Tampilkan postingan dengan label Makalah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Makalah. Tampilkan semua postingan

Kamis, 23 Oktober 2008

Filsafat Dakwah (Makalah Ilmu Dakwah)

Filsafat Dakwah (Makalah Ilmu Dakwah)
Pendahuluan

Ketika berbicara tentang filsafat dakwah maka akan muncul beberapa pertanyaan antara lain, apakah dakwah itu? Apakah tujuan dakwah itu? Apakah dakwah diperlukan bagi manusia? Apa akibatnya kalau dakwah itu tidak ada? Apakah hakikat tujuan dakwah, dan seterusnya.

Pertanyaan-pertanyaan itu semua berpangkal pada problem ontologism, yaitu apa yang hendak diketahui atau esensi yang hendak dikaji. Dakwah juga merupakan sebuah realitas. Sebagai realitas, dakwah dapat dikaji dari sudut pandang psikologis, historis, sosiologis, politis, antropologis dan lain-lain.

Filsafat Dakwah

Sebelum membicarakan filsafat dakwah kiranya perlu di ulang kembali apa yang dimaksud dengan filsafat. Filsafat berasal dari bahasa Arab falsafah. Kata falsafah ini diserap dari bahasa Yunani phylo yang berarti cinta atau suka dan Sophia yang berarti hikmat, dengan demikian phylosophia berarti “suka akan hikmat” atau kebijaksanaan. Dalam perkembangannya filsafat berarti ilmu pengetahuan yang berusaha mempelajari segala sesuatu secara kritis yang mendalam. Filsafat mempelajari sesuatu objek kajian yang sedalam-dalamnya sampai keakar-akarnya, bahkan sampai menemukan hakikat sesuatu.

Filsafat dakwah adalah filsafat yang berhubungan dengan hal-hal yang berkaitan dengan dakwah sebagai relasi dan aktualisasi imani manusia dengan agama Islam, Allah dan alam. Filsafat dakwah juga berarti ilmu pengetahuan yang mempelajari secara kritis dan mendalam tentang dakwah dan respon terhadap dakwah yang dilakukan oleh para dai atau mubaligh, sehingga orang yang didakwahi dapat menjadi manusia-manusia yang baik dalam arti beriman, berakhlak mulia seperti yang diajarkan oleh islam dan pada gilirannya dapat melakukan kerja pembangunan (islah), membangun kehidupan yang damai, harmonis dan sejahtera dalam rangka mewujudkan kerahmatan Allah di dunia.

Dengan demikian filsafat dakwah akan mempelajari secara kritis dan mendalam mengapa ajaran dan nilai-nilai Islam perlu dikomunikasikan, disosialisasikan, dididikan dan diamalkan.

Jadi kerja filsafat dakwah adalah mengumpulkan pengetahuan tentang dakwah sebanyak-banyaknya, kemudian dianalisis, dibandingkan, dikritisi untuk menemukan hakekat dakwah tersebut. Dengan kata lain dengan mengumpulkan pengetahuan tentang dakwah itu, diharapkan dapat memberikan jawaban secara tepat tentang apa, mengapa, dan bagaimana dakwah tersebut.

Filsafat dakwah juga akan mempelajari mengapa jiwa manusia perlu dibersihkan dari pengaruh hawa nafsu yang buruk, mengapa pikiran manusia perlu dibebaskan dari hal-hal yang irrasional, mengapa kemanusiaan perlu ditumbuh-kembangkan?

Obyek formal filsafat dakwah adalah mempelajari bagaimana hakikat dakwah. Apa hubungannya antara dakwah dengan makna rahmatan lil ‘alamin, dengan fungsi kekhalifahan, dengan kemanusiaan, dengan larangan syirik, menumpuk harta kekayaan, riba dan melakukan amal kebajikan lainnya.

Walaupun pada mulanya dakwah berarti mengajak, tapi secara praktis (sosiologis dan historis), dakwah pada zaman Nabi saw ternyata dakwah bukan hanya sekedar menyeru dan mengajak. Lebih dari itu, dakwah juga melakukan upaya-upaya secara Islami, manusiawi namun efektif dalam rangka membentuk akhlak manusia. Sehingga di jazirah Arab dapat diciptakan kehidupan yang manusiawi, damai-harmonis, serasi dalam lingkungan yang kondusif dan melegakan.

Obyek material filsafat dakwah adalah manusia yang menjadi subyek (da’i) dan obyek (mad’u) dalam proses dakwah, Islam sebagai pesan dakwah dan lingkungan di mana manusia akan mengamalkan dan menerapkan ajaran dan nilai-nilai Islam serta Allah yang menurunkan Islam dam memberikan takdirnya, yang menyebabkan terjadinya perubahan keyakinan, sikap dan tindakan.

Karena dakwah merupakan proses interaktif antara manusia, agama Islam, Allah dan lingkungan, maka ruang lingkup kajian filsafat dakwah sangat luas, yaitu seluas pemahaman dan wilayah aktifitas keimanan, keislaman dan keihsanan manusia dalam lingkungannya.

Tujuan dakwah adalah mempertemukan fitrah manusia dengan agama atau menyadarkan manusia supaya mengakui kebenaran Islam dan mau mengamalkan ajaran Islam sehingga menjadi orang baik. Menjadikan orang baik berarti menyelamatkan orang itu dari kesesatan, dari kebodohan, dari kemiskinan dan dari keterbelakangan. Oleh karena itu sebenarnya dakwah bukan berarti kegiatan mencari atau menambah pengikut, tapi kegiatan yang mempertemukan fitrah manusia dengan isalam atau menyadarkan orang yang didakwahi tentang perlunya bertauhid dan berperilaku baik.

Penutup

Secara ringkas ruang lingkup filsafat dakwah paling tidak meliputi empat hal yang selalu punya kaitan erat. Yaitu:
 Manusia sebagai pelaku (subyek) dakwah dan manusia sebagai penerima (obyek) dakwah.
 Agama Islam sebagai pesan atau materi yang harus disampaikan, diimani serta diwujudkan dalam realitas (diamalkan) di masyarakat.
 Allah yang menciptakan manusia dan alam, sebagai Rab yang memelihara alam dan menurunkan agama Islam serta menentukan terjadinya proses dakwah. Dan
 Lingkungan, yaitu alam (bumi dan sekitarnya) tempat terjadinya proses dakwah.


----------

Daftar Pustaka

1. Yuyun Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif, (Jakartra: Yayasan Obor Indonesia dan Leknas LIPI, 1982), h. 5-10
2. Muhammad Quthub, Islam Agama Pembebas, penerj. Fungky Kusnaedi Timur, (Yogyakarta, Mitra Pustaka, 2001).

------------

Filsafat Dakwah (Makalah Ilmu Dakwah)Filsafat Dakwah (Makalah Ilmu Dakwah)Filsafat Dakwah (Makalah Ilmu Dakwah)Filsafat Dakwah (Makalah Ilmu Dakwah)Filsafat Dakwah (Makalah Ilmu Dakwah)Filsafat Dakwah (Makalah Ilmu Dakwah)Filsafat Dakwah (Makalah Ilmu Dakwah)Filsafat Dakwah (Makalah Ilmu Dakwah)Filsafat Dakwah (Makalah Ilmu Dakwah)Filsafat Dakwah (Makalah Ilmu Dakwah)Filsafat Dakwah (Makalah Ilmu Dakwah)Filsafat Dakwah (Makalah Ilmu Dakwah)Filsafat Dakwah (Makalah Ilmu Dakwah)Filsafat Dakwah (Makalah Ilmu Dakwah)Filsafat Dakwah (Makalah Ilmu Dakwah)Filsafat Dakwah (Makalah Ilmu Dakwah)Filsafat Dakwah (Makalah Ilmu Dakwah)Filsafat Dakwah (Makalah Ilmu Dakwah)

Rabu, 24 September 2008

Makalah Kesusastraan dalam Prespektif Islam

a. Latar Belakang Masalah

Segala puji bagi Allah SWT, penulis memuji-Nya, mohon pertolongan-Nya dan minta ampunan-Nya, serta berlindung kepada-Nya dari kejelekan diri dan keburukan amal ibadah. Barangsiapa yang Allah SWT. berikan petunjuk kepadanya, niscaya tak ada seorangpun yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang telah Allah SWT. sesatkan, niscaya tak akan ada seorangpun yang dapat memberikan petunjuk kepadanya. Penulis bersaksi bahwa tiada ilaah yang berhak untuk disembah melainkan Allah SWT. semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan penulis bersaksi bahwa Muhammad adalah seorang hamba dan utusan-Nya.

Pada dasarnya shalat memiliki kedudukan yang agung dalam Islam, karena dia merupakan tiang agama, perkara pertama yang akan dihitung (hisab) dari amalan seorang hamba pada hari kiamat, serta terdapat perintah untuk menjaga dan menegakkannya, sebagaimana yang termaktub di dalam ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah SAW.

Namun demikian, sungguh kebanyakan kaum Muslimin tidak mengetahui hukum-hukum dan kewajiban yang berhubungan dengan tata cara melakukan shalat sesuai dengan tuntunan Nabi SAW, khususnya masalah yang berkaitan dengan Sutrah (Pembatas) Dalam Shalat, baik manakala shalat sendiri ataupun berjama’ah. Padahal perkara ini berkaitan erat dengan syah dan sempurnanya shalat seseorang.

Melihat urgensnya sutrah di dalam shalat, maka perlu kiranya dalam pemaparan media makalah ini penulis angkat, dengan harapan perkara sunnah tetap tegak dan perkara bid’ah teresolisir, tidak justru sebaliknya bahkan yang nampak adalah perkara sunnah terkesan bid’ah dan yang perkara bid’ah terkesan sunnah.

Penulis berdo’a, semoga Allah SWT. memberikan taufiq dan ‘inayah-Nya kepada kita, sebagaimana penulis memohon agar analisa yang sederhana ini bermanfa’at bagi yang membaca-nya sebagai sarana amar ma’ruf dan nahi mungkar di antara kita. Amin ya Rabbal ‘Alamin.


b. Perumusan Masalah

Sesuai perkara di atas, insya Allah penulis akan mengangkat sebagian permasalahan yang timbul di masyarakat muslim tentang keberadaan sutrah.
1. Apa kedudukan sebenarnya sutrah dalam perspektif fiqh Islam?
2. Apakah yang demikian hukumnya wajib bagi setiap orang yang shalat?

c. Hipotesis


Dari akar permasalahan yang timbul, insya Allah penulis akan memaparkan argumen tentang permasalahan di atas, sebagai berikut:
1. Sutrah merupakan sesuatu yang bisa dijadikan sebagai pembatas seseorang yang sedang mendirikan shalat dengan orang yang berjalan di depannya.
2. Hukum sutrah di dalam shalat adalah wajib, karena ia sebagai pembatas seseorang dengan orang yang berada di depannya dengan tujuan untuk menggangu ketika shalat.

d. Metodologi

Metode penulisan makalah ini dimulai dari pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan cara mengumpulkan dan menelaah sejumlah buku, tulisan dan sumber bacaan yang memiliki kaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan pembahasan makalah ini. Selain itu, metode yang penulis lakukan adalah mencari sumber yang dibutuhkan melalui media internet.


SUTRAH (PEMBATAS) DALAM SHALAT

1. Definisi

a. Secara Bahasa
Dari segi bahasa, kata sutrah adalah bentuk jama’ (plural) dari kata ستر berarti menutupi. Maka sutrah berarti sesuatu yang menutupi.

b. Secara Istilah
Adapun dari segi istilah syara’, sutrah adalah sesuatu yang dijadikan sebagai pembatas seseorang yang sedang mendirikan shalat dengan orang yang berjalan di depannya.
Sedangkan menurut pendapat ulama lain, sutrah adalah pembatas tempat sujud supaya orang lain akan mengetahui batas tempat orang yang sedang shalat.

عن سهل بن أبى حثيمة رضى الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: إذا صلى أحدكم إلى سترة فليدن منها لا يقطع الشيطان عليه صلاته (رواه أبو داود والنسـائ)

Dari Sahl ibn Abi Hutsaimah ra sesungguhnya Nabi SAW bersabda: “bila salah satu diantara kalian shalat di dekat sutrah/penghalang, maka hendaklah ia berada di dekatnya, niscaya setan tidak dapat memutuskan shalatnya”. (HR. Abu Daud dan an Nasai)

2. Hukum Penggunaan Sutrah
Berkaitan dengan permasalahan ini, para ulama’ berbeda pendapat. Sebagaian di antara mereka mengatakan hukum sutrah adalah wajib dan sebagaian yang lainnya mengatakan sunnah.
Dari kalangan ulama’ yang mengatakan wajib, mereka beralasan dengan beberapa hadits, di antaranya:

عن ابن عمر رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: إذا كان أحدكم يصلى فلا يدع أحدا يمر بين يديه فإن أبى فليقاتله فإن معه القرين (رواه مسلم)

Dari Ibn Umar ra, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “apabila salah seorang (dari kalian) sedang shalat, hendaklah mencegah orang yang berlalu-lalang di hadapannya. Apabila orang itu membangkang, maka ia boleh dibunuh. Karena sesungguhnya beserta orang itu adalah qarin (teman/iblis)”. (HR. Muslim)

Hadits lain, yang artinya:
Dari Abu Said Al-Khudri ra, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “jika salah seorang diantara kalia shalat, hendaklah shalat (itu) menghadap sutrah dan hendaklah mendekat padanya dan jangan biarkan seorangpun lewat antara dia dengan sutrah. Jika ada seseorang lewat (didepannya) maka perangilah karena dia adalah syaitan. (HR. Ibnu Abi yaibah dalam Al-Mushannaf 1/279, Abu Dawud dalam As-Sunan 297, Ibnu Majah dalam As-Sunan no. 954, Ibnu Hibban dalam As-Shahih 4/48, 49-Al-Ihsan, dan Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra 2/267, sanadnya hasan) Di dalam riwayat lain (yang artinya): (Karena) sesungguhnya setan lewat antara dia dengan sutrah.

Mengomentari hadits Abu Said di atas, As-Syaukani berkata: Padanya (menunjukkan) bahwa memasang sutrah itu adalah wajib. Beliau juga berkata: Dan kebanyakan hadits-hadits (dalam masalah ini) mengandung perintah dengannya dan dhahir perintah (menunjukkan) wajib. Jika dijumpai sesuatu yang memalingkan perintah-perintah ini dari wajib ke mandub (sunnah) maka itulah hukumnya. Dan tidak tepat dijadikan pemaling (pengubah hukum) sabda Rasul SAW (yang artinya): Sesungguhnya tidak memudharatkan apapun yang lewat di depannya karena menghindarnya orang shalat dari perkara yang memudharatkan shalatnya dan menghindari hilangnya sebagian pahalanya adalah wajib atasnya.

Adapun Dari kalangan ulama’ yang mengatakan sunnah, mereka beralasan dengan hadits riwayat Ibnu Abbas, dia berkata: “(Rasulullah) shalat bersama manusia (Sahabat) di Mina dan menghadap ke selain dinding, lalu aku berjalan di antara sebagaian shaf….” (HR. al-Bukhari, 1/181; 8/109; Ahmad, 1/243; Abu Dawud, 1/113 dan selain mereka)

Namun para ulama menetapkan bahwa pada hakekatnya hadits di atas tidak dapat dijadikan hujjah (pegangan) disunnahkannya sutrah, karena dengan beberapa alasan:

ü Tidak ada alasan bagi mereka yang mengunakan dalil ini bahwa Nabi SAW shalat dengan tidak memakai sutrah, karena para perawi hadits berselisih pendapat apakah kejadian tersebut terjadi di Mina atau di ‘Arafah. Namun pendapat yang kuat adalah yang mengatakan bahwa ini terjadi di ‘Arafah sebagaimana riwayat Ibnu Abbas dari jalan yang lain, dia berkata: “Aku menancapkan al-‘Anazah (sejenis tongkat/tombak) di depan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika di ‘Arafah dan beliau shalat ke arahnya….” (HR. Ahmad, 1/243; Ibnu Khuzaimah, 2/26; dan ath-Thabraniy, 11/243).

ü Bahwa kalimat “menghadap ke selain dinding” sebagaimana yang termaktub dalam hadits secara bahasa tidaklah mengandung makna tongkat, tombak, onta, tunggangan, atau batu dan selainnya yang dapat menutupi orang shalat secara mutlak. Oleh karena itu, al Bukhari mencantumkan hadits dengan lafadz tersebut pada bab “Sutrah imam adalah sutrah bagi siapa saja yang berdiri dibelakangnya”, untuk menjelaskan kebisaan Rasulullah SAW, yaitu menancapkan sejenis tombak/tongkat dan selainnya. Sebagaimana yang diisyaratkan oleh al-Hafidz di dalam kitabnya al-Fath al-Bari. Dan Ibnu Turkuman berkata, "Bahwa penyebutan tidak adanya dinding tidaklah selalu berkonotasi tidak adanya sutrah”.

Dengan demikian, dari beberapa hadits di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan sutrah dalam melaksanakan shalat, baik berjama’ah maupun munfarid, hukumnya adalah wajib.

3. Batasan SutrahSeperti yang telah dijelaskan oleh beberapa hadits di atas bahwa Nabi SAW telah mewajibkan bagi orang yang shalat agar mendekat pada sutrah. Begitu pula Nabi menyebutkan tentang batasan antara sutrah dengan orang yang shalat.

Dalam beberapa riwayat dijelaskan batasan kepada orang yang shalat terhadap sutrah adalah 3 hasta, dan yang terpendek adalah jarak tersebut dapat dilewati oleh seekor kambing.
Sebagaimana atsar yang datang dari Sahl bin Sa’d, ia berkata: “Jarak antara tempat Nabi shalat dan dinding adalah dapat dilewati oleh seekor kambing” (HR. al-Bukhari, 1/574 dan Muslim, 4/225) Dan di dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa jarak tempat nabi dan kiblat adalah sebatas dapat dilewati seekor kambing.” (HR. Abu Dawud, 1/111)

4. Bentuk Sutrah
Seperti yang telah disinggung pada pembahasan di atas, bahwa benda yang pernah di pakai oleh Nabi sebagai sutrah adalah tembok, tongkat, kendaraan, dan sebagainya bahkan sebuah garispun diperbolehkan sebagai sutrah. Sebagaimana sabda Rasulullah yang diriwayatkan dari Abu Hurairah,

إذا صلى أحدكم فليجعل تلقـاء وجهه شيئا, فإن لم يجد شيئا فلينصب عصا, فإن لم يجد عصا فليخط خطا, ولا يضره ما مر بين يديه (رواه أبو داود وابن ماجه)

“Apabila salah seorang diantara kalian hendak shalat, maka hendaklah ia membuat/mendirikan sesuatu dihadapannya. Jika ia tidak memperoleh sesuatu (itu), maka hendaklah ia menancapkan sebuah tongkat. Jika ia tidak memperoleh tongkat, hendaklah ia membuat suatu garis supaya jangan menyusahkan mereka (yang berlalu-lalang) dihadapannya” (HR. Abu Daud dan Ibn Majah)

Dan hadits yang diriwayatkan dari Sibrah ibn Mu’abbad ra, Rasulullah bersabda,

استتروا فى صلاتكم ولو بسهم (رواه الحاكم فى المستدرك)

“Buatlah penghalang pada shalat kalian, walaupun dengan sebuah anak panah”. (HR. al Hakim, dalam kitab al Mustadrak)

5. Hikmah Menggunakan Sutrah dalam Shalat
Setelah penulis paparkan tentang penggunaan sutrah dalam shalat, maka penulis menyimpulkan bahwa hikmah dari menggunakan sutrah dalam shalat adalah untuk menjaga pandangan orang yang sedang shalat dari segala sesuatu yang ada diantara sutrah dan orang tersebut, serta melindungi dari orang yang berusaha mendekati (menggangu).

Hal ini sesuai dengan perkataan Imam an Nawawi, dalam kitab syarah Muslim, bahwa di antara hikmah disyari’atkannya sutrah adalah untuk dapat menjaga pandangan dari segala sesuatu yang ada di belakang sutrah, dan melindungi dari orang yang berusaha mendekatinya.
Selain Imam an Nawawi, al-Qadhi bin ‘Iyad, menuturkan pendapatnya bahwa sutrah (dalam shalat) dapat menghalangi setan lewat dan menghindari dari perkara yang dapat merusak shalat.

6. Hal-hal yang Berhubungan dengan Sutrah
Berkaitan dengan hukum-hukum dalam permasalahan sutrah yang berdasarkan hadits-hadits Rasulullah SAW, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, di antaranya:
ü Sutrah dalam shalat berjama’ah adalah tanggung jawab seorang imam. Jika dia tidak mengambil sutrah maka yang demikian adalah kesalahan dia dan bukan kesalahan makmum, karena dalam shalat berjama’ah seorang makmum tidak wajib baginya sutrah, sehingga tidak berhak mencegah orang yang lewat di depannya. Dan dalil yang dapat dijadikan alasan adalah riwayat Ibnu Abbas yang menceritakan, suatu ketika dia dan Fadl melewati di antara shaf pertama dengan menunggang keledai betina, namun tidak seorangpun dari Shahabat yang melarang dan mengingkarinya, bahkan Nabipun tidak mengingkari.

ü Seorang makmum masbuq (tertinggal satu raka’at atau lebih dalam shalat berjama'ah) maka baginya diperbolehkan mendekat ke tempat yang dapat dijadikan sutrah setelah imam salam, baik ke depan, ke sisi kanan atau ke sisi kiri, jika jaraknya dekat. Dan jika agak jauh maka baginya tetap berdiri dan berusaha menghindar dari orang yang melewatinya.

ü Jika seorang tidak mendapatkan sutrah setinggi yang ditentukan, yaitu minimal satu hasta, maka baginya tetap mengambil sutrah apapun bentuknya, karena Nabi SAW. telah melarang seseorang shalat dengan tidak memakai sutrah dan tidak ada hadits yang jelas menerangkan tentang pengertian mu’aharah ar-rahl. Allah Ta’ala berfirman: “Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu ” (QS. at-Taghabun: 16). Rasulullah SAW. bersabda: “Apabila aku telah perintahkan kepada kalian suatu perkara, maka kerjakanlah darinya semampu kalian.” (HR. al-Bukhari, 13/251).

ü Tidak diperbolehkan shalat menghadap ke kubur, sebagaimana hadits riwayat Abi Murtsid, dia berkata, Rasulullah SAW. bersabda: “Janganlah kalian shalat menghadap ke kubur dan janglah kalian duduk di atasnya.” (HR. Muslim, 7/37).

7. Khatimah
Demikianlah pembahasan yang dapat penulis sampaikan tentang permasalahan Sutrah (Pembatas) Dalam Shalat. Dan untuk lebih menegaskan permasalahan yang ada, maka penulis berusaha menyimpulkan dari pembahasan di atas.

a. Sutrah adalah sesuatu yang dijadikan sebagai pembatas seseorang yang mendirikan shalat dengan orang yang berjalan di depannya.
b. Ukuran minimal sutrah adalah satu dhira’ (sehasta) atau sekitar 45 cm dan dalam bentuk apapun. Adapun sekiranya ada halangan untuk menggunakan yang demikian sesudah berusaha semaksimal mungkin, maka diperbolehkan menggunakan sutrah dalam bentuk apapun dan setinggi berapapun yang lebih rendah dari yang semestinya, meskipun dalam bentuk garis.
c. Sutrah hukumnya wajib bagi seorang imam, dalam shalat berjama’ah, dan seorang yang shalat sendiri (munfarid) baik shalat fardhu ataupun shalat sunnah, baik laki-laki ataupun wanita. Adapun makmum tidak diwajibkan karena sutrah seorang makmum menjadi tanggung jawab seorang imam.
d. Wajib bagi seorang yang shalat menahan dan mencegah dengan tangannya segala sesuatu yang lewat di depannya, baik manusia atau hewan, baik besar ataupun kecil. Dan jika tetap memaksa lewat maka baginya tidak berdosa.
e. Tidak diperbolehkan shalat menghadap ke kubur.
Akhirnya, semoga pembahasan yang sederhana ini dapat bermanfa’at bagi pembaca budiman. Wallahu ‘alamu bish shawab.

MAKALAH PENDEKATAN SOSIALOGI

PERKEMBANGAN HISTORIES PENDEKATAN SOSIOLOGI

Dipertengahan abad 20 sosiologi melihat bahwa agama memiliki signifikansi marginal dalam dunia sosiologi, sehingga muncullah agam dalam beragama kontek global, agama kembali memperoleh signifikansi sosiologis baik dalam masyarakat global, agama kembali memperoleh signifikansi sosiologis baik dalam masyarakat berkembang maupun yang sudah maju. Artinya sosiologis terhdapa agama mulai keluar garis tapi memfokuskan perhatiannya disekitar persoalan ekologi dan perwujudan gerakan social dan protes social, globalisasi nasionalisme dan postmodernitas.



Comte, Emile Durkheim menawarkan evolusioner tentang masyarakat manusia, dari kesukuan menjadi republik dari magis ke rasional.

Durkheim memfokuskan sos-agama adalah fungsi yang dimainkan agama untuk menjembatani ketegangan itu dan dalam menghasilkan solidaritas social. Robert bellah dalam Habits of the heart menegaskan peran public dan peran privat agama.

Karl Marx, fungsi utama agama dalam menghasilkan keterenaturan bukanlah salah satu pencipta komitmen terhadap suatu proyek social bersama tetapi lebih merupakan pembernaran atas aturan ketidakadilan dan kekerasan yang sangat jahat dari kaum feudal terhadap kaum petani atau dari kaum kapitalis terhadap pekerja.

Teori marxis menjelaskan hubungan antara relasi – relasi kekuatan dalam wilayah ekonomi, budaya, dan sistem symbol yang melegitimasi relasi-relasi kekuatan itu, baik yang mengambul bentuk ikon – ikon (Patung, Orang Suci) kesamaan tradisional maupun ikon-ikon modern konsumersilisme massa.
Weber berpendapat bahwa agama bukan semata-mata produk social, tetapi lebih merupakan sumber ide dan praktek yang transendenkan dunia sosial yang imanen dan oleh karena itu dapat menimbulkan akibat terhadap dunia social dengan cara independent dan tidak dapat diramalkan.

KARAKTERISTIK DASAR PENDEKATAN SOSIOLOGIS

Kategori – kategori sosiologis, meliputi :

• Stratifikasi social, seperti kelas dan etnis
• Kategori biososial, seperti sex, gender, keluarga, perkawinan dan usia.
• Pola organisasi social; politik, ekonomi, sistem pertukaran dan birokrasi.
• Proses social, seperti fomasi batas, relasi intergrup, interaksi personal, penyimpanan dan globalisasi.

Teoritas sosialogis, menggunakan paradigma dan konseptualitas analogis tentang dunia social yang didasarkan pada tradisi sosiologis maupun refleksi atas data empirism yaitu melalui investigasi histories dan penelitan social kontemporer. (panel, kuantitatif dan kualitatif).

Pendekatan kulitatif dalam sos-agama didasarkan pada skala besar survai terhadap keyakinan-keyakinan keagamaan, nilai-nilai etis dan praktek-praktek ritual.

Pendekatan kualitatif dalam panel social terhadap agama didasarkan pada studi komunitas-komunitas keagamaan dalam skala kecil dengan metode penyelamatan pertisipan / wawancara.

Teoritas sosialogis tentang sekte sangat berbeda dari istilah sekte yang umumnya digunakan. Bagi Troeltsch “sekte” mengindikasikan suatu tipe organisasi keagamaan yang muncul sebgai pemisah dari organisasi mapan tetapi Troeltsch bukan berarti sekte itu rendah melainkan sekte itu dikuatkan oleh perubahan internal.

Karakteristik sekte-sekte yang dipertentangkan oleh para sosiologi :
• Anggotanya berasal dari kelas rendah dan memiliki kecenderungan egalitarianisme
• Suatu doktrin yang berbeda yang dipahami oleh pendiri sekte itu.
• Penolakan terhadap pimpinan, dogma dan praktek social dari agama yang mapan.
• Keanggotaan didasarkan pada pilihan, bukan perwarisan.
• Ikatan yang kuat dan keniscayaan komitmen.
• Nilai-nilai moral dan gaya hidup alternative.
• Ketidaksediaan mengakomodasikan gerak-gerak social.

Kategori organisasi kunci lainnya dalam sosiologi agama adalah gerakan keagamaan baru (New Religious Movement-NRM). Pada abad modern ini berkembang NRM bukan merupakan pemisah sekterian dari gereja-gereja atau agama-agama yang ada, tetapi gerakan-gerakan yang diilhami oleh individu kharismatik tertentu/sekumpulan ajaran dari suatu latar religius cultural yang diambil dari bagian dunia lain.

PERSOALAN DAN PERDEBATAN
Perdebatan dalam sosiologi agama kontemporer adalah antara pebela dan penentang tesis skularisasi yang mendominasi teori social sejak Comte dan Duncheim.

Indicator-indikator dalam mundurnya pengaruh agama:
• Kemunduran partisipasi dalam aktifitas dan upacara-upacara keagamaan
• Kemunduran keanggoraan keagamaan
• Kemunduran pengaruh institusi-institusi keagamaan dalam kehidupan social.
• Berkurangnya otoritas yang dimiliki dan menurunnya keyakinan terhadap ajaran-ajaran keagamaan
• Berkurangnya ketaatan privat, doa dan keyakinan
• Kemunduran otoritas tradisional yang didukung oleh nilai-nilai moral secara keagamaan
• Berkurangnya signifikansi social dari professional- professional keagamaan, kekurangan dalam lapangan kerja.
• Privatisasi internal terhadap ritual-ritual dan sistem keyakinan keagamaan.

Pergeseran dari pedalam kepada urban dari pertanian kepada industrial melibatkan kompleksifikasi organisasi masyarakat yang oleh para sosiolog disebut dengan “diferensiasi social”.
Berkaitan dengan proses difensiasi social ini adalah apa yang disebut Bryan Wilson dengan “Societalisasi”. Masyarakat pra modern berciri khas komunitas kecil masyarakat modern dicirikan proses social yang tidak dikenal.

Sosietalisasi diserai dengan individualisasi agama diprovatisasikan dan diindividualisasikan.

Weber mengatakan bahwa dinamika social mendasar yang menghasilkan sekularisasi adalah rasionalisasi meningkatnya meditasi teknolosi elektronik dalam pertukaran social adala contoh-contoh rasionalisasi.
Prediksi sosiologis mengenai kematian agama dapat menjadi bukti bias anti religius dalam sosiologi agama.

TEMUKAN MAKALAH/ARTIKEL YANG ANDA CARI DI SINI:
Custom Search

Posting Terkini