Rabu, 24 September 2008

Makalah Kesusastraan dalam Prespektif Islam

a. Latar Belakang Masalah

Segala puji bagi Allah SWT, penulis memuji-Nya, mohon pertolongan-Nya dan minta ampunan-Nya, serta berlindung kepada-Nya dari kejelekan diri dan keburukan amal ibadah. Barangsiapa yang Allah SWT. berikan petunjuk kepadanya, niscaya tak ada seorangpun yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang telah Allah SWT. sesatkan, niscaya tak akan ada seorangpun yang dapat memberikan petunjuk kepadanya. Penulis bersaksi bahwa tiada ilaah yang berhak untuk disembah melainkan Allah SWT. semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan penulis bersaksi bahwa Muhammad adalah seorang hamba dan utusan-Nya.

Pada dasarnya shalat memiliki kedudukan yang agung dalam Islam, karena dia merupakan tiang agama, perkara pertama yang akan dihitung (hisab) dari amalan seorang hamba pada hari kiamat, serta terdapat perintah untuk menjaga dan menegakkannya, sebagaimana yang termaktub di dalam ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah SAW.

Namun demikian, sungguh kebanyakan kaum Muslimin tidak mengetahui hukum-hukum dan kewajiban yang berhubungan dengan tata cara melakukan shalat sesuai dengan tuntunan Nabi SAW, khususnya masalah yang berkaitan dengan Sutrah (Pembatas) Dalam Shalat, baik manakala shalat sendiri ataupun berjama’ah. Padahal perkara ini berkaitan erat dengan syah dan sempurnanya shalat seseorang.

Melihat urgensnya sutrah di dalam shalat, maka perlu kiranya dalam pemaparan media makalah ini penulis angkat, dengan harapan perkara sunnah tetap tegak dan perkara bid’ah teresolisir, tidak justru sebaliknya bahkan yang nampak adalah perkara sunnah terkesan bid’ah dan yang perkara bid’ah terkesan sunnah.

Penulis berdo’a, semoga Allah SWT. memberikan taufiq dan ‘inayah-Nya kepada kita, sebagaimana penulis memohon agar analisa yang sederhana ini bermanfa’at bagi yang membaca-nya sebagai sarana amar ma’ruf dan nahi mungkar di antara kita. Amin ya Rabbal ‘Alamin.


b. Perumusan Masalah

Sesuai perkara di atas, insya Allah penulis akan mengangkat sebagian permasalahan yang timbul di masyarakat muslim tentang keberadaan sutrah.
1. Apa kedudukan sebenarnya sutrah dalam perspektif fiqh Islam?
2. Apakah yang demikian hukumnya wajib bagi setiap orang yang shalat?

c. Hipotesis


Dari akar permasalahan yang timbul, insya Allah penulis akan memaparkan argumen tentang permasalahan di atas, sebagai berikut:
1. Sutrah merupakan sesuatu yang bisa dijadikan sebagai pembatas seseorang yang sedang mendirikan shalat dengan orang yang berjalan di depannya.
2. Hukum sutrah di dalam shalat adalah wajib, karena ia sebagai pembatas seseorang dengan orang yang berada di depannya dengan tujuan untuk menggangu ketika shalat.

d. Metodologi

Metode penulisan makalah ini dimulai dari pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan cara mengumpulkan dan menelaah sejumlah buku, tulisan dan sumber bacaan yang memiliki kaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan pembahasan makalah ini. Selain itu, metode yang penulis lakukan adalah mencari sumber yang dibutuhkan melalui media internet.


SUTRAH (PEMBATAS) DALAM SHALAT

1. Definisi

a. Secara Bahasa
Dari segi bahasa, kata sutrah adalah bentuk jama’ (plural) dari kata ستر berarti menutupi. Maka sutrah berarti sesuatu yang menutupi.

b. Secara Istilah
Adapun dari segi istilah syara’, sutrah adalah sesuatu yang dijadikan sebagai pembatas seseorang yang sedang mendirikan shalat dengan orang yang berjalan di depannya.
Sedangkan menurut pendapat ulama lain, sutrah adalah pembatas tempat sujud supaya orang lain akan mengetahui batas tempat orang yang sedang shalat.

عن سهل بن أبى حثيمة رضى الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: إذا صلى أحدكم إلى سترة فليدن منها لا يقطع الشيطان عليه صلاته (رواه أبو داود والنسـائ)

Dari Sahl ibn Abi Hutsaimah ra sesungguhnya Nabi SAW bersabda: “bila salah satu diantara kalian shalat di dekat sutrah/penghalang, maka hendaklah ia berada di dekatnya, niscaya setan tidak dapat memutuskan shalatnya”. (HR. Abu Daud dan an Nasai)

2. Hukum Penggunaan Sutrah
Berkaitan dengan permasalahan ini, para ulama’ berbeda pendapat. Sebagaian di antara mereka mengatakan hukum sutrah adalah wajib dan sebagaian yang lainnya mengatakan sunnah.
Dari kalangan ulama’ yang mengatakan wajib, mereka beralasan dengan beberapa hadits, di antaranya:

عن ابن عمر رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: إذا كان أحدكم يصلى فلا يدع أحدا يمر بين يديه فإن أبى فليقاتله فإن معه القرين (رواه مسلم)

Dari Ibn Umar ra, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “apabila salah seorang (dari kalian) sedang shalat, hendaklah mencegah orang yang berlalu-lalang di hadapannya. Apabila orang itu membangkang, maka ia boleh dibunuh. Karena sesungguhnya beserta orang itu adalah qarin (teman/iblis)”. (HR. Muslim)

Hadits lain, yang artinya:
Dari Abu Said Al-Khudri ra, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “jika salah seorang diantara kalia shalat, hendaklah shalat (itu) menghadap sutrah dan hendaklah mendekat padanya dan jangan biarkan seorangpun lewat antara dia dengan sutrah. Jika ada seseorang lewat (didepannya) maka perangilah karena dia adalah syaitan. (HR. Ibnu Abi yaibah dalam Al-Mushannaf 1/279, Abu Dawud dalam As-Sunan 297, Ibnu Majah dalam As-Sunan no. 954, Ibnu Hibban dalam As-Shahih 4/48, 49-Al-Ihsan, dan Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra 2/267, sanadnya hasan) Di dalam riwayat lain (yang artinya): (Karena) sesungguhnya setan lewat antara dia dengan sutrah.

Mengomentari hadits Abu Said di atas, As-Syaukani berkata: Padanya (menunjukkan) bahwa memasang sutrah itu adalah wajib. Beliau juga berkata: Dan kebanyakan hadits-hadits (dalam masalah ini) mengandung perintah dengannya dan dhahir perintah (menunjukkan) wajib. Jika dijumpai sesuatu yang memalingkan perintah-perintah ini dari wajib ke mandub (sunnah) maka itulah hukumnya. Dan tidak tepat dijadikan pemaling (pengubah hukum) sabda Rasul SAW (yang artinya): Sesungguhnya tidak memudharatkan apapun yang lewat di depannya karena menghindarnya orang shalat dari perkara yang memudharatkan shalatnya dan menghindari hilangnya sebagian pahalanya adalah wajib atasnya.

Adapun Dari kalangan ulama’ yang mengatakan sunnah, mereka beralasan dengan hadits riwayat Ibnu Abbas, dia berkata: “(Rasulullah) shalat bersama manusia (Sahabat) di Mina dan menghadap ke selain dinding, lalu aku berjalan di antara sebagaian shaf….” (HR. al-Bukhari, 1/181; 8/109; Ahmad, 1/243; Abu Dawud, 1/113 dan selain mereka)

Namun para ulama menetapkan bahwa pada hakekatnya hadits di atas tidak dapat dijadikan hujjah (pegangan) disunnahkannya sutrah, karena dengan beberapa alasan:

ü Tidak ada alasan bagi mereka yang mengunakan dalil ini bahwa Nabi SAW shalat dengan tidak memakai sutrah, karena para perawi hadits berselisih pendapat apakah kejadian tersebut terjadi di Mina atau di ‘Arafah. Namun pendapat yang kuat adalah yang mengatakan bahwa ini terjadi di ‘Arafah sebagaimana riwayat Ibnu Abbas dari jalan yang lain, dia berkata: “Aku menancapkan al-‘Anazah (sejenis tongkat/tombak) di depan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika di ‘Arafah dan beliau shalat ke arahnya….” (HR. Ahmad, 1/243; Ibnu Khuzaimah, 2/26; dan ath-Thabraniy, 11/243).

ü Bahwa kalimat “menghadap ke selain dinding” sebagaimana yang termaktub dalam hadits secara bahasa tidaklah mengandung makna tongkat, tombak, onta, tunggangan, atau batu dan selainnya yang dapat menutupi orang shalat secara mutlak. Oleh karena itu, al Bukhari mencantumkan hadits dengan lafadz tersebut pada bab “Sutrah imam adalah sutrah bagi siapa saja yang berdiri dibelakangnya”, untuk menjelaskan kebisaan Rasulullah SAW, yaitu menancapkan sejenis tombak/tongkat dan selainnya. Sebagaimana yang diisyaratkan oleh al-Hafidz di dalam kitabnya al-Fath al-Bari. Dan Ibnu Turkuman berkata, "Bahwa penyebutan tidak adanya dinding tidaklah selalu berkonotasi tidak adanya sutrah”.

Dengan demikian, dari beberapa hadits di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan sutrah dalam melaksanakan shalat, baik berjama’ah maupun munfarid, hukumnya adalah wajib.

3. Batasan SutrahSeperti yang telah dijelaskan oleh beberapa hadits di atas bahwa Nabi SAW telah mewajibkan bagi orang yang shalat agar mendekat pada sutrah. Begitu pula Nabi menyebutkan tentang batasan antara sutrah dengan orang yang shalat.

Dalam beberapa riwayat dijelaskan batasan kepada orang yang shalat terhadap sutrah adalah 3 hasta, dan yang terpendek adalah jarak tersebut dapat dilewati oleh seekor kambing.
Sebagaimana atsar yang datang dari Sahl bin Sa’d, ia berkata: “Jarak antara tempat Nabi shalat dan dinding adalah dapat dilewati oleh seekor kambing” (HR. al-Bukhari, 1/574 dan Muslim, 4/225) Dan di dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa jarak tempat nabi dan kiblat adalah sebatas dapat dilewati seekor kambing.” (HR. Abu Dawud, 1/111)

4. Bentuk Sutrah
Seperti yang telah disinggung pada pembahasan di atas, bahwa benda yang pernah di pakai oleh Nabi sebagai sutrah adalah tembok, tongkat, kendaraan, dan sebagainya bahkan sebuah garispun diperbolehkan sebagai sutrah. Sebagaimana sabda Rasulullah yang diriwayatkan dari Abu Hurairah,

إذا صلى أحدكم فليجعل تلقـاء وجهه شيئا, فإن لم يجد شيئا فلينصب عصا, فإن لم يجد عصا فليخط خطا, ولا يضره ما مر بين يديه (رواه أبو داود وابن ماجه)

“Apabila salah seorang diantara kalian hendak shalat, maka hendaklah ia membuat/mendirikan sesuatu dihadapannya. Jika ia tidak memperoleh sesuatu (itu), maka hendaklah ia menancapkan sebuah tongkat. Jika ia tidak memperoleh tongkat, hendaklah ia membuat suatu garis supaya jangan menyusahkan mereka (yang berlalu-lalang) dihadapannya” (HR. Abu Daud dan Ibn Majah)

Dan hadits yang diriwayatkan dari Sibrah ibn Mu’abbad ra, Rasulullah bersabda,

استتروا فى صلاتكم ولو بسهم (رواه الحاكم فى المستدرك)

“Buatlah penghalang pada shalat kalian, walaupun dengan sebuah anak panah”. (HR. al Hakim, dalam kitab al Mustadrak)

5. Hikmah Menggunakan Sutrah dalam Shalat
Setelah penulis paparkan tentang penggunaan sutrah dalam shalat, maka penulis menyimpulkan bahwa hikmah dari menggunakan sutrah dalam shalat adalah untuk menjaga pandangan orang yang sedang shalat dari segala sesuatu yang ada diantara sutrah dan orang tersebut, serta melindungi dari orang yang berusaha mendekati (menggangu).

Hal ini sesuai dengan perkataan Imam an Nawawi, dalam kitab syarah Muslim, bahwa di antara hikmah disyari’atkannya sutrah adalah untuk dapat menjaga pandangan dari segala sesuatu yang ada di belakang sutrah, dan melindungi dari orang yang berusaha mendekatinya.
Selain Imam an Nawawi, al-Qadhi bin ‘Iyad, menuturkan pendapatnya bahwa sutrah (dalam shalat) dapat menghalangi setan lewat dan menghindari dari perkara yang dapat merusak shalat.

6. Hal-hal yang Berhubungan dengan Sutrah
Berkaitan dengan hukum-hukum dalam permasalahan sutrah yang berdasarkan hadits-hadits Rasulullah SAW, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, di antaranya:
ü Sutrah dalam shalat berjama’ah adalah tanggung jawab seorang imam. Jika dia tidak mengambil sutrah maka yang demikian adalah kesalahan dia dan bukan kesalahan makmum, karena dalam shalat berjama’ah seorang makmum tidak wajib baginya sutrah, sehingga tidak berhak mencegah orang yang lewat di depannya. Dan dalil yang dapat dijadikan alasan adalah riwayat Ibnu Abbas yang menceritakan, suatu ketika dia dan Fadl melewati di antara shaf pertama dengan menunggang keledai betina, namun tidak seorangpun dari Shahabat yang melarang dan mengingkarinya, bahkan Nabipun tidak mengingkari.

ü Seorang makmum masbuq (tertinggal satu raka’at atau lebih dalam shalat berjama'ah) maka baginya diperbolehkan mendekat ke tempat yang dapat dijadikan sutrah setelah imam salam, baik ke depan, ke sisi kanan atau ke sisi kiri, jika jaraknya dekat. Dan jika agak jauh maka baginya tetap berdiri dan berusaha menghindar dari orang yang melewatinya.

ü Jika seorang tidak mendapatkan sutrah setinggi yang ditentukan, yaitu minimal satu hasta, maka baginya tetap mengambil sutrah apapun bentuknya, karena Nabi SAW. telah melarang seseorang shalat dengan tidak memakai sutrah dan tidak ada hadits yang jelas menerangkan tentang pengertian mu’aharah ar-rahl. Allah Ta’ala berfirman: “Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu ” (QS. at-Taghabun: 16). Rasulullah SAW. bersabda: “Apabila aku telah perintahkan kepada kalian suatu perkara, maka kerjakanlah darinya semampu kalian.” (HR. al-Bukhari, 13/251).

ü Tidak diperbolehkan shalat menghadap ke kubur, sebagaimana hadits riwayat Abi Murtsid, dia berkata, Rasulullah SAW. bersabda: “Janganlah kalian shalat menghadap ke kubur dan janglah kalian duduk di atasnya.” (HR. Muslim, 7/37).

7. Khatimah
Demikianlah pembahasan yang dapat penulis sampaikan tentang permasalahan Sutrah (Pembatas) Dalam Shalat. Dan untuk lebih menegaskan permasalahan yang ada, maka penulis berusaha menyimpulkan dari pembahasan di atas.

a. Sutrah adalah sesuatu yang dijadikan sebagai pembatas seseorang yang mendirikan shalat dengan orang yang berjalan di depannya.
b. Ukuran minimal sutrah adalah satu dhira’ (sehasta) atau sekitar 45 cm dan dalam bentuk apapun. Adapun sekiranya ada halangan untuk menggunakan yang demikian sesudah berusaha semaksimal mungkin, maka diperbolehkan menggunakan sutrah dalam bentuk apapun dan setinggi berapapun yang lebih rendah dari yang semestinya, meskipun dalam bentuk garis.
c. Sutrah hukumnya wajib bagi seorang imam, dalam shalat berjama’ah, dan seorang yang shalat sendiri (munfarid) baik shalat fardhu ataupun shalat sunnah, baik laki-laki ataupun wanita. Adapun makmum tidak diwajibkan karena sutrah seorang makmum menjadi tanggung jawab seorang imam.
d. Wajib bagi seorang yang shalat menahan dan mencegah dengan tangannya segala sesuatu yang lewat di depannya, baik manusia atau hewan, baik besar ataupun kecil. Dan jika tetap memaksa lewat maka baginya tidak berdosa.
e. Tidak diperbolehkan shalat menghadap ke kubur.
Akhirnya, semoga pembahasan yang sederhana ini dapat bermanfa’at bagi pembaca budiman. Wallahu ‘alamu bish shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TEMUKAN MAKALAH/ARTIKEL YANG ANDA CARI DI SINI:
Custom Search

Posting Terkini