Sabtu, 27 September 2008

SIYASAH DAN QANUN DUSTURIYAH (POLITIK DAN HUKUM TATA NEGARA)

SIYASAH DAN QANUN DUSTURIYAH
(POLITIK DAN HUKUM TATA NEGARA)

A. Pendahuluan
Politik secara etimologi berasal dari bahasa Inggris yaitu politic. Sedangkan dalam bahasa Arab berasal dari kata sasa/yasusu yang berarti mengatur, memelihara. Adapun secara terminologi diantaranya :
1. Endang Saifuddin Anshari, mengatakan bahwa politik adalah kemahiran menggunakan kekuatan untuk mencapai tujuan kekuasaan dalam negara dan institusinya.
2. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, politik adalah pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang sistem pemerintahan dan dasar pemerintahan).

Berdasarkan definisi diatas, ilmu politik merupakan ilmu yang membahas tentang pengaturan negara, yang meliputi wilayah kekuasaan elit politik yang ada di eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Sedangkan hukum diartikan sebagai peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang di dalam masyarakat yang mempunyai sanksi yang bisa dipaksakan. Hukum ini lahir untuk mengatur dan menyelaraskan pelaksanaan kepentingan yang berbeda-beda diantara anggota masyarakat.
Sedangkan negara adalah organisasi tertinggi diantara satu kelompok atau beberapa kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam sebuah wilayah/daerah, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Pengertian negara yang demikian mencakup pengertian konstitutif dari sebuah negara, sehingga dari rumusan ini dapat dikemukakan adanya unsur-unsur konstitutif sebuah negara, yaitu:
1. adanya negara
2. adanya daerah
3. adanya pemerintahan yang berdaulat.

Selain itu ada unsur lain yang bagi adanya negara yakni adanya pengakuan dari negara lain. Unsur yang lain ini dikenal dengan istilah “deklaratif’.

Dari rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa hukum tata negara adalah sekumpulan peraturan hukum yang mengatur organisasi dari negara, hubungan antara alat perlengkapan negara dan hak asasi manusia, dalam satu wilayah tertentu dengan pemerintahan yang berdaulat.

B. Siyasah dan Qanun Dusturiyah (Politik dan Hukum Tata Negara)
1. Pemimpin dan Perangkat Eksekutif
Kata-kata ulil amri dan umara digunakan masing-masing dalam al-Qur’an dan hadis untuk menyatakan lembaga eksekutif. Berkaitan dengan pernyataan tersebut, Imam Ath-Thabari, Ibnu Arabi, Al-Baidhawi, Abdul Qodir Audah, Al-Maraghi dan Muhammad Ali Ash-Shobuni, mereka berpendapat bahwa ulil amri dalam suatu negara Islam bisa berarti pemerintahan dengan raja atau amir atau khalifah sebagai kepala pemerintahan, jadi ulil amri sebagai kepala pemerintahan, jadi ulil amri berfungsi sebagai lembaga eksekutif dengan kepala negara sebagai ketuanya. Menurut Muhammad Asad (Leopold Weiss) dari segi eksekutif ulil amri adalah kepala negara dalam kedudukannya dalam pemerintahan. Oleh karena itu, amir harus mempunyai kekuasaan eksekutif dalam arti luas.

Yang menjadi dasar pernyataan di atas dan segala yang menyangkut prinsip pokok di dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat adalah firman Allah SWT yang berbunyi:

ياأيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولى الأمر منكم فإن تنازعتم في شيئ فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلا
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisa:59).

Berkenaan dengan ayat diatas, menyangkut persoalan kekuasaan eksekutif, Al-Maududi mengemukakan bahwa kekuasaan eksekutif haruslah dibatasi dengan hukum Allah SWT, diikat dengan undang-undang Allah dan rasul-Nya, yaitu undang-undang yang tidak boleh dilampaui dengan memilih suatu politik atau mengeluarkan suatu hak yang dapat digolongkan sebagai maksiat atau pembangkangan terhadap konstitusi ini, maka ia kehilangan haknya untuk menuntut ketaatan rakyat kepadanya.

Kekuasaan eksekutif baik dilihat dari sudut historis maupun nilai-nilai pada negara Islam pertama didirikan oleh Rasulullah SAW yang sekaligus menjabat sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan atau pemimpin eksekutif, yang kemudian pada masa khalifah dipimpin oleh para khalifah didalam menyelenggarakan negara Islam pertama itu.

Setiap kali kita membahas masalah kekuasaan eksekutif dalam negara Islam, maka kita berbicara tentang masalah khalifah atau imam sebagai pimpinan eksekutif dengan segala seluk beluknya, mulai dari pengertian, kriteria, dan cara pemilihan serta tugas dan pertanggung jawaban, sampai pada pembangkangan yang harus dilakukan oleh rakyat terhadap kebijaksanaan pemerintah yang menyimpang, oleh karena itu di dalam pembahasan kekuasaan eksekutif menurut teori dan praktek negara Islam yang pertama dibahas adalah pengertian istilah khalifah dan imam.

Berikut adalah istilah khalifah atau imam yang termuat dalam al-Qur'an dan hadis. Menurut al-Qur'an istilah khalifah yang terdapat dalam beberapa surat, antara lain:

وإذ قال ربك للملائكة إني جاعل في الأرض خليفة قالوا أتجعل فيها من يفسد فيها ويسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك قال إني أعلم ما لا تعلمون
Artinya:
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (Q.S. Al-Baqarah/2:30)

هو الذي جعل خلائف في الأرض فمن كفر فعليه كفره ولا يزيد الكافرين كفرهم عند ربهم إلا مقتا ولا يزيد الكافرين كفرهم إلا خسارا
Artinya:
"Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barang siapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekkafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka." (Q.S. Al-Fathir/35:39).

Kata khalifah yang terkandung dalam surat Al-Baqarah ayat 30 mempunyai arti wakil Tuhan di atas bumi, yakni nabi Adeam AS. Karena itu, Adam dan semua anak keturunannya diserahi tugas oleh Allah SWT untuk mengurus dan mengatur segala sesuatu yang ditetapkannya.
Sedangkan khalifah dalam surat al-Fathir ayat 39 ditujukan kepada umat Islam sebagai pengganti orang-orang terdahulu dari mereka yang pernah menjadi penguasa di planet bumi ini, sesuai dengan ayat 55 dalam surat An-Nur yang berbunyi:

وعد الله الذين آمنوا منكم وعملوا الصالحات ليستخلفنهم في الأرض كما استخلف الذين من قبلهم وليمكن لهم دينهم الذي ارتضى لهم وليبدلنهم من بعد خوفهم أمنا يعبدونني لا يشركون بي شيئا ومن كفر بعد ذلك فأولئك هم الفاسقون
Artinya:
"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barang siapa yang tetap kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (Q.S. An-Nur:55).

Adapun istilah khalifah yang disebutkan dalam hadis antara lain:

خلافة النبوة ثلاثون سنة ثم يوتي الله الملك من يشاء وملك من يشاء
Artinya:
"Khalifah kenabian itu tiga puluh tahun, kemudian Allah memberi kerajaan kepada siapa saja yang dikehendakinya, dan pada siapa-siapa yang dikehendakinya."

عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهتدين
Artinya:
“Hendaklah kamu berpegang teguh pada sunnatullah dan sunnah khalifah yang mengerti petunjuk yang benar” (HR. Abu Dawud)

كانت بنوا إسرائيل تسوسهم الأنبياء كلما ملك نبى خلفه نبى وإنه لا نبى بعدي وسيكون بعدي خلفاء فيكثرون
Artinya:
"Kaum Bani Israil (yahudi), apakah kenegaraan mereka dipimpin oleh para nabi, setiap meninggal seorang nabi, dia digantikan oleh nabi yang setelahnya, sesungguhnya tidak ada nabi yang akan menggantikan kedudukanku, yang bakal ada hanyalah khalifah. Khalifah (kepala negara) yang jumlahnya mereka sangatlah banyak." (HR. Bukhari dan Muslim).

Mengenai istilah khalifah, para ulama dan sarjana muslim memberikan pengertian sebagai berikut:
a. Imam Izzuddin bin Abdussalam menyatakan "khalifah ialah pemimpin umum mengenai urusan agama dan dunia Muhammad SAW.
b. Imam Abul Hasan al-Mawardi memberikan rumusan "khalifah-khalifah adalah pengganti nabi Muhammad SAW untuk memelihara agama dan siasat dunia.
c. Syekh Muhammad Farid Wajdi mengatakan khalifah adalah pemimpin keagamaan dan keduniaan. Jabatan ini lahir pada masa sesudah Rasulullah wafat.
d. Muhammad Rasyid Ridho mengatakan bahwa perkataan khalifah, imamah dan imarah dari kaum muslimin adalah tiga pernyataan yang sama. Artinya, yaitu pemerintahan Islam yang meliputi kepentingan keagamaan dan keguniaan.
e. Abdul Qodir Audah berpendapat khalifah itu pemimpin umum mengenai urusan agama dan dunia sebagai pengganti kedudukan nabi Muhammad SAW.
f. Abul A'la al-Maududi menulis khalifah menurut kamus bahasa Arab berarti perwakilan (representation). Posisi dan tempat manusia di muka bumi ini adalah posisi khalifah atau wakil Tuhan (Vice gerent) manusia adalah wakil Tuhan di bumi ini.
Berdasarkan ketentuan Al-Qur'an dan hadis serta pendapat para ulama dan cendekiawan muslim dapat kita simpulkan sebagai berikut:
a. Umat manusia di atas bumi ini secara keseluruhan berfungsi sebagai khalifah Tuhan, selama mereka konsisten dengan hukum-hukum yang diturunkan Tuhan kepada mereka.
b. Semua nabi sejak nabi Adam AS hingga Nabi Muhammad SAW disamping berfungsi sebagai nabi dan rasul, juga sebagai khalifah.
c. Umat Islam secara keseluruhan berhak menjadi khalifah sebagai satu-satunya golongan yang konsisten dengan hukum-hukum Allah dibandingkan dengan golongan lainnya.
d. Setelah Rasulullah wafat maka fungsi dan tugas khalifah berpindah kepada umat Islam. Khususnya umat Islam yang menonjol yaitu para sahabat Nabi terdekat.
e. Khalifah-khalifah akan lahir dikalangan umat Islam setelah Rasulullah wafat.
f. Khulafaurrasyidin: Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib adalah khalifah teladan setelah Rasulullah.
g. Khalifah bertugas mengemban amanat Tuhan dan kaum muslimin yang memilihnya baik ukhrawi maupun duniawi.
h. Khalifah dilihat dari sudut ilmu negara dan politik mempunyai pengertian yang sama dengan kepala negara sekaligus sebagai pemimpin eksekutif.
Di samping istilah khalifah bagi pimpinan eksekutif terdapat pula istilah imam dalam pengertian yang hampir bersamaan maksudnya. Istilah imam ini kita peroleh dari pendapat ulama dan sarjana muslim. Hadis nabi Muhammad SAW yang menerangkan mengenai istilah imam, antara lain sebagai berikut:
الإمام ظل في الأرض
Artinya:
"Seorang pemimpin adalah pelindung Allah di bumi" (HR. Tirmidzi, Ahmad Thabrani)
أحب الخلق إلى الله أمام عادل

Artinya:
“Makhluk yang paling dicintai Allah adalah imam yang adil” (Hadis dalam musnad Imam Ahmad dan Hanbal)

سبعة يظلهم الله يوم لاظل إلا ظله أمام عادل
Artinya:
"Ada tujuh golongan yang diberikan perlindungan oleh Allah pada hari yang tidak ada perlindungan siapapun selain perlindungannya" (HR. Bukhari Muslim).

Para ulama dan sarjana muslim merumuskan pengertian imam antara lain sebagai berikut:
1. Di dalam buku Arnal Matholia disebutkan "imam yaitu sebagai pengganti rasul untuk menegakkan agama dan siasat dunia.
2. Imam Abu Hasan Al-Mawardi mengemukakan bahwa imamat dengan artian presidenship di dalam pharseologi politik modern adalah menjadi pokok atau dasar dimana undang-undang dan peraturan masyarakat didirikan, lebih lanjut ia mentiadakan imam atau khalifah berkewajiban memelihara kepercayaan dan menegakkan keadilan antara sesama manusia sehingga tidak dapat sewenang-wenang antara yang satu dengan yang lainnya.
3. Mahmud bin Umar Al-Zamakhsyari menegaskan bahwa eksistensi imamah adalah untuk menolak kezaliman. Imam berfungsi sebagai panutan, penyeru kebajikan dan sebagai pemerintah, karena itu ia wajib memerintahkan dan menegakkan keadilan dan kebenaran dan menumpas kemunkaran.
4. Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa fungsi imam hanyalah untuk mengkoordinasikan dan menjalankan disiplin dalam masyarakat.
5. Muhammad Rasyisd Ridho menyatakan kepala pemerintahan adalah imam (khalifah) yang melaksanakan undang-undang.
Atas dasar ketentuan hadis dan pendapat para ulama dan sarjana muslim tersebut dapat disimpulkan pengertian imam sebagai berikut:
a. Imam dalam pengertian umum berarti pemimpin di dalam kehidupan masyarakat Islam baik dalam kegiatan keagamaan maupun dalam bidang keduniaan.
b. Imam jika di lihat dari segi ilmu negara dan politik dalam pengertian khusus adalah pimpinan kekuasaan eksekutif atau kepala negara, dalam pengertian ini, imam sebagai khalifah.
Dari kedua istilah imam dan khalifah, jika dijadikan atau digunakan untuk pimpinan kekuasaan eksekutif adalah sebagai kepala negara. Istilah khalifah untuk jabatan kepala negara telah dibakukan dan menjadi umum dalam sejarah Islam, pada masa pemerintahan khulafaur Rasyidin, semua pimpinan kekuasaan eksekutif pada zaman khulafaur Rasyidin menggunakan istilah khalifah, hanya Umar bin Khattab di dalam panggilan sehari-hari menggunakan istilah Amirul Mu'minin.
Karena luasnya tugas dan kewajiban seorang khalifah atau imam sebagai kepala negara sekaligus pimpinan eksekutif, yaitu menegakkan syari’at agama dan mengatur siyasah dunia, maka dalam pelaksanaan atau secara operasional adalah mustahil. Jika seorang khalifah atau imam dapat menjalankan tugas seorang diri, sehingga dia memerlukan para pembantu dan pegawai yang ditunjuk untuk melaksanakan berbagai tugas, seperti yang disebut dalam firman Allah:
واجعل لي وزيرا من أهلي. هارون أخي. اشدد به أزري. وأشركه في أمري


Artinya:
“Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku.” (QS. Thaha: 29-32)

Pada masalah kenabian, hal tersebut dibolehkan, apalagi dalam masalah khilafah. Karena itu, memilih menteri sebagai pembantu khalifah merupakan kewajaran yang dibolehkan. Oleh karena itu, mengangkat menteri menjadi pembantu dalam mengatur urusan negara lebih tepat dan efektif daripada menjalankannya sendirian. Dengan mengangkat menteri dan pejabat yang membantunya itu, ia dapat meminta laporan dan meneliti hasil kerja sang menteri dan para pejabat secara teliti dan dengan tindakan itu dapat dihindari kekeliruan dan kesalahan dalam menjalankan tugas kenegaraan.
Dalam masalah pembantuan tugas seorang kepala negara oleh para pembantunya atau yang dikenal dengan istilah menteri di dalam ketatanegaraan Islam disebut wazir. Para ulama fiqih mengatakan bahwa kementerian terbagi menjadi dua bagian, seperti yang dikemukakan oleh Al-Mawardi, kementerian ada dua macam : kementerian tafwidz atau perdana menteri adalah menteri yang diangkat oleh kepala negara untuk kemudian kepadanya diserahkan suatu bidang jabatan yang dapat ia atur menurut kebijakannya sendiri dan dia dapat membuat keputusan-keputusan menurut ijtihadnya sendiri. Atau dengan kata lain, menteri macam ini menguasai bidang perundang-undangan dan hukum serta mempunyai hak untuk mengurusi pelaksanaan tugas maupun penanganan keuangan, syarat-syaratnya cukup banyak diantaranya: adapun menteri tanfidz adalah berstatus hukum lemah dan syarat-syaratnya lebih sedikit karena wewenang jabatan itu terbatas pada menjalankan perintah dan kebijakan kepala negara, menteri itu berperan sebagai medium antara kepala negara, rakyat dan gubernur. Berdasarkan pengertian-pengertian dan macam-macam kementerian seperti di atas, maka dapatlah diketahui perbedaan antara menteri mandataris dan menteri eksekutif, baik dari segi persyaratan maupun dari segi hak berpendapat. Perbedaan dari segi persyaratan adalah sebagai berikut:
1. Kebebasan cukup dimiliki oleh menteri mandataris dan tidak dimiliki oleh menteri eksekutif.
2. Beragama Islam syarat utama menteri mandataris dan tidak disyaratkan penting untuk menteri eksekutif.
3. Mempunyai ilmu tentang hukum disyaratkan dalam menteri mandataris sedangkan menteri eksekutif tidak.
Adapun perbedaan dari segi hak-hak adalah sebagai berikut:
1. Menteri mandataris diperbolehkan mengambil hukum dan pandangan dalam mengambil keputusan dan tidak diperbolehkan bagi menteri eksekutif.
2. Menteri mandataris mempunyai hak prerogatif dalam mengangkat pemimpin di bawahnya, tidak demikian dengan menteri eksekutif.
3. Menteri mandataris diperbolehkan menggerakkan militer dan memimpin perang, tidak begitu halnya dengan menteri eksekutif.
4. Menteri mandataris diperbolehkan menggunakan keuangan negara sesuai dengan kebutuhan, tetapi menteri eksekutif tidak diperbolehkan.
Demikianlah hukum wizarah yang bermacam-macam yang merupakan pembantuan terhadap tugas kepala negara dalam Islam, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh ulama-ulama fiqih dan jikalau kita ingin membandingkan dengan sistem ketatanegaraan modern, maka wazir tafwidz hampir sama dengan perdana menteri, serta cakupan tugasnya lebih luas dari wazir tanfidz. Perdana menteri ini tidak boleh dua orang, karena dia merupakan wakil kepala negara.
Jadi, khalifah sebagai kepala negara sekaligus pimpinan eksekutif dalam memilih para menteri sebagai pembantunya dalam menjalankan tugas negara wajib memperhatikan kriteria-kriteria yang diatur oleh syariat Islam agar terhindar dari kesalahan yang dapat menimbulkan malapetaka di dalam kehidupan bernegara.
2. Anggota Legislatif dan yang Berhak Memilih Pemimpin
Lembaga legislatif atau lembaga perwakilan dikatakan juga al-shulthah al-tasyri’iyyah. Secara etimologis سلطة berarti kekuasaan dan التشريعية berarti pembuatan atau penetapan hukum atau syari’at Islam. Tegasnya, kekuasaan atau kewenangan pemerintahan Islam untuk menetapkan hukum yang akan diberlakukan dan dilaksanakan dalam masyarakat berdasarkan ketentuan yang telah diturunkan Allah SWT dalam syari’at Islam. Maka kekuasaan dalam membuat hukum (legislasi) das sein tidak boleh menyimpang dari ketentuan Allah Swt.
Dalam pembuatan dan penetapan hukum oleh negara, yang dilakukan oleh wulat al-‘amr, senantiasa bermuara pada prinsip musyawarah. Dimana musyawarah, secara syar’i diatur dalam al-Qur’an, sebagaimana firman Allah SWT.
"... وأمرهم شورى بينهم ..." ( الشورى : 38)
“… sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka …” (QS. 42:38)
"... وشاورهم في الأمر ... " ( العمران : 159)
“… dan bermusyawarah dengan mereka dalam urusan itu (negara) …” (QS. 3:159)

Musyawarah merupakan tolok ukur utama dalam menegakkan persoalan kemasyarakatan, pemerintahan dan kenegaraan. Dalam hal itu, Zainal Abidin mengatakan, “… untuk menunjukkan dasar pendirian pemerintahan yang dicita-citakan, maka dapat dibagi kepada: (1) adanya suatu pemerintahan rakyat yang berdasarkan permusyawaratan, (2) memiliki sumber-sumber pembentukan undang-undang, dan (3) menetapkan pembagian kekuasaan dalam pemerintahan negara.”
Maka dengan itu dapat dipahami bahwa, pada hakikatnya pemegang kekuasaan tertinggi (kedaulatan) negara adalah di tangan rakyat. Dimana rakyat mendelegasikan kekuasaannya kepada orang-orang yang ditunjuk menjadi wakil-wakil untuk membuat undang-undang.

3. Syarat-Syarat Kepala Negara
Kriteria calon seorang khalifah berbeda dengan seorang calon presiden atau raja bagi dunia sekuler. Kriteria pertama yang bersifat umum dan dasar yang tidak dapat kita jumpai di dunia politik di luar Islam, yaitu calon seorang khalifah tidak menunjukkan ambisi untuk menjadi seorang khalifah, baik sikap yang ditentukan dalam bentuk propaganda terbuka ataupun tersembunyi maupun dalam bentuk permohonan dengan jalan mencalonkan diri sendiri atau dengan kata lain, adalah tidak dibenarkan daya upaya seseorang untuk menduduki jabatan khalifah atau meraih kekuasaan dengan caranya sendiri.
Apabila ada tanda-tanda ambisi pada calon seorang khalifah, gugurlah haknya untuk menjadi calon dan kaum muslim dilarang untuk mencalonkan dan memilihnya. Ketentuan tentang kriteria dasar dan umum ini tertuang dalam hadis nabi Muhammad Saw yang berbunyi:
أن قوما دخلوا عليه فسألوه ولاية فقال: إنا لا نولى أمرنا هذا من طلبه
Artinya:
“Bahwa ada satu kamu yang datang kepadanya (Nabi Muhammad SAW), maka mereka menuntut kepada nabi Muhammad Saw suatu jabatan pimpinan, lantas nabi bersabda, bahwa kami tidak akan menyerahkan jabatan pimpinan ini kepada siapa yang menuntutnya”. (HR Bukhori Muslim).

Kriteria umum dan dasar ini bukan saja merupakan ketentuan-ketentuan syar’i, juga merupakan konvensi di dalam pencalonan khulafaur Rasyidin, sejak Abu Bakar menjadi khalifah pertama yang kemudian digantikan oleh Umar bin Khattab dan selanjutnya Usman bin Affan sampai Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah terakhir. Setiap khalifah diantara khulafaur Rasyidin telah memperoleh jabatannya sesuai dengan kaidah dan kriteria dasar dan umum, tidak seorangpun dari mereka berusaha untuk mencapai kekuasaan itu, tetapi mereka mencapai kekuasaan itu ketika kekuasaan itu datang dan diberikan kepadanya.
Setelah kriteria dasar dan umum tersebut terpenuhi sebagai prasyarat calon seorang khalifah, barulah kriteria lain diajukan. Dalam menentukan syarat-syarat serta kriteria seorang calon khalifah, sebaiknya dan seharusnya berorientasi kepada kriteria yang pernah ditetapkan dalam penentuan calon khalifah pertama pada masa pemerintahan khulafaur Rasyidin sebagai pedoman baku. Sebagai contoh Abu Bakar terpilih sebagai khalifah pertama karena ia adalah orang yang paling memenuhi kriteria untuk menjadi khalifah. Dari biografinya terdapat kriteria sebagai berikut:
a. Ia adalah orang dewasa laki-laki dan mempunyai kedudukan terhormat, ia adalah orang pertama yang masuk Islam.
b. Ia adalah orang pertama yang tidak mempunyai ikatan kekeluargaan dengan Rasulullah SAW dan mengorbankan harta kekayaannya untuk menegakkan Islam.
c. Ia adalah orang pertama yang senantiasa membenarkan setiap wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah SAW.
d. Ia adalah orang pertama yang menyiapkan segala keperluan dalam hijrah Rasulullah yang sangat berbahaya itu.
e. Ia adalah satu-satunya sahabat yang mendampingi Rasulullah dari Mekkah ke Madinah.
f. Ia adalah orang yang senantiasa ditunjuk menjadi Imam pada shalat jamaah apabila Rasulullah SAW berhalangan.
g. Ia adalah orang yang hidup dalam kesederhanaan seperti kehidupan Rasulullah SAW.
h. Ia adalah orang yang menguasai ilmu tentang syari’at Islam sebagaimana dibuktikan dalam sejarah.
Apabila data biografi Abu Bakar ini dituangkan dalam bentuk kriteria umum calon seorang khalifah, kita akan peroleh rumusan sebagai berikut:
a. Akidah harus murni dan bebas syirik
b. Ibadah harus benar dan tekun
c. Berakhlak mulia dan sederhana
d. Istiqomah dan tegar
e. Dedikasi pengorbanan Islam harus penuh
f. Berpengetahuan luas, khususnya tentang syari’at.
Calon khalifah secara prinsipil harus diajukan oleh rakyat, bukan oleh calon itu sendiri, rakyatlah yang harus meneliti kriteria tersebut terhadap diri seorang calon khalifah. Berikut adalah beberapa kriteria yang pernah diajukan oleh para ulama dan sarjana muslim.
1. Alfarabi mengajukan kriteria sebagai berikut:
a. Sempurna anggota badannya
b. Besar pengertiannya
c. Bagus tangkapannya
d. Sempurna ingatannya
e. Cakap dan bijak berbicara
f. Mencintai pengetahuan
g. Tidak hidup mewah dan berfoya-foya
h. Tidak serakah makan, minum dan hubungan seks
i. Cinta kebenaran dan benci kebohongan
j. Cinta keadilan dan benci kezaliman
k. Sanggup menegakkan keadilan
l. Mampu dalam penghidupan ekonomi
2. Al-Baghdadi menyatakan kriteria calon seorang khalifah sebagai berikut:
a. Berilmu pengetahuan
b. Berbuat jujur dan saleh
c.Bertindak adil dalam menjalankan segala tugas pemerintahan diri, berkemampuan mengelola administrasi
d. Berasal dari keturunan quraisy
3. Adapun Imam Al-Ghazali menyimpulkan segala syarat diatas dalam 4 syarat penting yaitu:
a. Kemammpuan bertindak
b. Kewibawaan
c. Jujur (wara)
d. Berilmu pengetahuan
Jika dari beberapa kriteria diatas dirumuskan menjadi beberapa kriteria baru, hal itu boleh saja sebagai hasil ijtihad kita sendiri, yang penting kriteria-kriteria tersebut harus konsisten dengan nilai-nilai Islam.

4. Hak dan Kewajiban Kepala Negara
Al-Mawardi menyebut dua hak imam, yaitu hak untuk ditaati dan hak untuk dibantu. Hak yang pertama menunjukkan bahwa ketika seseorang telah dibaiat menjadi seorang imam atau pemimpin, maka dengan sendirinya segala titah yang dikeluarkannya menjadi kewajiban masyarakat untuk ditaati. Oleh karenanya, syarat menjadi imam – sebagaimana disebutkan di muka – adalah kecerdasan intelektual, pintar, dan peka terhadap kondisi masyarakat. Ketika ada masalah yang mengharuskan seorang pemimpin mengeluarkan undang-undang atau aturan, maka dengan sendirinya rakyat harus patuh terhadap undang-undang tersebut. Melihat kondisi pemimpin yang cukup berat tanggung jawabnya ini, maka wajar kalau pemimpin memperoleh hak yang seimbang, artinya hak memperoleh bantuan, upah atas pekerjaannya tersebut.
Pada masa Abu Bakar ra., ada riwayat yang menyebutkan kalau beliau digaji 6.000 dirham setahun, dan menurut riwayat lain digaji 2.000 sampai 2.500 dirham. Walaupun ada perbedaan dalam jumlah upah atau gaji yang diberikan kepada Abu Bakar, ada satu prinsip bahwa kaum muslimin telah meletakkan penggajian kepada khalifah.
Adanya prinsip pemberian hak kepada pemimpin ini membawa konsekwensi logis bagi para pemimpin untuk melakukan kewajiban-kewajibannya sebagai seorang pemimpin.
Menurut al-Mawardi, kewajiban imam adalah sebagai berikut:
1. Memelihara agama, dasar-dasar yang telah ditetapkan dan apa-apa yang telah disepakati oleh umat Islam.
2. Mentafidzkan hukum-hukum diantara orang-orang yang bersengketa, dan menyelesaikan perselisihan, sehingga keadilan terlaksana secara umum.
3. Memelihara dan menjaga keamanan agar manusia dapat dengan tenteram dan tenang berusaha mencari kehidupan, serta dapat bepergian dengan aman, tanpa ada gangguan terhadap jiwanya atau hartanya.
4. Menegakkan hukum-hukum Allah, agar orang tidak berani melanggar hukum dan memelihara hak-hak hamba dari kebinasaan dan kerusakan.
5. Menjaga tapal batas dengan ketentuan yang cukup, agar musuh tidak berani menyerang dan menumpahkan darah muslim atau non muslim yang mengadakan perjanjian damai dengan muslim (mu’ahid).
6. Memerangi orang yang menentang Islam setelah dilakukan dakwah dengan baik-baik tapi mereka tidak mau masuk Islam dan tidak pula jadi kafir dzimi.
7. Memungut fay dan shadaqoh-shadaqoh sesuai dengan ketentuan syara’ atas dasar nash atau ijtihad tanpa ragu-ragu.
8. Menetapkan kadar-kadar tertentu pemberian untuk orang-orang yang berhak menerimanya dari baitul mal dengan wajar serta membayarkannya pada waktunya.
9. Menggunakan orang-orang yang dapat dipercaya dan jujur di dalam menyelesaikan tugas-tugas serta menyerahkan pengurusan kekayaan Negara kepada mereka. Agar pekerjaan dapat dilaksanakan oleh orang-orang yang ahli, dan harta negara diurus oleh orang-orang jujur.
10. Melaksanakan sendiri tugas-tugasnya yang langsung di dalam membina umat dan menjaga agama.
Yusuf Musa menambahkan kewajiban lain, yaitu: menyebarluaskan ilmu dan pengetahuan, karena kemajuan umat sangat bergantung kepada ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu keduniawian.
Dari uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kewajiban pemimpin adalah memenuhi hak-hak yang harus diterima masyarakat secara umum. Baik yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, hak berpendapat, hak memperoleh kehidupan yang layak, hak kebebasan dalam beragama, serta hal lain yang terkait dengan kebutuhan masyarakat.
Persoalan khilafat (kepemimpinan) dalam Islam sesungguhnya telah membuahkan hasil yang positif. Dengan adanya sistem tersebut paling tidak umat Islam bersatu dalam satu wadah kepemimpinan. Namun demikian, perlu dicatat bahwa penerapan khilafat juga tidak seluruhnya membawa sesuatu yang positif bagi kemajuan umat Islam, tapi juga berimplikasi negatif bagi kelangsungan kerajaan-kerajaan Islam yang jauh dari kekuasaan khalifah. Di samping itu, pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan ide nasionalisme di Turki saat yang pada akhirnya pada tahun 1926, Kemal at-Taturk menghapus sistem khalifah dan menggantikannya dengan sistem presidential, sebuah kepemimpinan yang lebih mengedepankan sistem demokrasi yang berkembang di Eropa saat itu.
Ide penghapusan khalifah di Turki merupakan cikal bakal lahirnya paham nasionalisme yang lebih banyak mengajarkan tentang sistem demokrasi seperti yang berkembang di Negara-negara Eropa. Adanya penghapusan sistem kepemimpinan dalam Islam (khilafat) saat itu menimbulkan sikap pro dan kontra di kalangan umat Islam. Reaksi yang paling keras terhadap tindakan penghapusan tersebut datang dari umat Islam Saudi Arabia. Pada tahun 1924 Syarif Husain, Amir Mekkah, mempelopori dibentuknya Dewan Khalifah, Anggota dewan terdiri dari 9 orang sayid dan 19 orang perwakilan dari Negar-negar Islam.
Sementara di Mesir, para ulama menuntut agar prosedur penunjukkan khalifah harus sesuai dengan hukum Islam dan mendapat persetujuan dari seluruh umat Islam. Untuk Rasyid Ridha, salah seorang ulama besar Mesir merintis diadakannya kongres dunia Islam dengan tujuan membicarakan masalah khilafah. Kongres tersebut dilaksanakan pada tahun 1926 di Kairo dengan mengundang wakil umat Islam dari seluruh dunia. Menurut Rasyid Ridha, Negara yang ideal adalah negara dalam bentuk kekhalifahan, yang dipimpin oleh seorang khalifah.
Hasil-hasil penting yang diputuskan dalam kongres khilafah antara lain:
1. Pertanyaan pengakuan akan pentingnya lembaga khalifah bagi umat Islam sebagai wadah pemersatu dan sekaligus sebagai upaya untuk mengagungkan kalimat Allah dan mempertahankan kejayaan Islam.
2. Merumuskan tugas-tugas khalifah, yakni: mempertahankan akidah tauhid, dan mengatur urusan duniawi sesuai dengan kebesaran Islam.
3. Mengatur urusan negara sesuai dengan wewenang yang diberikan kepadanya.
4. Mempertahankan daerah dan hak milik Islam.
Walaupun kongres khilafah telah tiga kali dilaksanakan untuk membicarakan persoalan khilafat dan kalau memungkinkan melegalkan kembali sistem khilafah dalam dunia Islam, namun sayang ide tersebut tidak membuahkan hasil. Ada beberapa alasan mengapa sistem khalifah tidak bias dilegalkan kembali, antara lain: pertama, dunia Islam terdiri dari beberapa negara yang memiliki kepentingan politik yang berbeda. Kedua, perkembangan ilmu pengetahuan secara tidak langsung telah mempengaruhi sedikit banyak cara berfikir umat Islam, termasuk dalam masalah kepemimpinan. Dan ketiga, hampir sebagian mayoritas negara-negara Islam pada saat terjadinya kongres khilafah sedang dijajah oleh negara-negara kolonial, sehingga sangat sempit ruang gerak mereka dalam membantu terbentuknya sistem kekhalifahan di dunia Islam.

5. Cara Pengangkatan Kepala Negara
Sebagian besar ulama dan sarjana muslim sependapat bahwa khalifah atau imam adalah pimpinan kekuasaan eksekutif harus diangkat melalui pemilihan baik secara langsung maupun melalui perwakilan rakyat yang sengaja disuarakan untuk hal tersebut. Al-Farabi menyatakan, kepala negara atau khalifah dengan kriteria-kriteria yang diajukan harus dipilih oleh rakyat.
Menurut Al-Baghdadi, bahwa tidak ada kesepakatan tentang tata cara pengangkatan kepala negara, apakah dengan sistem penunjukan atau pemilihan. Pada umumnya kelompok sunni, termasuk didalamnya khawarij dan mu’tazilah menetapkan dengan cara pemilihan. Ini dilakukan dengan cara ijtihad yang bertanggung jawab oleh mereka yang memenuhi syarat untuk melakukannya. Memilih seseorang yang pantas untuk menduduki jabatan itu. Tapi menurutnya boleh juga dengan penunjukan. Kemudian khalifah terpilih dibai’at oleh para pemilih sebagai bukti adanya kontrak diantara dua pihak. Tetapi ia tidak menjelaskan apakah bai’at para pemilih itu secara perwakilan dan apakah perlu bai’at.
Muhammad As’ad mengatakan tentang wakil pemerintahan, corak Islam disyaratkan dengan pilihan masyarakat sendiri, yang menyatakan dari kalanganmu dari potongan ayat أولي الأمر منكم . Di sini pelaksanaan syariat mengenai pimpinan negara terletak pada cara pemilihan pemimpin itu.
Imam Ghazali berpendapat bahwa kepala negara bukanlah seorang imam yang ma’sum, tetapi ia adalah seorang khalifah yang dipilih oleh rakyat secara legal. Dengan disaksikan oleh orang banyak. Kepala negara dinobatkan secara resmi.
Sedangkan Ibnu Taymiah mengatakan khalifah harus dipilh oleh wakil rakyat yang mempunyai kekuatan yang dibai’at bersama oleh mereka.
Abul A’la al-Maududi menyatakan dengan tegas bahwa badan eksekutif dengan khalifah sebagai pimpinannya harus dibentuk dengan jalan permusyawaratan, yaitu dengan pemilihan dan ini satu-satunya jalan yang dibenarkan.
Berdasarkan kenyataan sejarah didalam pemilihan empat khalifah teladan yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib bahwa prosedur dalam pengangkatan mereka sebagai khalifah adalah sebagai berikut:
1. Abu Bakar dipilih menjadi khalifah pertama melalui satu bidang Bani Sa’adah yang dihadiri oleh para tokoh kaum Anshar dan Muhajirin, yang diterima secara aklamasi, esok harinya bertempat di mesjid Nabawi dilakukan bai’at oleh rakyat. Dalam bai’atnya Abu Bakar menyatakan janjinya untuk konsisten dengan syari’at Islam dan setia membela rakyat.
2. Umar bin Khattab dipilih sebagai khalifah kedua berdasarkan pencalonan oleh khalifah Abu Bakar dan disetujui oleh anggota majelis syuro yang anggota-anggotanya terdiri dari tokoh kaum muhajirin dan Anshar, setelah Umar bin Khattab disetujui sebagai khalifah kedua, diadakanlah bai'at di Mesjid Nabawi dengan disertai pidato penyerahan tugas dan amanah oleh Abu Bakar kepada Umar bin Khattab. Seluruh rakyat yang hadir menyatakan kesetiannya kepada khalifah Umar bin Khattab.
3. Usman bin Affan dipilih sebagai khalifah ketiga adalah berdasarkan pemilihan yang dilakukan oleh tim formatur dan majelis syuro yang anggotanya ditunjuk oleh umar dan disetujui majelis syuro. Anggota formatur terdiri dari tokoh-tokoh kaum muhajirin dan anshar, mereka itu adalah Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Thalhah, Sa'adalah bin Waqqosh dan Abdurrahman bin Auf yang sekaligus sebagai ketua formatur. Tugas formatur itu ada dua macam: yang pertama bertugas melakukan lobing dan konsultasi baik sesama anggota formatur maupun terhadap keenam anggota formatur dan dipilih seseorang untuk menjadi khalifah. Abdurrahman bin Auf selaku ketua formatur melakukan pemilihan terhadap Ustman sebagai khalifah ketiga dan kemudian melakukan bai'at.
4. Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah keempat berdasarkan pemilihan yang dilakukan oleh sisa-sisa majelis syuro yang masih tinggal dikota Madinah. Upacara pembai'atan dilakukan di masjid Nabawi, yang kemudian tiga anggota majelis syuro yaitu: Zubair bin Awwam, Thalhah, Sa'ad bin Waqqash menolak untuk menyatakan janji setianya kepada khalifah yang baru, sikap ini dibenarkan oleh khalifah Ali bin Abi Thalib. Dalam peristiwa ini, terungkap fakta bahwa oposisi terhadap khalifah secara formal dibenarkan.
Dari fakta-fakta di atas, jika disimpulkan, maka diperoleh beberapa prinsip dasar dalam menentukan sistem pemilihan khalifah sebagai kepala pimpinan eksekutif yaitu:
a. Pemilihan khalifah dapat dilakukan oleh sekelompok atau lembaga masyarakat seperti majelis syuro yang anggotanya terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat dari berbagai golongan yang ada dalam masyarakat dan ditempuh melalui musyawarah yang bebas, jujur terbuka tanpa tekanan dari siapapun.
b. Calon khalifah dapat diajukan oleh seorang tokoh masyarakat atau segolongan masyarakat. Calon khalifah boleh satu orang atau lebih, asalkan ia memenuhi kriteria sebagai calon khalifah.
c. Teknis pencalonan dapat dilakukan secara langsung atau melalui formatur yang sengaja dibentuk untuk itu.
d. Upacara bai'at harus dilakukan secara umum dan dihadiri oleh seluruh rakyat, baik anggota majelis syuro maupun tokoh-tokoh masyarakat yang bukan anggota majelis.
e. Dalam upacara bai'at ini dibenarkan lahirnya ungkapan oposisi yang dilakukan secara formal dan damai sesuai peraturan permainan dalam musyawarah.
Dengan dasar seperti tersebut di atas, sistem pemilihan khalifah lebih cenderung berbentuk sistem perwakilan, yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil rakyat yang terpilih. Adapun lembaga perwakilan yang berfungsi seperti diatas, pada masa khulafaurrasyidin disebut majelis syuro. Dewasa ini, lembaga serupa itu disebut dewan legislatif. Para anggotanya terdiri dari ahlul halli wal aqdi adalah kelompok yang ahli dalam mengambil keputusan dan memberi pertimbangan yang sehat demi perkembangan umat. Golongan ini terdiri dari para ulama, cendekiawan muslim yang profesional pada bidangnya masing-masing dan tokoh masyarakat yang mempunyai kharisma.

C. Penutup
Berdasarkan uraikan makalah diatas maka penulis memberikan beberapa kesimpulan:
1. Istilah imam dan khalifah dijadikan atau digunakan untuk pimpinan kekuasaan eksekutif adalah sebagai kepala negara. Istilah khalifah untuk jabatan kepala negara telah dibakukan dan menjadi umum dalam sejarah Islam, pada masa pemerintahan khulafaur Rasyidin, semua pimpinan kekuasaan eksekutif pada zaman khulafaur Rasyidin menggunakan istilah khalifah, hanya Umar bin Khattab di dalam panggilan sehari-hari menggunakan istilah Amirul Mu'minin.
2. Lembaga legislatif atau lembaga perwakilan dikatakan juga al-shulthah al-tasyri’iyyah. Secara etimologis سلطة berarti kekuasaan dan التشريعية berarti pembuatan atau penetapan hukum atau syari’at Islam.
3. Kriteria umum calon seorang khalifah sebagai berikut:
a. Akidah harus murni dan bebas syirik
b. Ibadah harus benar dan tekun
c. Berakhlak mulia dan sederhana
d. Istiqomah dan tegar
e. Dedikasi pengorbanan Islam harus penuh
f. Berpengetahuan luas, khususnya tentang syari’at.
4. Hak imam yaitu hak untuk ditaati dan hak untuk dibantu. Sedangkan kewajiban imam adalah sebagai berikut:
a. Memelihara agama, dasar-dasar yang telah ditetapkan dan apa-apa yang telah disepakati oleh umat Islam.
b. Mentafidzkan hukum-hukum diantara orang-orang yang bersengketa, dan menyelesaikan perselisihan, sehingga keadilan terlaksana secara umum.
c. Memelihara dan menjaga keamanan agar manusia dapat dengan tenteram dan tenang berusaha mencari kehidupan, serta dapat bepergian dengan aman, tanpa ada gangguan terhadap jiwanya atau hartanya.
d. Menegakkan hukum-hukum Allah, agar orang tidak berani melanggar hukum dan memelihara hak-hak hamba dari kebinasaan dan kerusakan.
e. Menjaga tapal batas dengan ketentuan yang cukup, agar musuh tidak berani menyerang dan menumpahkan darah muslim atau non muslim yang mengadakan perjanjian damai dengan muslim (mu’ahid).
f. Memerangi orang yang menentang Islam setelah dilakukan dakwah dengan baik-baik tapi mereka tidak mau masuk Islam dan tidak pula jadi kafir dzimi.
g. Memungut fay dan shadaqoh-shadaqoh sesuai dengan ketentuan syara’ atas dasar nash atau ijtihad tanpa ragu-ragu.
h. Menetapkan kadar-kadar tertentu pemberian untuk orang-orang yang berhak menerimanya dari baitul mal dengan wajar serta membayarkannya pada waktunya.
i. Menggunakan orang-orang yang dapat dipercaya dan jujur di dalam menyelesaikan tugas-tugas serta menyerahkan pengurusan kekayaan Negara kepada mereka. Agar pekerjaan dapat dilaksanakan oleh orang-orang yang ahli, dan harta negara diurus oleh orang-orang jujur.
j. Melaksanakan sendiri tugas-tugasnya yang langsung di dalam membina umat dan menjaga agama.
5. Khalifah atau imam adalah pimpinan kekuasaan eksekutif harus diangkat melalui pemilihan baik secara langsung maupun melalui perwakilan rakyat yang sengaja disuarakan untuk hal tersebut.















DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Zainal Abidin, Membangun Negara Islam, Yogyakarta, Pustaka Iqra: 2001
__________________, Konsepsi Negara Bermoral, Jakarta: Bulan Bintang, 1975
Al-Maududi, Abul A’la, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Bandung: Mizan, 1993
__________________, Khilafah dan Kerajaan, Bandung: Mizan, 1984
Al-Mawardi, Abu Hasan, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah wa Wilayatuh al-Diniyah, Mustafa al-Asabil Halabi
____________________, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan Dalam Takaran Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2000
A. Jazuli, Fiqh Siyasah, Jakarta: Prenada, 2003
Anshari, Endang Saifuddin, Wawasan Islam, Pokok-Pokok Pikiran Tentang Islam dan Umatnya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993
As’ad, Muhammad, Masalah Kenegaraan dalam Islam., Jakarta: Yayasan Kesejahteraan Bersama, Tt
As-Shidiqi, M. Hasbi, Islam dan Politik Bernegara, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2002
Djaelani, Abdul Qodir, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, Surabaya: PT Bina Ilmu
Lewis, Bernard, Bahasa Politik Islam, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994, Penerjemah, Ihsan Ali Fauzi
Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2001
Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, Pustaka Progresif, tanpa tahun
Musa, Yusuf, Nidham al-Hukum fi al-Islam, Darul Kitabil Arabi, al-Qahirah, 1963
Pulungan, Suyuthi, Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997
Rais, Dhiauddin, Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2001
Salim, Abdul Mu'in, Fiqh Siasah, Konsep Kekuasaan Politik dalam Al-Qur'an, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995
Sherwani, Harun Khan, Islam Tentang Administrasi Negara, Jakarta: Tinta Mas, 1964
Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam, Jilid 2, edisi revisi, tahun 2002
Tim Bahasa Depdikbud, Kamus Besat Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TEMUKAN MAKALAH/ARTIKEL YANG ANDA CARI DI SINI:
Custom Search

Posting Terkini