Sabtu, 27 September 2008

FILSAFAT PRA-SOCRATES

MAKALAH KULIAH FILSAFAT PRA-SOCRATES

Filosuf yang hidup pada masa pra Socrates disebut para filosuf alam karena objek yang mereka jadikan pokok persoalan adalah alam. Yang dimaksud dengan alam (fusis) adalah kenyataan hidup dan kenyataan badaniah. Jadi, perhatian mereka mengarah kepada apa yang dapat diamati.[1]
Tokoh-tokoh yang hidup pada masa ini di antaranya adalah:

1. Thales (625-545 SM)
Thales adalah seorang saudagar Mesir yang juga ahli politik yang terkenal di Miletos. Ia dianggap sebagai bapak filosufi Yunani karena ia merupakan orang pertama yang berfilsafat. Ia mengajukan pertanyaan yang amat mendasar: What is the nature of the world stuff? (Apa sebenarnya bahan alam semesta ini?) (Mayer, 1950:18).[2]

Kesimpulan ajarannya adalah semuanya itu air. Air yang cair itu adalah pangkal, pokok dan dasar segala-galanya. Baginya, air adalah sebab yang pertama dari segala yang ada dan jadi, tetapi juga akhir dari segala yang jadi itu. Dengan kata lain, filosofi air adalah substrat (bingkai) dan substansi (isi) kedua-duanya.

2. Anaximandros (610-547 SM)
Anaximandros adalah salah satu murid Thales. Ia ahli astronomi dan ilmu bumi. Menurutnya, prinsip dasar alam adalah apeiron (zat yang tak terhingga dan tak terbatas dan tidak dapat dirupakan, tak ada persamaannya dengan apapun. Segala makhluk hidup berasal dari proses penguapan air samudera oleh matahari.

3. Anaximenes (585-494 SM)
Anaximenes adalah murid Anaximandros yang merupakan filosuf alam terakhir dari kota Miletos. Baginya, barang yang asal itu satu dan tidak terhingga. Udaralah yang satu dan tidak terhingga. Ia mengatakan: “Sebagaimana jiwa kita, yang tidak lain dari udara, menyatukan tubuh kita, demikian pula udara mengikat dunia ini jadi satu”. Menurut pendapatnya, udara itu benda. Meskipun dasar hidup dipandangnya sebagai benda, ia membedakan pula yang hidup dan yang mati.
Pemikirannya adalah reaksioner. Ia mengkiaskan dunia dengan diri kita: “Sebagaimana ruh dan jiwa kita terdiri dari udara yang mengelilingi kita, begitu juga nafas dan udara mengepung dunia keseluruhannya”.ia beranggapan bahwa bumi berbentuk bulat dan terapung di atas udara dari segala penjuru seperti daun kering yang sedang beterbangan.

4. Pythagoras (580-500 SM)
Ia terpengaruh aliran mistik yang berkembang di Yunani pada waktu itu, yang bernama Orfisisme. Pythagoras mendidik kebatinan dengan mensucikan ruh. Menurut kepercayaannya, manusia asalnya adalah Tuhan. Jiwa itu adalah penjelmaan dari Tuhan yang jatuh ke dunia karena berdosa. Dan ia akan kembali ke langit ke dalam lingkungan Tuhan bermula, apabila dosanya sudah habis dicuci.
Ia beranggapan bahwa hakikat dari segala sesuatu adalah angka. Angka adalah asal dari segalanya dan segala macam perhubungan dapat dilihat dari angka-angka.

5. Heraklitos (540-480 SM)
Heraklitos menyatakan bahwa asal segala sesuatu hanyalah satu anasir yaitu api. Setiap orang dapat melihat sifatnya, mudah bergerak dan mudah bertukar tempat. Api yang selalu bergerak dan berubah rupa itu menyatakan bahwa tak ada yang tenang dan tetap yang ada hanya pergerakan. Tidak ada yang boleh disebut ada, melainkan menjadi. semuanya itu dalam kejadian. Api ini dipandang sebagai sejenis dengan roh. Sebab asas hidup adalah api juga. Itulah sebabnya api disebut logos (akal, firman, arti), yaitu hukum yang menguasai segala sesuatu, yang juga menguasai manusia segala sesuatu terjadi sesuai dengan logos. Manusia juga harus hidup sesuai dengan logos itu.3

6. Parmenides (540-473 SM)
Parmenides mengatakan bahwa kebenaran adalah satu, namun berbeda-beda dari orang yang mengatakannya. Ia menganggap bahwa di dunia tak ada barang barunya, tidak ada barang lahir keduanya, dan tidak ada barang menghilang dari dunia.
Parmenides dianggap sebagai bapak Logika karena ajarannya mengenai identitas antara pikiran dan barang untuk mana pikiran itu diadakan. Menurutnya, ukuran kebenaran adalah akal manusia; ukuran kebenaran adalah manusia.

Bagi Parmenides, bulat adalah tanda yang sempurna. Yang ada itu bulat, mengisi lapang. Pada yang bulat, tiap-tiap tepinya selesai, tidak ada yang berupa putus.

7. Leukippos (sekitar 540 SM)
Leukippos adalah ahli piker yang pertama kali mengajarkan tentang atom. Menurut pendapatnya tiap benda terdiri dari atom. Yang dipakai sebagai dasar teorinya tentang atom ialah: yang penuh dan kosong. Atom dinamainya sebagai yang penuh sabagai benda betapapun kecilnya dan bertubuh. Setiap yang bertubuh mengisi lapangan yang kosong.
Ia menyatakan tidak mungkinnya ada penciptaan dan pemusnahan mutlak, akan tetapi ia tidak menolak kenyataan banyak, bergerak, lahir ke dunia dan menghilang yang tampak pada segala sesuatu.

8. Demokritos (460-360 SM)
Demokritos adalah murid Leukippos. Menurut Demokritos, segala sesuatu mengandung penuh dan kosong. Menurutnya, anasir yang pertama adalah api. Api terdiri dari atom yang sangat halus, licin dan bulat. Atom api itulah yang menajdi dasar dalam segala yang hidup. Atom api adalah jiwa.

9. Sofisme
Sofisme berasal dari kata sofis yang berarti cerdik pandai kemudian berkembang artinya menjadi bersilat lidah.

Pokok-pokok ajaran kaum sofis adalah:
1. Manusia menjadi ukuran segala-galanya
2. Kebenaran umum (mutlak) tidak ada
3. Kebenaran hanya berlaku sementara
4. Kebenaran tidak terdapat pada diri sendiri
Dengan ajarannya tersebut, Sofisme tergolong aliran relativisme. Ajarannya mempunyai pengaruh positif dan negative pada waktu itu. Pengaruh positifnya yaitu melahirkan banyak orang terampil berpidato. Sedangkan pengaruh negative nya adalah menjadikan orang tidak bertanggung jawab atas ucapan-ucapannya, sebab apa yang dikatakan hari ini untuk sesuatu, bias saj auntuk hari esoknya berlainan dengan dali bahwa kebenaran hanyalan berlaku sementara.
Tokoh-tokoh Sofisme antara lain:
1. Hippias
Hippias adalah seorang Sofis murni yang beranggapan bahwa pengetahuannya harus dikembangkan kepada orang lain. Pandangan hidupnya didasarkan atas formula gagasan kepuasan diri sebagai tujuan dari kelakuan dan etika orang, tidak dengan cara sinis dalam ‘bebas dari hajat dan kebutuhan’ akan tetapi denagnn berusaha sekuat tenaga untuk tidak bergantung kepada orang lain dengan memenuhi segala apa yang menjadi hak-hak seseorang.
2. Gorgias (483-375 SM)
Gorgias adalah seorang skeptic yang tidak mengakui adanya pengetahuan. Ia tidak ada, sekalipun ada maka tidak dapat disampaikan kepada orang lain. Ia mengemukakan tiga dalil:
1. Tak ada sesuatu yang ada, ini tentu erat hubunngannya dengan teori perkembangan abadi dari Heraklitos.
2. Kalau ada sesuatu maka tentu ia tak dapat diketahui.
3. Kalau bisa diketahui ia tentu tak dapat disampaikan kepada orang lain.
Ia berpendapat bahwa hukum alam adalah hukum yang kuat: ‘Adalah hukum alam bahwa yang kuat seharusnya tidak dihalang-ha;angi oleh yang lemah. Yang lemah diperintah dan dipimpin oleh yang kuat.; yang kuat berjalan di muka dan yang lemah mengikuti dari belakang’.

10. Zeno (sekitar 490 SM)
Zeno adalah salah satu murid Parmenides. Ia mempertahankan pendapat gurunya tidak denagn menyambung keterangan atau menambahkannya, melainkan dengan mengembalikan keterangan terhadap dalil-dalil orang-orang yang membantah pendapat gurunya.[3]
Menurutnya, diam adalah bila suatu benda pada suatu saat berada di suatu tempat.[4]


DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Sadali, Filsafat Umum, Pustaka Setia: Bandung, 2004
Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1,Penerbit Kanisus: Yogyakarta, 1980
Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat umum, Rosda: Bandung, 2007.
[1] Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1,Penerbit Kanisus: Yogyakarta, 1980, hal. 16
[2] Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Rosda: Bandung, 2007

[4]Ahmad Sadali, Filsafat Umum, Pustaka Setia: Bandung, 2004
-----------------
[1] Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994), (Penerjemah, Ihsan Ali Fauzi), Cet ke-1, h.177
[1] Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, Pokok-Pokok Pikiran Tentang Islam dan Umatnya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993) Cet ke-4, h. 158
[1] Tim Bahasa Depdikbud, Kamus Besat Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), Cet ke-7, h. 780
[1] Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), Cet Ke-2, h. 63
[1] Ibid
[1] Ibid
[1] Abul A’la Al Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam (Bandung: Mizan, 1993), Cet ke-2, h. 247
[1] Abdul Qodir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1998), Cet ke-1, h. 104
[1] Muhammad As'ad, Masalah Kenegaraan dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Kesejahteraaan Bersama, Tt)., h. 54
[1] Abul A’la Al Maududi, Khilafah dan Kerajaan, (Bandung: Mizan, 1984), Cet ke-1, h. 73
[1] Abdul Qadir Djailani, Op.Cit., h. 151
[1] Abdul Qodir Djaelani, Ibid, h. 153
[1] Harun Khan Sherwani, Islam Tentang Administrasi Negara, (Jakarta: Tinta Mas, 1964), h. 94-95
[1] Abdul Mu'in Salim, Fiqh Siasah, Konsep Kekuasaan Politik dalam Al-Qur'an, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), Cet ke-2, h. 10-11
[1] Abdul Qodir Djaelani, Op.Cit., h. 156
[1] Abdul Qodir Djaelani, Op.Cit., h. 167
[1] Imam Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan Dalam Takaran Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), Cet ke-1, h. 48-49
[1] Ibid., h. 48-49
[1] Ibid., h. 48
[1] Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), Cet ke-2, h. 205
[1] Al-Mawardi, Op.Cit., h. 56
[1] Dhiauddin Rais, Op.Cit., h. 219
[1] M. Hasbi As-Shidiqi, Islam dan Politik Bernegara, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2002), Cet ke-1, h. 124
[1] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Pustaka Progresif, tanpa tahun), h. 694
[1] Zainal Abidin Ahmad, Membangun Negara Islam, (Yogyakarta, Pustaka Iqra: 2001), Cet , I, h. 95-96
[1] Abul A’la Al-Maududi, Op.Cit., h. 31
[1] Abdul Qodir Djaelani, Op.Cit., h. 160
[1] Abdul Qodir Djaelani, Op.Cit., h. 161
[1] Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), Cet ke-3, h. 253
[1] Zainal Abidin Ahmad, Konsepsi Negara Bermoral, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), Cet ke-1, h. 293
[1] Abu Hasan Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah wa Wilayatuh al-Diniyah, Mustafa al-Asabil Halabi, h. 17
[1] A. Jazuli, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Prenada, 2003), edisi revisi, h. 94
[1] Al-Mawardi, Op.Cit., h. 17
[1] Yusuf Musa, Nidham al-Hukum fi al-Islam, Darul Kitabil Arabi, al-Qahirah, 1963, h. 96
[1] Lihat Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam, Jilid 2, edisi revisi, tahun 2002, h. 643-644
[1] Abdul Qodir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1998), Cet ke-1, h. 162
[1] Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), Cet ke-3, h. 243-244
[1] Muhammad As’ad, Masalah Kenegaraan dalam Islam., (Jakarta: Yayasan Kesejahteraan Bersama, Tt), h. 33
[1] Zainal Abidin Ahmad, Konsepsi Negara Bermoral, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), Cet ke-1, h. 290
[1] Abdul Qodir Djaelani, Op.Cit., h. 162

[1] Abdul Qodir Djaelani, Op.Cit., h. 164-165
[1] Abdul Qodir Djaelani, Op.Cit., h. 165

.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TEMUKAN MAKALAH/ARTIKEL YANG ANDA CARI DI SINI:
Custom Search

Posting Terkini