Sabtu, 27 September 2008

SEJARAH QAWA’ID FIQHIYYAH PERTUMBUHAN, PERKEMBANGAN, DAN PENYEMPURNAAN

Pendahuluan

Pada makalah ni kami akan membahas tentang sejarah qaidah fiqh, mulai dari pertumbuhan, perkembangn hingga penyempurnaan secara ringkas. Dimana secara keseluruhan hanyalah berbentuk ikhtisar dan kutipan yang di ambil dari buku Sejarah Qaidah Fiqhiyyah karangan Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA (dicetak oleh Radar Jaya Offset 2004)

Sejarah qawa’id fiqhiyyah sebenarnya tidak terlepas dari masa terdahlu, yaitu pada maa Nabi Muhammad saw dan setelah wafatnya beliau, masa Sahabat, dan masa Tabi’in. berikut akan dijelaskan mulai dari pertumbuhan, perkembangan, hingga penyempurnaannya[1].

A. Masa Pertumbuhan
· Periode Nabi Muhamad saw
Pada periode ini, tidak ada spesialisasi ilmu tertentu yang dikaji dari Al Qur’an dan Al Hadits. Semangat Sahabat sepenuhnya dicurahkan kepada jihad dan mengaplikasikannya apa yang diperoleh dari Nabi, berupa ajaran Al Qur’an dan Al Hadits. Ilmu pengetahuan hanya berkisar pada masalah qira’ah dan mendengarkan hadits-hadits Nabi, serta mengaplikasikan dan mengembangkan hokum-hukum yang telah ditetapkan oleh Nabi ketika menghadapi persoalan-persoalan yang baru.[2]

Artinya pada masa Nabi ini setiap ada permasalahan yang muncul, oleh sahabat langsung ditanyakan kepada Nabi. Akibatnya ijtihad yang masih berada diantara benar atau salah tidak diperlukan. Akan tetapi[3] benih-benih kaidah sebenarnya sudah ada pada semenjak masa Nabi. Hadits-hadits Nabi yang membucarakan tentang hokum, banyak memaki pola qaidah umum yang artinya dapat mencakup dan menempung selurh persoalan-persoalan fiqh (Jawami’ al Kalim). Seperti hadits yang berbunyi;


Tidak boleh berbuat madhorat terhdap diri sendiri dan orang lain”


Luka hewan ternak adalah sia-sia.



Bukti dibebankan kepada pendakwa, sedangkan sumpah dibebankan kepada terdakwa”

Menurut par aahli fiqih, hadits-hadita diatas berbentukl ungkapan yang berpola qaidah fiqh. Walaupun hadits tersebut secara formal belum disebut kaidah tetapi tetap sebagai hadits saat itu, seperti, :

pinjaman adalah amanah

hutang harus dibayar


orang yang menjamin adalah penanggung


Hadits-hadits diatas memiliki aarti umum yang mencakup beberapa aspek hokum dan merangkul masalah-masalah yang bersifat subordinatif.

Berdasarkan uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa dari sekian ribu hadits terdapat hadits-haditsa yang memiliki karakter yang sama dengan kaidah fiqh yang keberadaannya sangat penting dalam ilmu fiqh.


Periode Sahabat Setelah Wafatnya Nabi saw
Pada periode ini pola pikir sahabat mulai mengalami transformasi kearah ijtihad, dimana dalam pengambilan hokumnya itu merujuk pada Al-qur’an dan sunnah. Hal ini disebabkan karma banyaknya persoalan baru yang tidak pernah terjadi pada masa Nabi. Kemudian pada periode inilah juga mencul penggunaan ra’yu, qiyas, ijma.[4]


Pendahuluan
Pada makalah ni kami akan membahas tentang sejarah qaidah fiqh, mulai dari pertumbuhan, perkembangn hingga penyempurnaan secara ringkas. Dimana secara keseluruhan hanyalah berbentuk ikhtisar dan kutipan yang di ambil dari buku Sejarah Qaidah Fiqhiyyah karangan Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA (dicetak oleh Radar Jaya Offset 2004)

Sejarah qawa’id fiqhiyyah sebenarnya tidak terlepas dari masa terdahlu, yaitu pada maa Nabi Muhammad saw dan setelah wafatnya beliau, masa Sahabat, dan masa Tabi’in. berikut akan dijelaskan mulai dari pertumbuhan, perkembangan, hingga penyempurnaannya[1].

A. Masa Pertumbuhan
· Periode Nabi Muhamad saw
Pada periode ini, tidak ada spesialisasi ilmu tertentu yang dikaji dari Al Qur’an dan Al Hadits. Semangat Sahabat sepenuhnya dicurahkan kepada jihad dan mengaplikasikannya apa yang diperoleh dari Nabi, berupa ajaran Al Qur’an dan Al Hadits. Ilmu pengetahuan hanya berkisar pada masalah qira’ah dan mendengarkan hadits-hadits Nabi, serta mengaplikasikan dan mengembangkan hokum-hukum yang telah ditetapkan oleh Nabi ketika menghadapi persoalan-persoalan yang baru.[2]

Artinya pada masa Nabi ini setiap ada permasalahan yang muncul, oleh sahabat langsung ditanyakan kepada Nabi. Akibatnya ijtihad yang masih berada diantara benar atau salah tidak diperlukan. Akan tetapi[3] benih-benih kaidah sebenarnya sudah ada pada semenjak masa Nabi. Hadits-hadits Nabi yang membucarakan tentang hokum, banyak memaki pola qaidah umum yang artinya dapat mencakup dan menempung selurh persoalan-persoalan fiqh (Jawami’ al Kalim). Seperti hadits yang berbunyi;


Tidak boleh berbuat madhorat terhdap diri sendiri dan orang lain”


Luka hewan ternak adalah sia-sia.



Bukti dibebankan kepada pendakwa, sedangkan sumpah dibebankan kepada terdakwa”

Menurut par aahli fiqih, hadits-hadita diatas berbentukl ungkapan yang berpola qaidah fiqh. Walaupun hadits tersebut secara formal belum disebut kaidah tetapi tetap sebagai hadits saat itu, seperti, :

pinjaman adalah amanah

hutang harus dibayar


orang yang menjamin adalah penanggung


Hadits-hadits diatas memiliki aarti umum yang mencakup beberapa aspek hokum dan merangkul masalah-masalah yang bersifat subordinatif.

Berdasarkan uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa dari sekian ribu hadits terdapat hadits-haditsa yang memiliki karakter yang sama dengan kaidah fiqh yang keberadaannya sangat penting dalam ilmu fiqh.


Periode Sahabat Setelah Wafatnya Nabi saw
Pada periode ini pola pikir sahabat mulai mengalami transformasi kearah ijtihad, dimana dalam pengambilan hokumnya itu merujuk pada Al-qur’an dan sunnah. Hal ini disebabkan karma banyaknya persoalan baru yang tidak pernah terjadi pada masa Nabi. Kemudian pada periode inilah juga mencul penggunaan ra’yu, qiyas, ijma.[4]


B. Masa Perkembangan
Terjadi pada masa tabi’in. bisa dikatakan pada masa ini adalah masa awal perkembangan fiqh. Dimana pada masa ini dimulai pendasaran terhadap ilmu fiqh. Karena para ulama-ulama fiqh atu para pembesar dan murid-muridnya memberikan pengarahan-pengarahan kepada kelompok masarakat yang mengkaji fiqh setiap mereka sehingga di suatu tempat. Adapun tokoh-tokohnya menurut Ibnu Qoyim al-jauzy;.
Ø Umar ibnu Mas’ud dan muridnya yang ada di Irak
Ø Zaid bin Tsabit dan murid-muridnya yang ada di Madinah
Ø Ibnu Umar yang ada di Madinah

Kelompok kajian ini biasanya di kepalai para tabi’in seperti;
Ø Said bin musayyab di madinah
Ø Atha bin Abi rabah di Makah
Ø Al-Nakahi di kuffah
Ø Hasan al basri di basrah
Ø Makkhul di syam
Ø Thawus di yaman
Pada masa pendasaran ini adalah awal dari kecenderungan fiqh untuk berada pada wilayah teori. Hal ini berbeda dengan masa alkhulafa al-rasyidun yang menjadikan fiqh berada dalam wilayah praktek, sebagaimana yang ada pada masa Nabi. Dengan masuknya fiqh pada wilayah teori, banyak hokum fiqh yang di produksi hasil penalaran terhadap teori di bandingkan hokum fiqh yang di hasilkan dari pemahaman terhadap kasus-kasus yang pernah terjadi lalu disamakan dengan kasus baru. Sehingga, fiqh tidak hanya mampuh menjelaska persoalan-persoalan waqi’iyyah (aktual) namun lebih dari itu. Disamping itu juga, periode ini merupakan awal perubahan fiqh dari sipatnya yang waqi’iyah (aktual) menjadi nazariyyah (teori).

Dikatakan pada masa ini pula setelah melewati masa pendasarannya ilmu fiqh mengalami perkembangan yang sangat pesat. Ditandai dengan banyaknya bermunculan madzhab-madzhab yang salah satunya adalah madzhab yang -4 sebagaimana yang telah kita ketahui.

Perkembangan berikutnya mengalami perkembangan yang sangat signifikan, dari menulis, pembukuan, hingga penyempurnaannya pada akhir abad ke-13 H. pada abad ke-7 H. para ulam menulis kitab qaidah seperti:
Al Allamah bin Ibrohim AL Jurjani al Sahlaki (W. 613 H) dengan karyanya; Al qawaid fi furu’I al Syafi’iyyah.
Al Imam Izzudin Abdul as Salam (w. 660 H) dengan karyanya Qawai al Ahkam fi mashalih al Anam”.
Muhammad bin Abdullah bin Rasyid al Bakri al Qafshi (w. 685 H) dengan karyanya Al Mudzhab fi Qawaid al Madzhab.
v Abad ke-8 H
Ø Kitab Al Qawaid karya Maqqari Al Maliki (w.758 H)
Ø Al Majmu’u al Asybah wa al- Nazair, karya Ibnu al Wakil Al Syafi’I (w. 716 H)
Ø Al Mudzhab fi Dlabti Qawaid al Madzhab, karya Al Ala’I As Syafi’I (w. 761 H)
Ø Al Asybah wa al Nazair, karya Tajudin al Subkhi As Syafi’I (w. 771 H)
Ø Al Asybah wa al Nazair, karya Jamaluddin al Isnawi As Syafi’I (w. 772 H)
Ø Al Mantsur fi al Qawa’id, karya Badruddin al Zarkasy as Syafi’I (w. 794 H)
Ø Al qawa’id fil fiqh, karya Ibnu Rajab al Hanbali (w. 795 H)
Ø Al Qawa’id fi al Furu’, karya Ali bin Utsman al Ghazi (w. 799 H)
Karya-karya besar ini dengan metodenya yang variatif telah mengantarkan qaidah fiqhiyyah pada masa kemajuan dan kematangannya. Dalam karya-karya besar itulah, kematangan qaidah fiqh mulai tampak pada saat itu.
v Abad ke-9 H
Bermunculan karya-karya baru yang masih menggunakan metode lama diantaranya Ibnu Mulaqqin (804 H) menulis kitab qaidah “mengikuti pola kitab As Subkhi. Kitab-kitab lainnya adalah;
Ø Asna Al Maqashid fi tahrir al Qawaid, karya Muhammad bin Muhammad al Zubairiy (w. 707 H)
Ø Al qawa’id, karya Taqiyudin Al Hisni (w. 829 H)
Ø Nazmu’ al Dakhair fi Asyabah ma An Nazair, karya Abdurrahman bin Ali Al Muqqadasi (w. 876H)
Ø Al Qawaid wa Al Dlawabit, karya Abdul Hadi (w. 880 H)

v Abad ke-10
Pada abad ini pembukuan kitab mencapai puncaknya yaitu ketika masa ;
Ø As Suyuti (w. 910 H) Asybah wa An Nazair
Ø Al Ala’I al Subkhi al Zarkasyi (w. 794 H)
Ø Abu Hasan Al Zaqaaq al Tujibiy al Maliki (w. 912 H)
Ø Ibnu Nuzaim Al Hanafi (w. 970 H)

C. Penyempurnaan
Setelah melewati masa pertumbuhan dan masa perkembangan, kini tibalah pada penyempurnaan qaidah fiqh yang dilakukan oleh para pengikut dan pendukungnya. Yang kemudian ditandai dengan munculnya kitab Majallah al Ahkam al Adliyyah. Melalui pengumpulan dan penyeleksian kitab-kitab fiqh yang kemudian di bukukan dan di gunakan sebagai sumber acuan dalam menetapkan hokum di beberapa Mahkamah pada masa pemerintahan Sultan Al Ghazi Abdul Aziz Khan al Utsmani pada akhir abad ke-13 H.

Kesimpulan
Menurut kami (pemakalah) bahwa qawaid fiqihiyyah adalah sebuah metamorfosa ilmu hokum yang tumbuh dan berkembang hingga sempurna itu tidak terlepas dari para pendahulu kita, berawal dari Nabi Muhammad saw. Para sahabat Nabi, Tabi’in, dan hingga tabi’I at tabi’in yang sangat berjasa dalam pengadaan dan penyempurnaannya.

Qaidah fiqh ini tumbuh dan berkembang setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. Jika pada masa Nabi suatu masalah yang terjadi waktu itu, oleh para sahabat langsung di hadapkan pada beliau akan tetapi setelah beliau wafat, banyak bermunculan persoalan-persoalan baru yang tidak ada pada masa Nabi. Disinilah mulai muncul Ijtihad dan penalaran-penalaran para mujtahid dalam memecahkan persoalan hukum. Yang tentu dalam metode pengambilan hukumnya disandarkan kepada Al-Qur’an dan Al Sunnah.
[1] ikhtisar
[2] Dr.Ahmad Sudirman Abbas, MA, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah. hal 2
[3] ikhtisar
[4] Ikhtisar ,. Dr.Ahmad Sudirman Abbas, MA, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah.10-11
Terjadi pada masa tabi’in. bisa dikatakan pada masa ini adalah masa awal perkembangan fiqh. Dimana pada masa ini dimulai pendasaran terhadap ilmu fiqh. Karena para ulama-ulama fiqh atu para pembesar dan murid-muridnya memberikan pengarahan-pengarahan kepada kelompok masarakat yang mengkaji fiqh setiap mereka sehingga di suatu tempat. Adapun tokoh-tokohnya menurut Ibnu Qoyim al-jauzy;.
Ø Umar ibnu Mas’ud dan muridnya yang ada di Irak
Ø Zaid bin Tsabit dan murid-muridnya yang ada di Madinah
Ø Ibnu Umar yang ada di Madinah

Kelompok kajian ini biasanya di kepalai para tabi’in seperti;
Ø Said bin musayyab di madinah
Ø Atha bin Abi rabah di Makah
Ø Al-Nakahi di kuffah
Ø Hasan al basri di basrah
Ø Makkhul di syam
Ø Thawus di yaman
Pada masa pendasaran ini adalah awal dari kecenderungan fiqh untuk berada pada wilayah teori. Hal ini berbeda dengan masa alkhulafa al-rasyidun yang menjadikan fiqh berada dalam wilayah praktek, sebagaimana yang ada pada masa Nabi. Dengan masuknya fiqh pada wilayah teori, banyak hokum fiqh yang di produksi hasil penalaran terhadap teori di bandingkan hokum fiqh yang di hasilkan dari pemahaman terhadap kasus-kasus yang pernah terjadi lalu disamakan dengan kasus baru. Sehingga, fiqh tidak hanya mampuh menjelaska persoalan-persoalan waqi’iyyah (aktual) namun lebih dari itu. Disamping itu juga, periode ini merupakan awal perubahan fiqh dari sipatnya yang waqi’iyah (aktual) menjadi nazariyyah (teori).

Dikatakan pada masa ini pula setelah melewati masa pendasarannya ilmu fiqh mengalami perkembangan yang sangat pesat. Ditandai dengan banyaknya bermunculan madzhab-madzhab yang salah satunya adalah madzhab yang -4 sebagaimana yang telah kita ketahui.

Perkembangan berikutnya mengalami perkembangan yang sangat signifikan, dari menulis, pembukuan, hingga penyempurnaannya pada akhir abad ke-13 H. pada abad ke-7 H. para ulam menulis kitab qaidah seperti:
Al Allamah bin Ibrohim AL Jurjani al Sahlaki (W. 613 H) dengan karyanya; Al qawaid fi furu’I al Syafi’iyyah.
Al Imam Izzudin Abdul as Salam (w. 660 H) dengan karyanya Qawai al Ahkam fi mashalih al Anam”.
Muhammad bin Abdullah bin Rasyid al Bakri al Qafshi (w. 685 H) dengan karyanya Al Mudzhab fi Qawaid al Madzhab.
v Abad ke-8 H
Ø Kitab Al Qawaid karya Maqqari Al Maliki (w.758 H)
Ø Al Majmu’u al Asybah wa al- Nazair, karya Ibnu al Wakil Al Syafi’I (w. 716 H)
Ø Al Mudzhab fi Dlabti Qawaid al Madzhab, karya Al Ala’I As Syafi’I (w. 761 H)
Ø Al Asybah wa al Nazair, karya Tajudin al Subkhi As Syafi’I (w. 771 H)
Ø Al Asybah wa al Nazair, karya Jamaluddin al Isnawi As Syafi’I (w. 772 H)
Ø Al Mantsur fi al Qawa’id, karya Badruddin al Zarkasy as Syafi’I (w. 794 H)
Ø Al qawa’id fil fiqh, karya Ibnu Rajab al Hanbali (w. 795 H)
Ø Al Qawa’id fi al Furu’, karya Ali bin Utsman al Ghazi (w. 799 H)
Karya-karya besar ini dengan metodenya yang variatif telah mengantarkan qaidah fiqhiyyah pada masa kemajuan dan kematangannya. Dalam karya-karya besar itulah, kematangan qaidah fiqh mulai tampak pada saat itu.
v Abad ke-9 H
Bermunculan karya-karya baru yang masih menggunakan metode lama diantaranya Ibnu Mulaqqin (804 H) menulis kitab qaidah “mengikuti pola kitab As Subkhi. Kitab-kitab lainnya adalah;
Ø Asna Al Maqashid fi tahrir al Qawaid, karya Muhammad bin Muhammad al Zubairiy (w. 707 H)
Ø Al qawa’id, karya Taqiyudin Al Hisni (w. 829 H)
Ø Nazmu’ al Dakhair fi Asyabah ma An Nazair, karya Abdurrahman bin Ali Al Muqqadasi (w. 876H)
Ø Al Qawaid wa Al Dlawabit, karya Abdul Hadi (w. 880 H)

v Abad ke-10
Pada abad ini pembukuan kitab mencapai puncaknya yaitu ketika masa ;
Ø As Suyuti (w. 910 H) Asybah wa An Nazair
Ø Al Ala’I al Subkhi al Zarkasyi (w. 794 H)
Ø Abu Hasan Al Zaqaaq al Tujibiy al Maliki (w. 912 H)
Ø Ibnu Nuzaim Al Hanafi (w. 970 H)

C. Penyempurnaan
Setelah melewati masa pertumbuhan dan masa perkembangan, kini tibalah pada penyempurnaan qaidah fiqh yang dilakukan oleh para pengikut dan pendukungnya. Yang kemudian ditandai dengan munculnya kitab Majallah al Ahkam al Adliyyah. Melalui pengumpulan dan penyeleksian kitab-kitab fiqh yang kemudian di bukukan dan di gunakan sebagai sumber acuan dalam menetapkan hokum di beberapa Mahkamah pada masa pemerintahan Sultan Al Ghazi Abdul Aziz Khan al Utsmani pada akhir abad ke-13 H.

Kesimpulan
Menurut kami (pemakalah) bahwa qawaid fiqihiyyah adalah sebuah metamorfosa ilmu hokum yang tumbuh dan berkembang hingga sempurna itu tidak terlepas dari para pendahulu kita, berawal dari Nabi Muhammad saw. Para sahabat Nabi, Tabi’in, dan hingga tabi’I at tabi’in yang sangat berjasa dalam pengadaan dan penyempurnaannya.

Qaidah fiqh ini tumbuh dan berkembang setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. Jika pada masa Nabi suatu masalah yang terjadi waktu itu, oleh para sahabat langsung di hadapkan pada beliau akan tetapi setelah beliau wafat, banyak bermunculan persoalan-persoalan baru yang tidak ada pada masa Nabi. Disinilah mulai muncul Ijtihad dan penalaran-penalaran para mujtahid dalam memecahkan persoalan hukum. Yang tentu dalam metode pengambilan hukumnya disandarkan kepada Al-Qur’an dan Al Sunnah.

[1] ikhtisar
[2] Dr.Ahmad Sudirman Abbas, MA, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah. hal 2
[3] ikhtisar
[4] Ikhtisar ,. Dr.Ahmad Sudirman Abbas, MA, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah.10-11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TEMUKAN MAKALAH/ARTIKEL YANG ANDA CARI DI SINI:
Custom Search

Posting Terkini