Ia bernama lengkap Ghazâlî, Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammdad ibn Abû Hâmid al-Ghazâlî. Ia dikenal dengan al-Ghazâlî karena lahir di Ghazalah, suatu kampong di kawasan Tus, khurusan, Persia (sekarang termasuk wilayah Iran). Beberapa literatur menyebutkan al-Ghazâlî (dengan dua “z”) karena ayah dan kakeknya adalah tukang eminta benag wol (ghazzâl).
al-Ghazâlî lahir pada 450 H/1058 M, tiga tahun setelah kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad, dan meningal pada hari Senin, 14 Jumadil Akhir 505 H/19 Desember 1111 M. saat kecil, ia bersama adiknya Ahmad, dititipkan oleh sang ayah-ketika merasa ajalnya segera tiba-ke seorang sufi sahabatnya, seraya berwasiat, “Aku menyesal sekali karena aku tidak belajar menulis. Aku berharap untuk mndapatkan apa yang tak aku dapatkan itu melalui dua putraku ini”.
Ketika harta titipan ayahnya habis, sang sufi menganjurkan keduanya untuk belajar di sebuah madrasah di Tûs yang menyediakan biaya hidup bagi para siswanya. Nasehat sufi tersebut mereka turuti. Di sini, Ghazâlî belajar dari Ahmad al-Radzkânî tentang fikih Syâfi’î, kalam Asyârî, sejarah para wali, dan syair-syair.
Belum mencapai usia tahun, al-Ghazâlî melanjutkan studi ke Jurdan untuk H/belajar dari Abû Nasr al-Ismâ’îlî (w. 427 H/1036 M)- menurut versi lain: Ismâ’îl ibn Sa’ad al-Ismâ’îlî (w. 487 H/1083 M). tidak diketahui berapa lama ia berada di Jurdan. Yang jelas, di sini ia juga mempelajari bagasa Arab dan Persia di samping beberapa ilmu agama. Ia menulis semua mata pelajaran yang didapatkannya.
Ia kemudian kembali ke Tûs. Dalam perjalanan kembali, rombongannya dihadang segerombolan perampok yang turut menyita buku catatannya. Catatan itu akhirnya dikembalikan oleh para penyamun, tetapi peristiwa itu telah membuatal-Ghazâlî sedemikian khawatir kehilangan seluruh ilmunya. Sehingga, selama tiga tahun di Tûs ia merenung, berfikir, dan menghafal semua pelajaran yang didapati di Jurdan. Selama itu ia sempat pula belajar tasawuf dari Yûuf al-Nassâj (w. 487 H/1083 M).
Sesudah itu, al-Ghazâlî berangkat ke Nisabur untuk belajar di salah satu Madrasah Nizâmiyyah. Madrasah ini didirikan oleh Perdana Mentri Nizâm al-Mulk di seluruh daerah Saljuk sebagai tempat pembibitan para ahli teologi-guana mengimbangi aktifitas kekhalifahan Fâtimiyyah Kairo yang menyebar paham Syiah (Ismâ’îliyyah)
Madrasah Nizâmiyyah di Nisabur dipimpin oleh Abû al-Ma’âlî al-Juwaynî (w. 478 H/1075 M), teolog Asy’ariyyah yang bergelar Imam al-Haramayn. Di sinilah al-Ghazâlî menekuni banyak disiplin ilmu dan merintis reputasi sebagai pengarang. Kecerdasanya tampak menonjol, sampai-sampai al-Juwaynî menjulukinya sebagai bahr mughriq (lautan yang menenggelamkan). Karya pertamanya, al-Mankûl fi ‘Ilm al-Ushûl (Yang Terseleksi Tentang Ilmu Usul), sangat menggembirakan gurunya itu. Usai membaca karya itu, sang guru berkata kepanya, ”Kamu telah menguburku hidup-hidup. Mengapa engkau tidak bersabar menunggu sampai aku mati? Dengan bukumu itu, karya-karyaku menjadi terabaikan.” Al-Ghazâlî juga kerap menggantikan al-Juwaynî setiap berhalangan mengajar.
Ia sempat belajar tasawuf dari Abû ‘Ali al-Fadl al Farmadi (w. 477 H/1074 M), al-Ghazâlî akhirnya hengkang dari Nisabur pada tahun wafatnya al-Juwaynî. Ia pergi ke Mu’askar untuk bergabung dalam majelis seminar yang digelar oleh Nizâm al_Mulk. Berkat ketajaman menganalisi dan berargumentasi dalam perdebatan-perdebatan di tempat berkumpulnya ulama terkemuka itu, nama al-Ghazâlî menjadi melambung. I berada di sini selama enam tahun sebelum akhirnya diangkat menjadi guru besar dan kepala Madrasah Nizûmiyyah di Baghdad pada 484 H/1091 M. madrasah itu sendiri telah berdiri sejak 458 H/1065 M.
Di Baghdad, sambil mengajar 300-an lebih murid, ia juga secara otodidak mencoba menguasai filsafatnya al-Farâbî ( 339 H/941 M), Ibnu Sînâ (w. 428 H/1037 M), Ibn Miskawayh (w. 431 H/1040 M), dan kelompok ikwan al-Safâ selama dua tahun. Selama periode Baghdad ini, ia melahirkan beberapa karya seperti Maqâsid al-Falâsifah (Tujuan-tujuan Para Filsuf), Tahâfut al-Falâsifah (Inkoherensi Para Filsuf), Fadâîh al-Bâtiniyyah (Kelancungan Paham Bâtiniyyah), al-Iqtisâd fi al-I’tiqâd (Moderasi dalam Akidah), al-Wajîd (Ringkasan), al-Basît (Yang Komprehensif), dan al-Wasît (Pertengahan). Sampai di sini, al-Ghazâlî masih sangat dekat dengan fasilitas, aspirasi dan misi penguasa.
Namun, pada 488 H ia mengalami krisis batin yang hebat. Ia terus merenungi dirinya, amalya, dan niatnya. Ia mendapati bahwa dirinya telah tenggelam dalam ikatan duniawi; aktivitas mengajarnya hanya membawanya pada ilmu-ilmu yang sepele dan tiada berguna; dan niatnya dalam mengajar ternyata tidak ikhlas demi Allah, bahkan hanya mendorong hasrat akan jabaran serta popularitas. “Aku lantas menjadi yakin bahwa aku hampir-hampir mengalami kehancuran; dan aku benar-benar tak akan lepas dari neraka andai saja aku tidak meninggalkan hal-hal sepele itu,” begitu tutur al-Ghazâlî yag mengabdikan eposide krisis batinnya itu dalam al-Munaqidz min al-Dalâl (Pembebas dari Kesesatan).
Akan tetapi, selama enam bulan jiwa al-Ghazâlî dihantui kebimbangan antara tetap tinggal-dengan segenap daya tarik duniawi yang ada di depan matanya-atau memilih pergi, sampai suatu saat, al-Ghazâlî mengisahkan,
“keadaan memaksaku untuk mengambil keputusan, sebab Allah telah mengunci lidahku sampai tidakk bisa mengajar. Suatu hari, dengan sepenuh tenaga aku berusaha mengajar untuk menyenangkan berbagai pihak. Ternyata sepatah kata pun tak terucap oleh lidahku. Aku sama sekali tak bisa berucap. Keadaan yang menimpa lidahku itu lantas menimbulkan derita dalam kalbu. Hancurlah engannya daya cerna, lenyaplah nafsu makan dan minum. Ketika itu, setetes minuman atau sesuap makanan tidak terasakan. Keadaan ini berlanjut ngan melemahnya daya dan kekuatan sehingga para dokter merasa tak mampu menyembuhkannya.”
Dalam keadaan demikian, ia mempasrahkan jiwanya kepada Allah. Hal itu mengawali keputusanya untuk melaepas karir di Baghdad guna melakukan petualangan seama sepuluh atau sebelas tahun. Selama itu ia mengunjungi Damaskus, Mekkah (untuk naik haji pada 489 H), Bayt al-Maqdis, dan –dalam khalwat, riyâdah (latihan spiritual), dan mujahadah. Di Damaskus, sepanjang hari ia beriktikaf di menara Mesjid Jami’-yang kini terkenal dengan nama Menara al-Ghazâlî .
Dalam tempo itu, ia tetap kerap menulis. Di antara yang ia tulis pada masa ini adalah al-Risâlah al-Qudsiyyah (Risalah Suci), Ihya ‘Ulûm al-Dîn (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama), Jawâhir al-Qur'ân (Mutiara-mutiara al-Qur'ân), Bidâyat al-Hidâyah (Permulaan Petunjuk), al-Qistâs alMustaqîm (Teraju yang Lurus), al-Maqsad al-Asnâ (Tujuan Paling Luhur), Faysal al-Tafriqah (Kriteria Pembeda), dan al-Arba’in fi Ushul al-Dîn (Empat Puluh Pokok Agama).
Pada 499 H ia merasa harus keluar dari uzlahnya karena dedikasi moral yang merajalela dan permintaan Wazir Fakh al-Mulk (putra Nizâm al-Mulk) untuk mengajar lagi di Madrasah Nizûmiyyah Nisabur. Akan tetapi, ia tidak lama mengajat di siru dan kembali Tûs. Ia membangun sebuah Madrasah untuk mengajar kalam serta tasauf dan sebuah khanaqah untuk tempat praktikum suluk sufi. Ia berada di Tûs sampai meninggalnya.
Sejak keluar dari uzlah sampai wafatnya, ia menulis beberapa karya lagi, seperti al-Munqidz min al-Dalâl, Iljâm al-‘Awâmm ‘an ‘Ilm al-Kalâm (Mencegah Orang Awam dari Ilmu Kalam), al-Mustasfâ (Tempat Penyucian) dan Minhâj al-‘Âbidin (Titipan Para Ahli Ibadah).
Karya-karyanya. Referensi-referensi tentang al-Ghazâlî menyebut angka yang sangat beragam mengenai jumlah karyanya. Ada yang menyebutkan bahwa karya tulis yang dinisbatkan kepadanya mencapai 400 buah. Referensi lain menyebutkan bahwa hanya 50 buku dan risalah yang masih bisa dijumpai yang bisa dipertanggungjawabkan sebagai karyanya sendiri. Pengakurasian sulit dilakukan, selain karena ada yang hilang, juga karena-sebagaimana dipapar al-Qaradawi-terdapat usaha pemalsuan dan penisbatan nama yang tidak bertanggung jawab, bahkan sejak al-Ghazâlî masih hidup.
Tentang akidah atau ilmu kalam, al-Ghazâlî menulis al-Iqtisâd fî al-I’tiqâd, al-Ajwibah al-Ghazâlîyyah fî Masâ’il al-Ukhrawiyyah, al-Risâlah al-Qudsiyyah fi Qawâ’id al-Aqâ’id, ‘Arâ ‘ilm al-Din, ‘Aqîdat ahl Sunnah, al-Intisâr, Munfasil al-Khilâf fî Usul al-Dîn, al-Maqsad al-Asnâ fî Syarh Asmâ Allah al-Husnâ, dan Iljâm al-‘Awâmm ‘an ‘Ilm al-Kalâm. Ia, secara khusus, juga menulis sanggahan terhadap kaum Bâtiniyyah, yakni Fada’ih al-Batiniyyah wa Fadâ’il al-Mustazhirîyyah, dan al-Qistâs al-Mustaqîm; tanggapan atas kritik, yakni Faysal al-Tafriqah bayn al-Islâm wa al-Zandaqah; serta bantahan terhadap ketuhanan ‘Îsâ (kalau ini benar otentik), yakni al-Radd al-Jamil li Ilâhiyyat ‘Isâ bi Sarîh al-Injîl.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar