PENDAHULUAN
“Antum ashabiy, ikhwanuna al-ladzina ya’tuna ba’diy” (Kalian adalah sahabat-sahabatku, saudara-saudara kita adalah yang datang sesudah [wafat Ku]).
Dalam Dunia Moderen ini, kebutuhan akan saudara sebagai pembantu atau wasillah untuk menenangkan jiwa atau hanya sekedar untuk teman curhat menjadi komoditas yang sangat fundamental. Saudara yang mengertiin dan menghargai saudara yang lainnya adalah salah satu bagian dari petuah Nabi dan Tuhan-Nya yang diwanti-wanti dari sejak awal risalah Islam di turunkan di muka Bumi ini. Di Dunia Moderen ini, dimana kebutuhan seseorang telah dilayani dan digantikan oleh mesin sebagai wakil akan tenaga dan jiwa manusia, menjadikan manusia semakin terasing (alienasi) dan termarjinalkan dari keharmonisan akan kehidupan sosial. Karena mesin hanya bisa mengasihi apa yang diminta, tidak sampai ketahap “mengertiin”. Dengan sebab itu manusia menjadi bosan dan malas karena itu-itu saja biasanya, tidak bisa ketahap yang lebih “manusiawi”. Dengan kebosanan itu manusia butuh teman yang lebih ngertiin akan keadaan jiwanya. Teman walaupun sebagai pelarian dari kebosanannya, teman sebagai lawan curhatnya untuk menghilangkan kegundahannya.
“Antum ashabiy, ikhwanuna al-ladzina ya’tuna ba’diy” (Kalian adalah sahabat-sahabatku, saudara-saudara kita adalah yang datang sesudah [wafat Ku]).
Dalam Dunia Moderen ini, kebutuhan akan saudara sebagai pembantu atau wasillah untuk menenangkan jiwa atau hanya sekedar untuk teman curhat menjadi komoditas yang sangat fundamental. Saudara yang mengertiin dan menghargai saudara yang lainnya adalah salah satu bagian dari petuah Nabi dan Tuhan-Nya yang diwanti-wanti dari sejak awal risalah Islam di turunkan di muka Bumi ini. Di Dunia Moderen ini, dimana kebutuhan seseorang telah dilayani dan digantikan oleh mesin sebagai wakil akan tenaga dan jiwa manusia, menjadikan manusia semakin terasing (alienasi) dan termarjinalkan dari keharmonisan akan kehidupan sosial. Karena mesin hanya bisa mengasihi apa yang diminta, tidak sampai ketahap “mengertiin”. Dengan sebab itu manusia menjadi bosan dan malas karena itu-itu saja biasanya, tidak bisa ketahap yang lebih “manusiawi”. Dengan kebosanan itu manusia butuh teman yang lebih ngertiin akan keadaan jiwanya. Teman walaupun sebagai pelarian dari kebosanannya, teman sebagai lawan curhatnya untuk menghilangkan kegundahannya.
Persaudaraan merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa diganti dengan apa pun. Persaudaraan merupakan fitrah yang diberikan atas kebaikan Tuhan bagi manusia. Manusia adalah mahluk sosial, mahluk yang tidak bisa hidup sendirian-tanpa yang lainnya. Manusia tidak akan bisa hidup sendirian di dunia ini, karena itu memang bukan sifatnya. Insting manusia itu mengandaikan hidup bersama dengan sesama dan yang lainnya dengan tenang, damai dan harmonis. Itu semua tidak akan terwujud tanpa adanya sifat inklusifisme, yakni sifat menghargai dan tau diri bahwa kita hidup di dunia ini tidak sendiri dan tidak sama, melainkan berbeda satu dengan yang lainnya, oleh karena berbeda kita harus menghargai dan menghormati yang lain dari kita (The other). Tanpa ada yang mengganggu atau mengusiknya, yang semua mahluk membenci itu. Kami pikir itulah yang diidamkan oleh semua mahluk Tuhan, baik itu binatang yang hidup di Darat maupun di Laut, tumbuh-tumbuhan bahkan sampai pada mahluk goib pun sama menginginkan kehidupan di dunia ini dengan kehidupan yang damai tentram sejahtera.
Dalam penulisan ini, penulis tidak ingin membahas apa yang diinginkan oleh mahluk selain manusia. Melainkan hanya manusia saja dalam kesempatan ini. Kehususnya kedamean yang diperoleh lewat persaudaraan. Yang mana ini merupakan sifat dasariyah manusia yang membutuhkan akan berdampingan dengan yang lainnya. Manusia benci kedirian itu dan sebaliknya suka akan kebersamaan. Kebersamaan yang saling mengertiin dan tertanamnya sifat toleran di jiwa yang tenang dalam diri masing-masing. Dalam kesempatan ini penulis akan mencoba menguraikan kedamean yang diperoleh lewat persaudaraan seiman saja. Tidak dalam konteks yang lainnya yang lebih universal. Insya Allah dalam kesempatan lain, penulis akan menulis yang lebih serius dalam pembahasan kedamean yang diperoleh lewat persaudaraan ini. Dalam hal ini penulis akan membahas masalah persaudaraan seiman saja, yang berkaitan dengan masalah; apa dan bagaimana gambarannya (abstraksi) dari persaudaraan seiman itu? Apa dan bagaimana cara untuk menjaganya supaya terjaga?
Apa itu Ukhuwwah?
Ukhuwwah secara literal dapat diartikan dengan “Persamaan dan Keserasian dalam banyak hal”. Oleh sebab itu persamaan karena keturunan juga bisa dinamakan dengan persaudaraan. Persamaan asal daerah atau asal negara juga bisa dinamakan dengan persaudaraan. Bahkan persamaan dalam sifat pun bisa dinamakan dengan persaudaraan. Ukhuwwah dilihat dari arti di atas, yakni persamaan atau keserasian, secara teoritis berarti meniadakan (nafi) atau mengosongkan “diri” dari identitas-identitas yang melekat dalam dirinya. Dalam artian universal ini tidak mengenal atau tidak pandang bulu; apa itu kepercayaannya, apa itu aliran idiologinya, apa itu keturunan darahnya, lo anak anak apa, lo anak siapa, berapa lo punya rumah, berapa punya mobil. Itu semua dinafikan. Yang terpenting itu ada kesamaan dan keserasian itu saudara kita.
Quraish Shihab dalam bukunya, Membumikan al-Qur’an menuliskan bahwa kata akh dalam bentuk mufrod juga bisa diartikan dengan teman atau sahabat. Dimana dalam Qur’an kata akh di sebut sebanyak 52 kali. Di sini kita tahu betapa Tuhan pun begitu mengapresiasi tentang persaudaraan ini. Terbukti dengan penyebutan kata akh yang lebih dari persyaratan banyak dalam ilmu Nahwu. Walaupun persaudaraan karena beragam sebab. Ada persaudaraan sebab keturunan dan ada juga sebab asal Negeri yang sama.
Sedang kata akh dalam bentuk jama’, pak Quraish membagi menjadi dua. Pertama, menjadi kata Ikhwan, yang bisa diartikan atau diperuntukkan sebagai persaudaraan yang bukan karena anak kandung. Dan dalam al-Qur’an kata ini disebut sebanyak 22 kali. Di sini kita lihat betapa pentingnya persaudaraan itu, persaudaraan tanpa hubungan darah. Persaudaraan yang murni karena kesamaan sebagai manusia. Persaudaraan yang bukan karena apa dan siapa dirimu. Melainkan persaudaraan yang dilihat dari sebagai. Yakni sebagai manusia yang mempunyai penglihatan ke-manusiawiya-an.
Menjadi kata Ikhwah, yang diperuntukkan guna menyebut persaudaraan karena sebab keturunan. Kecuali dalam surat al-Hujarat: 10. Dimana kata Ikhwah ini dalam al-Qur’an disebut sebanyak 7 kali. Kita lihat di sini kata Ikhwan yang dikonotasikan dengan persaudaraan dengan sebab bukan keturunan lebih banyak disebut (22 kali) dari pada kata Ikhwah yang dikonotasikan dengan persaudaraan dengan sebab keturunan yang hanya disebut 7 kali. Ini mengandaikan bahwa persaudaraan dengan sebab bukan keturunan itu lebih banyak terjadi dan lebih urgen juga lebih rentan dengan keselekan. Juga karena kata Ikhwan berkonotasikan dengan persaudaraan karena kemanusiaan.
Makna Ukhuwwah Islamiyyah
Di sini kiranya sudah jelas, bahwa siapa pun orang itu, dari mana pun asal negaranya selagi ia memeluk agama Islam, itulah saudara kita. Yang patut kita hormati, hargai dan kita tolong apabila memerlukannya. Tentu saja dalam keumuman ini tidak mengabaikan kepercayaan yang lainnya (the other faith). Tapi dalam pembahasan kali ini hanya ingin menguraikan persaudaraan yang dikarenakan sebab seiman saja. Hanya saja karena lebih berkesan dan bermakna. Selain karena ada persamaan seiman juga ini merupakan anjuran sekaligus perintah syara’.
Meskipun kedengarannya biasa-biasa atau enak-enak saja, dalam arti tidak ada permasalahan dalam istilah kata Ukhuwwah Islamiyyah, namun kalau dicermati lebih dalam dan lebih serius lagi, maka tentu saja bermasalah terutama ketika dialih bahasakan ke dalam bahasa Indonesia. Menyangkut sebagai apakah kedudukan kata Islamiyyah di situ ? Apakah sebagai kata Mudof Ilaih ? Atau sebagai kata ajektif ? itulah menjadi masalah, walaupun itu hanya sepele, itu dikarenakan belum ada kesepakatan “absolut”. Kalau misalnya kata Islamiyyah itu kedudukannya menjadi Mudof Ilaih, maka dapat diterjemahkan dengan kata “Persaudaraan antar sesama muslim”. Ini mirip dengan sebuah nama gerakan Islam yang muncul di Mesir yang dipimpin oleh Hasan al-Banna. Yaitu gerakan Ikhwan al-Muslimin. Di mana kalau kata Ukhuwwah Islamiyyah itu diterjemahkan “Persaudaraan antar sesama Muslim”, ini berarti menahikan umat yang lainnya.
Dalam arti hanya melulu orang muslim saja. Tetapi kelebihannya di sini tidak melihat atau tidak membedakan muslimnya itu muslim yang beraliran apa. Semuanya masuk kedalam Persaudaraan Islam. Yang lebih terpenting adalah orang itu sudah melafalkan dua kalimat syahadat. Maka dengan sendirinya orang itu sudah masuk dalam lingkaran Persaudaraan Islam.
Selanjutnya apabila kata Islamiyyah itu dijadikan ajektif, maka kata Ukhuwwah Islamiyyabisa diartikan dengan “Persaudaraan yang bersifat Islam” atau “Persaudaraan secara Islam”. Nah ini mengidentifikasikan lebih luas maknanya ketimbang yang pertama. Yang terakhir ini maknanya bisa merambah ke persaudaraan di luar seiman. Ini di tetapkan dan di tegaskan dengan kata “berifat” atau “secara” yang merupakan makna ajektif. Dan juga menunjukan bahwa persaudaraan selain seiman pun tidak menjadi masalah. Yang penting “bersifat Islami” atau “secara Islami”. Yakni “mengumbar” kedamean dan ketenangan. Inilah salah satu kelebihan agama Islam dibandingkan dengan agama yang lainnya. Inilah yang di gebar-gemborkan sang guru bangsa kita, Nurcholish Madjid. Meskipun dalam sejarahnya kita tahu bahwa Umat Islam selalu bertikai, peperangan dan pertumpahan darah sesama muslim. Ini jangan dikira karena ajaran islam yang “menyuruhnya”, ini terjadi melainkan karena ke-egoisan individu-individu masing-masing dalam rangka merebut kedudukan jabatan kekuasaan. Dan sampai sekarang pun di zaman kontemporer ini masih saja terjadi perbuatan yang tidak disuruh oleh Islam itu. Tentu saja itu perbuatan yang tidak Islami. Entah ini sepertinya orang-orang yang mewarisi perlakuan atau tingkah-laku orang dulu yang “bengis” itu. Perbuatan yang tidak Isalami (berontak, penumpahan darah dan merasa benar sendiri) yang terjadi zaman dulu itu kini diwarisi oleh orang-orang yang mengaku dirinya sebagai pembela Islam, orang yang merasa “saya lah yang paling benar”-yang lainnya salah”, orang-orang yang beraliran garis keras-fundamentalisme, yang berjubah-yang sok-sok Islami, padahal hati dan tingkah-lakunaya sunggug-sungguh jauh di balik ajaran atau syare’at Islam.
Pak Quraish Shihab, dalam pengertian apakah Ukhuwwah Islamiyyah itu di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia seperti apa, apaka “Persaudaraan antarsesama Umat Islam” atau “Persaudaraan yang bersifat Islam” atai “Persaudaraan secara Islam”. Beliau lebih memilih penerjemahan yang terakhir itu. Yakni “Persaudaraan secara Islam”. Karena lebih ramah sifatnya, dan kemudian dijadikan bahasa dalam pembangunan, “Kerukunan intern umat Islam”. Dimana ini merupakan bagian dari ajaran Ukhuwwah Islamiyyah.
Ukhuwwah sesuai dengan arti dasarnya “Persamaan” dalam Qur’an dan Hadits tercermin dalam 4 (empat) macam, pak Quraish membaginya. Yaitu: Pertama, Ukhuwwah fi al-‘ubudiyyah, yakni persaudaraan yang terjadi atau terjalin antara seluruh mahluk yang ada di dunia ini. Semuanya bersaudara, dalam artian ada persamaan meskipun dalam sifat. Semakin banyak persamaannya antara yang satu dengan yang lainnya, maka semakin kokoh pula persaudaraan itu. Persaudaraan yang didasari oleh rasa dan cinta merupakan faktor yang paling dominan dalam hal persaudaraan.
Kedua, Ukhuwwah fi al-Insaniyyah, yakni persaudaraan yang melibatkan manusia di seluruh dunia ini. Persaudaraan karena disebabkan keturunan, yakni dari keturunan Bapak dan Ibu yang satu. Ini merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa diutak-atik lagi keberadaannya. Ketiga, Ukhuwwah fi al-Wathaniyyah wa al-Nasab, yakni persaudaraan yang dikarenakan satu negara atau satu keturunan kandung (senasab). Ini merupakan hal yang biasa dan mesti terjadi selama masih waras. Keempat, Ukhuwwah fi din al-Islam, yakni persaudaraan yang terjadi hanya sesama muslim saja. Yang mana ini merupakan ajaran kahusus Tuhan dan Nabinya yang dilimpahkan kepada semua mahluknya di Dunia ini. Di mana hidup di Dunia ini berdampingan dengan yang lainnya, oleh karena itu kita dituntut untuk menghormati dan mengasihi kenyamanan terhadap yang lainnya. Juga dituntut saling ngerti dan ngertiin, saling kasih mengasihi-mengutamakan yang lainnya apabila mereka memerlukannya, walaupun diri kita kekurangan (QS; 59:9).
Bagaimana sikap kita agar persaudaraan itu tetap terjaga?
Bagaimana pun dan apa pun itu harus ada kewaspadaaan dan trak-trik agar sesuatu itu bisa terjaga dan tetap langgeng. Persaudaraan merupakan satu “pusaka” yang sangat rentan sekali akan “virus” atau “kabar angin”. Kalau kita tidak bisa menjaganya kita akan terbunuh olehnya. oleh karena itu langkah-langkah untuk menjaga persaudaraan ini sangat penting. Bahkan nabi pun sangat ditekan oleh Tuhan untuk bisa mengertiin apa yang di rasakan oleh orang lain. Ini apa maksudnya kalau bukan karena semata-mata persaudaraan itu tetap langgeng dan kokoh. Dan cara memelihara persaudaraan itu secara tidak langsung telah diajarkan oleh Tuhan dalam semua ayatnya yang ada dan tersebar di Dunia ini. Baik yang tertulis atau pun yang tidak tertulis. Sedang yang tertulis dalam al-Qur’an sedikitnya disebutkan dalam surat ke 49: 9-13. tatacara bagaimana kita seharusnya memelihara persaudaraan itu biar tetap kokoh. Dan inilah yang sering di sitir oleh Cak Nur dalam berbagai da’wahnya.
Butir-butir penjaga itu berbunyi:
(1). Mendamaikan antara dua kelompok yang bertikai.
(2). Harus adanya sikap saling menghormati, dengan tidak adanya sikap merendahkan golongan yang lainnya.
(3). Harus mempunyai sikap rendah hati, dan mengakui bahwa dirinya salah dan orang lain ada benarnya.
(4). Dilarang menghina sesama kaum beriman.
(5). Dilarang memberi nama ejekan kepada orang lain, apalagi yang tidak di senangi.
(6). Menjauhkan dari sifat perasangka buruk terhadap orang lain.
(7). Dilarang mencari kesalahan orang lain.
(8). Dilarang berbuat umpat, yakni membicarakan orang lain ketika orang yang dibicarakan itu tidak ada di tempat itu.
(9). Kita diseru untuk selalu bertaqwa kepada Tuhan. Merasa bahwa kita selalu diawasi.
(10). Kita dilarang membagi-bagi tingkatan manusia karena askriptif atau kenisbatan.
(11). Menghindarkan diri saling menghina atau memperolok-olok yang lainnya (Qs,49:11).
Itulah sedikitnya trik-trik untuk menjaga persaudaraan kita biar tetap langgeng. Yang terpenting dari semua itu ialah untuk tidak memastikan bahwa diri kita lah yang paling benar dan orang lain salah. Kita di tuntut untuk mempunyai sikap cadangan untuk mengakui bahwa mungkin orang lain itu benar. Menghilangkan sikap “Saya pasti benar dan orang lain pasti salah”. Itulah yang terpenting meski yang lainnya tidak kalah penting. Kita harus mempunyai sikap seperti apa yang di ungkapkan oleh Imam Hanafi, bahwa “Saya benar, tapi bisa salah; dan orang lain salah tapi bisa benar”.
Nabi bersabda yang telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari sahabat Ibn Umar, yang berbunyi: “Seorang Muslim bersaudara dengan Muslim yang lainnya. Ia tidak menganiyayanya, tidak pula menyerahkannya pada musuh. Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi pula kebutuhannya. Siapa yang melapangkan satu kesulitan orang Muslim, Allah akan melapangkan pula satu kesulitan dar kesulitan-kesulitan yang dihadapi di hari kemudian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar