[]

[1] Kuliah Akhlak Tasawuf oleh Dr. Asep Usman Ismail, MA. pada 5 Desember 2007.
[2] إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَ فِي سَيِيْلِ اللهِ صَفًّا كَأّنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوْصٌ (سورة الصف:4)
[3] Kuliah Akhlak Tasawuf oleh Dr. Asep Usman Ismail, MA. pada 5 Desember 2007.
[4] Ibid.
[5] Dikutip dari tulisan tentang tasawuf oleh Dr. Wahib.
[6] Ibid.
[7] Ibid.

--------------------------------------
Pengertian dan Asal Usul Tasawuf, Maqamat dan Ahwal, Takhalli, Tahali, dan TajalliPengertian dan Asal Usul Tasawuf, Maqamat dan Ahwal, Takhalli, Tahali, dan TajalliPengertian dan Asal Usul Tasawuf, Maqamat dan Ahwal, Takhalli, Tahali, dan TajalliPengertian dan Asal Usul Tasawuf, Maqamat dan Ahwal, Takhalli, Tahali, dan TajalliPengertian dan Asal Usul Tasawuf, Maqamat dan Ahwal, Takhalli, Tahali, dan TajalliPengertian dan Asal Usul Tasawuf, Maqamat dan Ahwal, Takhalli, Tahali, dan TajalliPengertian dan Asal Usul Tasawuf, Maqamat dan Ahwal, Takhalli, Tahali, dan TajalliPengertian dan Asal Usul Tasawuf, Maqamat dan Ahwal, Takhalli, Tahali, dan TajalliPengertian dan Asal Usul Tasawuf, Maqamat dan Ahwal, Takhalli, Tahali, dan TajalliPengertian dan Asal Usul Tasawuf, Maqamat dan Ahwal, Takhalli, Tahali, dan Tajalli

Kamis, 23 Oktober 2008

Pengertian dan Asal-usul Tasawuf

Pengertian dan Asal-usul Tasawuf
1. Pengertian dan Asal-usul Tasawuf
Menurut bahasa, istilah tasawuf berasal dari kata shaf, shuf, dan shuffah. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan (shaffan) yang teratur seakan-akan mereka seperti bangunan yang tersusun kokoh.”

Jika dilihat dari asal kata shaf, maka tasawuf berarti menyusun barisan di jalan Allah. Shuf adalah bulu domba yang sering digunakan oleh pemimpin Yahudi dan Kristen sebagai simbol kesederhanaan. Jika ditinjau dari asal kata shuf, maka tasawuf berarti hal yang identik dengan kesederhanaan.

Shuffah adalah tempat duduk kecil yang terbuat dari kayu atau batu yang digunakan oleh para sahabat Nabi saw sehingga mereka disebut Ahlus-shuffah. Tasawuf diyakini berasal dari kebiasaan para sahabat Nabi saw tersebut. Kesimpulannya, tasawuf adalah barisan-barisan yang senantiasa berada di jalan Allah dan hidup sederhana dengan mencontoh teladan para sahabat Nabi saw.

Ada beberapa ulama yang telah mendefinisikan istilah tasawuf, antara lain: Abu Muhammad al-Jariri, al-Kattani, al-Ruwaim, Dzun-Nun al-Mishri, dan al-Junaid. Abu Muhammad al-Jariri berkata, “Tasawuf adalah memasuki akhlak yang baik dan keluar dari akhlak yang buruk.” Al-Kattani berkata, ”Tasawuf adalah akhlak. Barangsiapa bertambah baik akhlaknya, bertambah baik pula tasawufnya.”

Al-Ruwaim berkata, “Tasawuf adalah membiarkan diri bersama Allah menurut apa yang dikehendaki-Nya.” Sedangkan Dzun-Nun al-Mishri berkata, “Sufi adalah orang yang tidak berpayah-payah meminta dan tidak kecewa oleh penolakan.” Jadi, tasawuf bisa didefinisikan sebagai pendidikan tentang bagaimana seorang hamba harus berakhlak mulia serta menyerahkan urusannya kepada Allah.


2. Maqamat dan Ahwal
Menurut bahasa, maqamat berarti tahapan. Sedangkan menurut istilah, maqamat adalah tahapan rohani yang ditempuh oleh para salik untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan ahwal adalah keadaan mental yang dirasakan oleh para salik sebagai anugerah dari Allah. Maqam merupakan usaha, sedangkan hal merupakan anugerah.

Abu Nasr al-Sarraj berkata, “Maqam adalah kedudukan menusi di sisi Allah yang masuk ke hati, sesuatu yang dirasakan karena ketulusan mengingat Allah.”

Ada beberapa istilah dalam maqamat dan ahwal, yaitu: tobat, wara’, zuhud, faqir, sabar, tawakal, rida, mahabbah, dan makrifat. Tobat. Orang yang menempuh jalan sufi terlebih dahulu harus bertobat dari dosa yang dilakukan oleh anggota badan ataupun tersembunyi dalam hati. Wara’. Meninggalkan segala sesuatu yang syubhat. Zuhud. Mengosongkan hati dari cinta terhadap dunia.

Faqir. Kesadaran bahwa ia hanya membutuhkan Allah. Sabar. Bersabar dalam menjalankan perintah, meninggalkan larangan, dan atas nikmat yang diberikan oleh-Nya. Tawakal. Menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah. Rida. Menerima dengan senang hati segala apa yang ditakdirkan Allah. Mahabbah. Mencintai Allah. Makrifat. Mengenal Allah ‘seutuhnya’, disebut juga tajalli.

3. Takhalli, Tahalli, dan Tajalli
Takhalli berarti mengosongkan jiwa dari sifat-sifat buruk, seperti: sombong, dengki, iri, cinta dunia, riya’, dan sebagainya. Tahalli berarti menghiasi jiwa dengan sifat-sifat mulia, seperti: kejujuran, kasih sayang, tolong menolong sabar, ikhlas, dan sebagainya. Setelah menempuh takhalli dan tahalli, sampailah para pengamal tasawuf kepada maqam tajalli. Menurut bahasa, tajalli berarti pernyataan atau penampakkan. Sedangkan menurut istilah, tajalli adalah terbukanya tabir yang menghalangi hamba dengan Tuhan sehingga hamba menyaksikan tanda-tanda kekuasaan-Nya.

Ahli tasawuf berkata bahwa tasawuf dalah menjalani takhalli, tahalli, dan tajalli. Jalan yang ditempuh oleh para sufi adalah jalan takhalli, tahalli, dan tajalli. Mengosongkan jiwa dari sifat buruk, menghiasi jiwa dengan akhlak yang baik dan bertujuan untuk menyaksikan dengan penglihatan hati bahwa Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya. Manfaat dari takhalli dan tahalli adalah mempererat tali silaturahim antar-umat manusia.

4. Hasil Observasi Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah

4.1 Pendahuluan
Ini adalah hasil observasi dan wawancara mengenai pengajian Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah yang dipimpin oleh Beben Muhammad Abbas atau Ust. Beben yang kami wawancarai mengenai Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah.

Acara dilaksanakan di kediaman H. Mulyono yang dimulai setelah salat magrib hingga tengah malam dengan diiringi zikir. Acara manaqiban dimulai dengan pembacaan ayat suci Alquran beserta terjemahnya, pembacaan tanbih atau wasiat dari mursyid, pembacaan doa tawassul, dan ceramah yang dibawakan oleh Ust. Beben.

4.2 Struktur Anggota Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah
Berikut ini adalah struktur anggota Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyya di kediaman Bapak H. Mulyono.
Ketua yayasan : H.A Dradjat
Wakil ketua yayasan : H. Mulyono dan Zulkifli, SE.
Sekretaris : Nadi Mape
Bidang ilmu dan dakwah : Ust. Sudjana
Shahibul-Bait : H. Mulyono dan Hj. Nilaningrum
Alamat : Pinang Griya Permai C 97 RT 9 RW 5 Ciledug, Tangerang.


4.3 Tasawuf dan Tarekat
Tasawuf dan tarekat merupakan dua hal yang sangat berkaitan. Tasawuf adalah ilmu tentang tarekat yang bersifat teoritis, sementara tarekat adalah jalan yang harus ditempuh dalam pengamalan tasawuf yang bersifat praktis dan pengamalan. Jadi, seseorang tidak dapat bertasawuf tanpa tarekat dan tidak dapat bertarekat tanpa tasawuf.

Tasawuf dan tarekat merupakan jalan untuk mencapai jiwa yang pada akhirnya akan mendapat rida Allah. Orang yang tidak mengikuti tarekat jelas berdosa karena ia tidak jelas ke mana tujuan hidupnya. Agar tetap istiqâmah dalam menjalankan perintah Allah, sebagian umat Islam mengikuti pengamalan tarekat seperti yang dipimpin oleh Beben Muhammad Abbas.

Istilah ‘tasawuf’ dan ‘tarekat’ memang tidak ada pada zaman Nabi saw. Namun, esensi ajaran tasawuf merupakan ajaran Islam itu sendiri, mengajarkan manusia untuk tidak bergantung pada hal-hal yang bersifat keduniaan. Jadi, tasawuf dan tarekat bukan termasuk bid’ah karena hanya istilahnya saja yang tidak ada di zaman Nabi saw. Dengan demikian, menurut pandangan kaum Sufi, Nabi saw ialah Pemuka para Sufi. Salah satu kelompok pengamalan tarekat ini adalah Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah. Dinamakan demikian karena pendirinya adalah Syekh Abdul Qadîr Jaylâni dan muridnya, Syekh Naqsyabandî..

4.4 Mursyîd
Dalam sebuah kelompok tarekat, ada seseorang yang disebut mursyîd, yaitu guru besar yang menjadi panutan dalam suatu jamaah tarekat. Mursyîd dalam Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah ialah Shahîbul-Wafâ’ Tajul-‘Arifîn atau Abah Anom, pimpinan Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya yang diyakini oleh para jamaah Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah sebagai kekasih Allah karena semasa hidupnya beliau tidak pernah melakukan dosa, terutama mendurhakai orangtua.

Tidak ada syarat tertentu berkenaan dengan pengangkatan seorang mursyîd, kecuali Islam, berakal, balîgh, dan sudah di-talqîn. Mursyîd, yang hanya ada satu orang dalam sebuah jamaah tarekat, dipilih secara spontan oleh para ikhwân. Pengangkatan seorang mursyîd bergantung pada penilaian dan pandangan para ikhwân. Jika ada seseorang mengaku atau menajukan diri sebagai mursyîd, maka ucapannya tertolak karena hal itu merupakan suatu kesombongan yang jelas-jelas bertentangan dengan Alquran dan Sunah Nabi saw..

Sebagaimana sikap seorang murid kepada gurunya, para ikhwân pun sangat menghormati mursyîd karena beliau adalah yang dianggap paling berilmu di antara para jamaah dan tidak ada unsur pengkultusan di dalamnya.

4.5 Manâqib
Manâqib adalah mengisahkan kembali kehidupan para kekasih Allah untuk diambil hikmah dan dijadikan teladan. Dalam Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah, dikisahkan Manâqib Syekh ‘Abdul Qâdir Jaylâni karena beliau telah dianggap sebagai kekasih Allah dan pelanjut Nabi saw.
Manâqib diawali dengan pembacaan ayat-ayat suci Alquran, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan nasihat-nasihat (tanbih) yang dinisbatkan kepada Sang Mursyîd. Setelah itu, dilanjutkan dengan doa kepada Allah dengan ber-tawassul kepada Syekh ‘Abdul Qâdir Jaylâni, Syekh Naqsyabandî, dan Sang Mursyîd dan diakhiri dengan pembacaan otobiografi Syekh ‘Abdul Qâdir Jaylâni. Tujuannya adalah untuk membangun akhlak yang lebih baik. Salah seorang penyusun kisah-kisah manâqib Syekh ‘Abdul Qâdir Jaylâni ialah Ja’far Barzanjî.

Dalam manâqib, terdapat kisah-kisah yang tidak logis. Misalnya, kisah seekor unta yang berbicara kepada Syekh ‘Abdul Qâdir Jaylâni. Namun, menurut Ust. Beben, hal tersebut merupakan suatu karâmah yang Allah berikan kepada kekasih-Nya. Wajib bagi para ihkwân meyakini kisah-kisah tersebut meskipun tetap diperbolehkan untuk mempertanyakan kebenarannya. Manâqib diadakan di rumah karena jika diadakan di mesjid, tidak semua orang sepaham dengan mereka, justru hal itu akan menimbulkan perpecahan.

4.6 Menjadi Ikhwân Tarekat
Untuk menjadi ikhwân, seseorang diwajibkan terlebih dahulu di-talqîn di hadapan para jamaah. Talqîn merupakan janji setia kepada sorang syekh, sama halnya dengan baiat. Semua orang Islam yang berakal dan baligh boleh di-talqîn. Setelah di-talqîn, terjadilah apa yang disebut dengan rabîthah, yakni keterikatan terhadap amanat Sang Mursyîd. Dalam sejarah, Nabi Muhammad saw. Sebagaimana para sahabat tidak sedikit yang mengingkari baiat, para ikhwân pun demikian. Akibatnya, orang tersebut tidak memiliki pegangan yang kuat.

Talqîn tidak menyebabkan pengkultusan karena semata-mata janji setia untuk bersama-sama menegakkan Kalimah Tauhid. Setelah dipastikan seorang mursyîd adalah kekasih Allah, maka mursyîd dapat memberikan syafâat pada Hari Kiamat kepada para muridnya dengan seizin Allah.

4.7 Wirid
Dalam pengamalannya, ada pembacaan wirid atau zikir-zikir yang dilakukan secara jahr dan menggoyang-goyangkan kepala ke atas (sambil mengucapkan “lâ”), kanan (sambil mengucapkan “ilâha”), kiri (sambil mengucapkan “illâ”), dan ke bawah (sambil mengucapkan “Allâh”). Maknanya adalah pengakuan bahwa tidak ada yang layak untuk disembah kecuali Allah. Inilah yang menjadi dasar Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah. Setelah melakukan ritual tersebut, timbullah ketenangan dalam hati. Para ikhwân pun bertasbih dengan mengetukkan tangan ke lantai. Maknanya adalah supaya lisan dan hati senantiasa mengingat Allah.


4.8 Kesimpulan
Selama Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah, atau aliran apapun, masih berdiri dalam keyakinan akan ke-Esaan Allah dan kepamungkasan kerasulan Muhammad saw, maka hal itu sah-sah saja. Tidak ada alasan untuk menghentikan ritual-ritual mereka.

Para pendahulu Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah pun sangat berjasa dalam mengusir penjajahan dari negara Indonesia dan sepatutnyalah kita berterima kasih atas jasa mereka dan bersyukur kepada Allah SWT karena Dia telah menjadikan mereka sebagai salah satu penyelamat bangsa.


----------------------

Pengertian dan Asal-usul TasawufPengertian dan Asal-usul TasawufPengertian dan Asal-usul TasawufPengertian dan Asal-usul TasawufPengertian dan Asal-usul TasawufPengertian dan Asal-usul TasawufPengertian dan Asal-usul TasawufPengertian dan Asal-usul TasawufPengertian dan Asal-usul TasawufPengertian dan Asal-usul TasawufPengertian dan Asal-usul TasawufPengertian dan Asal-usul TasawufPengertian dan Asal-usul TasawufPengertian dan Asal-usul TasawufPengertian dan Asal-usul TasawufPengertian dan Asal-usul TasawufPengertian dan Asal-usul Tasawuf

Rabu, 24 September 2008

ILMU DAKWAH: HUBUNGAN DAKWAH DAN POLITIK

HUBUNGAN DAKWAH DAN POLITIK
“Dan hemdakalh ada diantara kalian sekelompok umat yang mengajak kepada kebajikan dan menyeru kepada ma’ruf serta mencegah dari yang mubgkar. Merekalh orang –orang yang beruntung” (QS. Ali – Imran {3}: 104 )

Allah memerintahkan kaummuslimin agar di tengah – tengah mereka terdapat kelompok yang melakukan aktivitas untuk mengemban dakwah kepada islam serat amar ma’ruf dan nahi mungkar. Kata umat pada ayat diata ditujukan untuk jamaah (bukan sekedar jamaah atau sekelompok orang ). Jadi tidak bisa diartikan sebagai jamaah secara mutlak. Sebab ( kumpulan ) manusia itu sendiri sudah merupakan jamaah. Mereka, pernyataan : waltakum minkum ummatun tidak memiliki arti lain kecuali sebuah perintah bagi kaum muslimin agar mereka mebentuk jamaah yang melakukan tugas ini ( dakwah kepada islam, amar ma’ruf dan nahi mungkar).

Hal ini membuktikan pula bahwa Allah memerintahkan untuk mewujudkan di tengah – tengah kaum muslimin kelompok yang mengajak kepada islam dan memerintah pada ma’ruf serta mencegah dari mungkar. Ayat ini juga merupakan dalil bahwa adanya kelompok tersebut adalah untuk mengemban dakwah islam dan melangsungkan kemabali kehidupan islam. Denagan kata lain memerangi sistem hukum kufur beserta kekuasaannya dan mewujudkan sistem hukum islam dan kekuasaanya adalah fardu bagi kaum muslimin. Sebab, dakwah kepada keabjikan adalah dakwah kepada islam. Dalam tafsir jalalain dinyatakan “ yad’una ilal khairi adalah islam.


Sistem hukum ditengah – tengah kaum muslimin tidak sesuai dengan apa yang diturunkan Allah.. itu adalah bentuk kenungkaran yang sangat gamblang. Sedangkan mewujudkan jamah ditengah tengah mereka untuk melakukan tugas ini adalah dalil , bahwa Allah telah mengharuskan kepada kaum muslimin untuk mewujudkan partai politik yang mengemban dakwah islam serta bekerja untuk melangsungkan kemabali kehidupan islam. Ayat ini juga menjadi dalil hanya orang muslim saja yang berada dalam partai politik yang menyeru kepada islam. Berupaya menghancurkan sistem hukum kufur dan mewujudkan sistem hukum islam adalah fardu, sama persis halnya wajibnya shalat. Sedikitpun tidak ada perbedaan antara keduanya. Haram hukumnya bagi mereka untuk tidak berada dalam kelompok (politik) tersebut.

Penyebutan kelompok tersebut dengan sebutan partai (hizb ) adalah sesuatu yang alami. Allah menyebutnya di dalam al – quran dan menyebut orang orang yang menolongnya dengan sebuatn ‘hizb’. Allah berfirman dalam surat al Maidah:

Barang siapa yang menolonbg allah dan rasulnya seta orang orang yang beriman, maka sebenarnya ‘hizbullah’ yang menang.
Dalam surat al –Mujadalah:

Merakalah kelompok (hizb) Allah, ingatlah kelompok Allah itulah yang menang.
Karena itulah, secara syar’I kaum muslim wajib berkelompok dalam partai – partai politik yang menegmban dakwah islam dan melakukan aktivitas untuk melangsungkan kehidupan islam. Dan mereka diharamkan untuk tidak melakukannya sebagaimana haram hukumnya mereka meninggalkan shalat.

Hadis ini menjelaskan bahwa berpolitik adalah fardu. Politik menurut bahasa adalah, pemeliharaan ( dan pengaturan ) kepentingan. Dalam kamus dikatakan:
Sustu arraiyata siyasatan, ai amartuha wa nahaituha ai ra’itu syu’unaha bil awamir wan nawahi ( aku memimpin rakyat denagan sungguh sungguh , yaitu aku memerintah dan melarangnya, atau aku mengatur urusan – urusan mereka dengan perintah dan larangan – larangan tertentu ).

Dan rasullah sawa. Juga bersabda
Bani israil dahulu ( urusannya ) dipimpin oleh para nabi. Tatkala seorang nabi wafat, maka diganti dengan nabi baru, dan sesungguhnya tidak ada nabi lagi sesudahku, tetapi akan ada para khalifah yang jumlahnya banyak.

Menyibukan diri dalam p[olitik, adalah memperhatikan kepentingan kaum muslimin , yaitu dengan cara menolak tindakan aniaya penguasa, serta mencegah seranagan musuh terhadap kaum muslimin. Berdasarkan hal ini , yang fardu itu tidak hanya menyibukan diri dalam berpolitik didalam negeri saja, melainkan juga berpolitik luar negeri. Karena yang diwajibkan adalah menyibukan diri dalam berpolitik secara mutlak, baik politik dalam negeri maupun di luar negeri. Oleh karena aktivitas penguasa yang berklaborasi dengan negara - negara lain adalah bagian dari politik luar negeri, maka salah satu aktivitas berpolitik luar negeri itu adalah mengoreksi akivitas penguasa yang berkalborasi dengan negara – negara lain.

Mengemban dakwah keseluruh dunia serta mengusir musuh dari negeri negeri islam, kini tidak mungkin terlaksana melainkan dengan memahami hakekat ( konstelasi ) politik internasional dan mengetahui secara rinci peta politik internasional secara sempurna. Sebab, tidak mungkin bisa sempurna memahaminya melainkan dengan mengetahinya secara rinci. Demikian pula tidak mungkin mampu mengemban dakwah dan menguir musuh pada sat ini. Kecuali dengan mengikuti secra terus menerus perkembangan politik internasional, serta memahami negara – negara yang memiliki penagaruh secara riil dalam peta perpolitikan dunia, termasuk negara – negara yang akan berpenagruh di masa yan datang.

Referensi:
[1] Islam dakwah dan politik Anonim Pustaka Thariqul Izzah cet 1. tahun 2002
[1]Anonm Islam dakwah dan politik Pustaka Thariqul; Izzah cet I 2002.


ANEKA WARNA MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN (Ilmu Antropologi)

ANEKA WARNA MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN
Konsep Suku Bangsa
 
Konsep yang tercantum dalam istilah suku bangsa adalah suatau golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan, sedangkan kesadaran dan identitas tadi sering kali (tetapi tidak selalu) dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga. Dengan demikian kesatuan kebudayaan bukan suatu hal yang ditentukan oleh orang luar, misalnya oleh seorang ahli antropologi, ahli kebudayaan atau lainnya, dengan metode-metode analisa ilmiah, melainkan oleh warga kebudayaan bersangkutn itu sendiri.

Dalam hal ini menurut Koentjaraningrat para sarjana antropologi sebaiknya membedakan kesatuan masyarakat suku-suku bangsa di dunia berdasarkan atas kriterium mata pencaharian dan sistem ekonomi ke dalam enam, macam yaitu:

1. Masyarakat pemburu dan peramu
2. Masyarakat peternak
3. Masyarakat peladang
4. Masyarakat nelayan
5. Masyarakat petani pedesaan
6. Masyarakat perkotaan komplek.

Konsep Daerah Kebudayaan
Suatu “daerah kebudayaan” menggolongkan ke dalam satu golongan, beberapa puluh kebudayaan yang satu dengan yang lain berbeda, berdasarkan atas persamaan dari sejumlah ciri menyolok dalam kebudayaan-kebudayaan bersangkutan. Ciri-ciri yang menjadi alasan untuk klasifikasi itu tidak hanya berwujd unsur kebudayaan fisik, misalnya alat-alat berburu, alat-alat bertani, alat-alat transport, senjata, bentuk-bentuk ornament perhiasan, bentuk-bentuk dan gaya pakaian, bentuk-bentuk tempat kediaman dan sebagainya, melainkam juga unsur-unsur kebudayaan yang lebih abstrak dari sistem sosial atau sistem budaya, seperti misalnya unsu-unsur organisasi kemasyarakatan.

Daerah-Daerah Kebudayaan di Amerika Latin
Menurut J.H Steward dan L.C Faron daerah kebudayaan Amerika Latin Terbagi menjadi 5 daerah kebudayaan, yaitu:

1. Daerah kebudayaan Cacigue
2. Daerah kebudayaan Andes
3. Daerah kebudayaan Andes Selatan
4. Daerah kebudayaan Rimba Tropik
5. Daerah kebudayaan Berburu dan Meramu

Daerah-Daerah Kebudayaan di Amerika UtaraMenurut Clark Wissler daerah kebudayaan di Amerika Utara dapat diklasifikasikan menjadi 10 daerah kebudayaan, yaitu:
1. Daerah kebudayaan Eskimo
2. Daerah kebudayaan Yukon-Mackenzie
3. Daerah kebudayaan Pantai Laut
4. Daerah kebudayaan Daratan Tinggi
5. Daerah kebudayaan Plains
6. Daerah kebudayaan Hutan Timur
7. Daerah kebudayaan Daratan Kalifornia
8. Daerah kebudayaan Barat Daya
9. Daerah kebudayaan Tenggara
10. Daerah kebudayaan Meksiko.

Daerah-Daerah Kebudayaan di Afrika
Dalam buku “People and Their Cultural History”, ahli antropologi G.P. Murdock telah menyusun suatu sistem daerah-daerah kebudayaan Afrika menjadi 18 daerah kebudayaan yaitu:
1. Daerah kebudayaan Afrika Utara
2. Daerah kebudayaan Hilir Nil
3. Daerah kebudayaan Sahara
4. Daerah kebudayaan Sudan Barat
5. Daerah kebudayaan Sudan Timur
6. Daerah kebudayaan Hulu Tengah Nil
7. Daerah kebudayaan Afrika Tengah
8. Daerah kebudayaan Hulu Selatan Nil
9. Daerah kebudayaan Tanduk Afrika
10. Daerah kebudayaan Guinea
11. Daerah kebudayaan Bantu Khatulistiwa
12. Daerah kebudayaan Bantu Danau-danau
13. Daerah kebudayaan Bantu Timur
14. Daerah kebudayaan Bantu Tengah
15. Daerah kebudayaan Bantu Barat Daya
16. Daerah kebudayaan Bantu Tenggara
17. Daerah kebudayaan Choisan
18. Daerah kebudayaan Madagaskar

Daerah-Daerah Kebudayaan di Asia
Pembagian dari Benua Asia ke dalam daerah-daerah kebudayaan pernah dibuat oleh A.L Kroeber, dia membagi kawasan Asia ke dalam 7 bagian, yaitu:
1. Daerah kebudayaan Asia Tenggara
2. Daerah kebudayaan Asia Selatan
3. Daerah kebudayaan Asia Barat Daya
4. Daerah kebudayaan Cina
5. Daerah kebudayaan Steppa Asia Tengah
6. Daerah kebudayaan Siberia
7. Daerah kebudayaan Asia Timur Laut

Suku-Suku Bangsa di IndonesiaSeorang ahli Antropologi Indonesia wajib terutama untuk mengenal bentuk-bentuk masyarakat dan kebudayaan di wilayah Indonesia sendiri juga wajib mengetahui dengan cukup mendalam masyarakatdan kebudayaan-kebudayaan di wilayah negara-negara tetangga.

Klasifikasi dari aneka sukui bangsa di wilayah Indonesia biasanya masih berdasarkan sistem-sistem lingkaran hukum adat yang mula-mula disusun oleh Van Vollenhoven. Ia membagi wilayah Indonesia ke dalam 19 daerah, yaitu:

1. Aceh
2. Gayo Alas dan Batak
3. Nias dan Batu
4. Minangkabau
5. Mentawai
6. Sumatera Selatan
7. Enggano
8. Melayu
9. Bangka dan Billiton
10. Sangir Talaud
11. Gorontalo
12. Toraja
13. Sulawesi Selatan
14. Ternate
15. Ambon dan Maluku
16. Kepulauan Barat Daya
17. Irian
18. Timor
19. Bali dan Lombok


REFERENSI
Koentjaraningrat. Pengantar ilmu Antropologi. Jakarta. Aksara Baru. 1985



TEMUKAN MAKALAH/ARTIKEL YANG ANDA CARI DI SINI:
Custom Search

Posting Terkini