PENDAHULUAN
Belakangan ini banyak sekali terjadi kekerasan dalam rumah tangga, baik itu yang dilakukan suami terhadap istri ataupun sebaliknya dan tidak menutup kemungkinan juga anak sering kali dijadikan obyek kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh orang tuanya.
Kekerasan pada dasarnya bisa terjadi dimana saja, kapan saja dan oleh siapa saja. Kekerasan ini bisa terjadi ditengah keramaian, baik itu dipasar maupun di tempat sunyi. Akan tetapi, sangat mengherankan apabila kekerasan itu terjadi dalam sebuah rumah tangga yang seharusnya di dalam rumah tersebut sebagai tempat curahan kasih sayang antara suami dan istri, orang tua dan anaknya.
Kekerasan dalam rumah tangga adalah perbuatan yang dilakukan seseorang atau beberapa orang terhadap orang lain, mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik seksual dan psikologis termasuk pula ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan seseorang secara sewenang-wenang atau adanya penekanan secara ekonomis, yang terjadi dalam rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga atau dalam istilah lainnya kekerasan domestic adalah kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga dimana biasanya yang berjenis kelamin laki-laki (suami) menganiaya secara verbal maupun fisik pada jenis kelamin perempuan (istri).[1] Dari pengertian ini maka dapat dilihat lingkup kekerasan domestic meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi. Laki-laki (suami) biasanya pelaku kekerasan atau subyeknya, sementara perempuan (istri) adalah sebagai sasaran kekerasan atau obyeknya.
Dalam buletin mingguan Warkah al-Basyar yang terbit tahun 2005/Vol.III dikisahkan peristiwa tragis seorang ibu rumah tangga yang diduga tewas oleh suaminya. Dan dugaan itu kemudian dibenarkan oleh pengakuan suaminya yang berinisial Rd yang mengaku terpaksa karena istrinya terus menghina dan mencacinya. Euis (istri) sebenarnya wanita kreatif dan dikenal sangat baik, begitu pula suaminya, baik dan santun. Euis sudah berusaha keras untuk bersabar selama sekitar 5 tahun lebih dalam keadaan suaminya menganggur. Ibu dari 2 anak ini tetap bekerja keras untuk menghidupi anak-anak dan keluarganya dengan membuka usaha jahit, bordir bahkan sampai menjadi pegawai asuransi. Tapi, semua orang tak akan menyangka, kalau pasangan ini akan berakhir dengan tragis. Darah pun tiba-tiba mengalir dari tubuh euis yang tak berdaya. Tetesan air mata dari tubuh si mungil kedua anaknya tak pernah henti menangisi kepergian ibunya. Suaminya pun tak luput dari depresi berat karena menyesal.[2]
Dari kisah tersebut, sangat jelas bahwa kekerasan dalam lingkup keluarga dilakukan oleh suami terhadap istri, dimana proses konstruksi gender dalam struktur sosial sangat mempengaruhinya. Kalau memang kekerasan terhadap istri diakibatkan oleh faktor gender, maka kekerasan tersebut dapat dihilangkan, karena posisi laki-laki dan perempuan adalah setara dalam struktur sosial. Kekerasan terhadap istri dikonstruksi secara sosial, sehingga perubahan-perubahan yang menyangkut dengan kekerasan terhadap perempuan bisa direkontruksi. Disinilah kekerasan dalam lingkup keluarga dapat ditelaah secara sosiologis.
Sebenarnya kekerasan dalam rumah tangga dapat menimpa siapa saja, ibu, bapak, anak, bahkan pembantu rumah tangga. Akan tetapi, kebanyakan korban kekerasan dalam rumah tangga adalah istri. Biasanya hal ini terjadi jika hubungan antara korban dan pelaku tidak setara, lazimnya si pelaku kekerasan mempunyai status dan kekuasaan yang lebih besar, baik dari segi ekonomi, kekuasaan fisik maupun status sosial dalam keluarga. Karena posisi khusus yang dimilikinya tersebut, maka pelaku kerapkali memaksakan kehendaknya untuk diikuti oleh orang lain. Dan demi mencapai keinginannya tersebut, pelaku kekerasan akan menggunakan segala cara bahkan tidak segan-segan untuk melukai korban.[3]
Kekerasan terhadap istri dalam keluarga tidak terjadi secara berdiri sendiri, pola hubungan kekuasaan suami terhadap istri juga mempengaruhi tindakan kekerasan. Kekuasaan yang dimaksud adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain agar sesuai dengan tindakan yang dikehendakinya.[4] Pada posisi inilah seorang istri akan menjadi sasaran kekerasan suami, terutama apabila tidak terjadi keseimbangan baru yang disepakati oleh semua pihak yang terlibat, maka terjadilah perubahan sistem kekuasaan.
Selama ini pada kelompok masyarakat tertentu, misalnya kelompok aktivis feminisme liberal menuduh doktrin agama yang menyebabkan hubungan perempuan dan laki-laki tidak sejajar. Dan disamping itu, lemahnya kontrol masyarakat sosial dan lemahnya penegakan hukum bahkan tidak tersedianya perangkat hukum merupakan juga sebab-sebab pendorong terjadinya kekerasan terhadap perempuan khususnya istri dalam keluarga. Oleh karena itu, peran pemerintah dan semua lapisan masyarakat sangat membantu untuk menghilangkan kekerasan terhadap perempuan khususnya istri. Disini pula peran sosiologi bertugas meneliti dan menelaah serta merekomendasikan penyelesaian kekerasan terhadap perempuan.
Sehubungan dengan uraian sebelumnya, maka kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan menarik untuk diteliti. Meskipun sudah banyak penelitian dengan tema yang sama, namun penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai faktor-faktor apa yang mengakibatkan dominasi laki-laki terhadap istri dalam rumah tangga? Serta faktor-faktor apa yang menyebabkan tindakan kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga?
II. Landasan Teori
Kekerasan menurut John Galtung adalah suatu perlakuan yang menyebabkan realitas aktual seseorang ada di bawah realitas potensial.[5] Artinya ada sebuah situasi yang menyebabkan segi kemampuan /potensi individu menjadi tidak muncul. Ketika mengacu kepada konsep kekerasan paling tidak ada empat hal yang menjadi ukuran dasar kekerasan, yaitu :
Ada pihak yang dirugikan
Ada unsur kesengajaan
Pelaku kekerasan merasa superior
Adanya kerusakan.
Semua bentuk kekerasan, baik verbal maupun non verbal dapat dilakukan oleh seseorang atau sekelompok terhadap seseorang atau sekelompok orang lain, sehingga dapat menyebabkan efek negatif secara fisik emosional dan psikologis terhadap orang lain yang menjadi tujuannya atau sasarannya.
Perilaku kekerasan dapat terjadi di mana saja, di tempat umum, di sekolah, di kantor, dan di rumah bahkan di tempat yang seolah-olah tidak mungkin terjadi kekerasan. Kekerasan dalam rumah tangga tentu berbeda dengan kekerasan di tempat-tempat lain, baik itu pelaku, faktor-faktor penyebab, proses pembentukan kekerasan, bentuk-bentuk kekerasan maupun intensitasnya. Pada tataran ideal, perkawinan adalah jendela penyatuan kasih dan sayang atas dasar cinta, ketika dua pasangan manusia memasuki jenjang pernikahan rasanya tidak mungkin, bahkan secara ekstrim mustahil kasih dan sayang dengan dasar cinta direnggut atau diporak-porandakan oleh kekerasan. Dan tidak jarang keluarga yang pada awalnya terbentuk dengan kasih dan sayang berujung dengan kekerasan bahkan kematian pada salah satu pasangannya, ternyata bahtera pernikahan sekali pun tidak luput dari virus kekerasan.
Kekerasan dalam rumah tangga adalah kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga di mana biasanya yang berjenis kelamin laki-laki menganiaya secara verbal maupun fisik pada yang berjenis kelamin perempuan.[6] Sedangkan yang termasuk dalam lingkup rumah tangga antara lain, suami, istri, orang tua dan anak-anak, orang-orang yang mempunyai hubungan darah, orang-orang yang bekerja membantu kehidupan rumah dan orang yang hidup bersama dengan korban atau mereka yang pernah atau masih tinggal bersama.
Untuk mendobrak tradisi kekerasan terhadap perempuan, tidak ada jalan lain yang harus dilakukan kecuali melakukan penafsiran ulang (reinterpretasi) secara kritis terhadap teks-teks kitab suci agama dan teks-teks pendukungnya serta hal-hal yang dihasilkan dari teks tersebut seperti produk-produk hukum, norma, moral dan sebagainya. Melalui penafsiran ulang diharapkan diperoleh informasi tentang unsure temporalitas wacana atau sifat kesejarahan dari pemahaman teks suci agama. Ini merupakan bentuk sikap kritis terhadap aspek histories teks-teks suci tersebut. Semua pemahaman bersifat kebahasaan, dalam arti bahwa orang hanya bisa memahami ketika dia mampu merumuskannya dalam bahasa. Oleh karena itu pemahaman bersifat prasangka, di mana ketika orang memahami suatu situasi, ia tidak pernah dalam keadaan kosong tetapi sudah membawa kategori-kategori pra-pemahaman. [7]
Tidak ada pemahaman yang murni terhadap sejarah tanpa kaitan dengan masa kini, artinya masa lalu juga beroperasi di masa kini. Melalui bahasa dan bertitik tolak dari prasangka tertentu itu, pikiran dapat diaktualisasikan dalam kondisi sejarah atau konteks tertentu. Karenanya, terhadap penafsiran yang kentara sekali nuansa bias gendernya dan berpotensi melahirkan kekerasan terhadap perempuan, kita harus mempertanyakan kembali dimensi kesejarahannya.
Dan selanjutnya, melalui penafsiran ulang kita bisa melakukan kritik ideology, yakni kritik atas prasangka-prasangka dan ilusi-ilusi yang menjadi bagian dari penafsiran teks-teks suci agama. Prasangka yang dimaksud yakni yang sarat dengan nilai kelaki-lakiannya dan mempertahankan status quo dominasi laki-laki. Sementara, ilusi yang dimaksud yakni ilusi bahwa superioritas nyata laki-laki cukup memberikan pembenaran (legitimasi) atas segala bentuk penafsiran, membuat hukum dan memberlakukannya. Prasangka dan ilusi itulah yang harus diuji melalui kritik ideology. Selain itu melalui penafsiran ulang kita juga bisa melakukan dekonstruksi untuk membongkar motivasi terselubung serta kepentingan politis, teologis, filosofis kaum laki-laki dalam proses penafsiran teks-teks suci agama.[8]
Namun menurut Marx dan Engels, feminisme marxis menganggap penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Ciri khas aliran ini adalah persoalan perempuan selalu diletakkan dalam kerangka kritik atas kapitalisme. Melalui proses perubahan segala sesuatu yang dianggap bermanfaat dan perubahan hakikat manusia ke dalam wilayah public, serta valorization (pengutamaan) produksi di atas reproduksi, maka kaum perempuan dihargai sekedar seperti halnya benda milik pribadi kaum laki-laki. Pembagian kerja secara seksual dalam masyarakat kapitalis dianggap sebagai penyebab diskriminasi terhadap kaum perempuan.[9]
Adapun secara spesifik bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan tertuang dalam deklarasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan (Declaration on Elimination of Violence Against Women), yang diadopsi Majelis PBB tahun 1993 pada pasal 2 sebagai berikut :
Tindakan kekerasan secara fisik, seksual, psikologis yang terjadi dalam keluarga, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas anak-anak perempuan dalam rumah tangga, kekerasan yang berhubungan dengan masa kawin (mahar), perusakan alat kelamin perempuan, praktek-praktek kekejaman tradisional lain terhadap perempuan di luar hubungan suami-istri, serta kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi.
kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat luas termasuk perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya. Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan atau dibenarkan oleh Negara.[10]
Kekerasan bukan hanya kekerasan fisik saja seperti pemukulan atau tendangan, akan tetapi dapat berbentuk sangat halus dan tidak dapat dilihat dengan kasat mata seperti kecaman, kata-kata yang meremehkan dan sebagainya. Bahkan bahasa tubuh yang mempunyai makna mendiskriminasikan, menghina, menyepelekan atau makna lain yang berarti kebencian adalah termasuk kekerasan. Paling tidak terdapat lima kategori bentuk kekerasan dalam rumah tangga yaitu : fisik, emosional/psikologis, seksual, ekonomi dan sosial.
Kekerasan fisik biasanya dapat berakibat langsung dan dapat di lihat dengan kasat mata, seperti adanya memar di tubuh atau goresan luka. Sedangkan kekerasan emosional atau psikologis tidak dapat menimbulkan akibat langsung, namun dampaknya bisa membuat si korban merasa trauma dan putus asa apabila kejadian tersebut berlangsung secara berulang kali. Kekerasan emosional seperti penggunaan kata-kata kasar yang sifatnya merendahkan atau mencemoohkan, misalnya membanding-bandingkan istri dengan orang lain dan mengatakan bahwa istri tidak becus dalam menjalankan tugasnya dan sebagainya.
Sehingga solusi apa yang harus dilakukan seorang istri dalam mengatasi kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suaminya? Jika kita mempunyai masalah, termasuk yang pribadi, jangan segan-segan membagi dengan orang yang terpercaya. Tindakan ini sama sekali bukan perbuatan tak senonoh atau berdosa. Hal ini merupakan bagian dari penyelesaian masalah dan sah adanya dan juga bukan aib, demikian juga agama tidak melarangnya. Yang dinilai buruk dan dilarang ketentuan agama adalah menggunjing persoalan pribadi atau rumah tangga dengan tujuan yang tidak jelas atau buruk.
Mencari penyelesaian guna mencari keadilan adalah hak setiap individu. Sejarah islam telah membeberkan dengan jelas betapa persoalan rumah tangga yang paling rahasia tentang hubungan seksual suami-istri diungkap dan dipermasalahkan secara terbuka dan gambling. Contohnya, persoalan posisi dalam melakukan hubungan seksual. Faktanya masyarakat selama ini, sering kali menutupi perbuatan yang melanggar hak asasi manusia itu dengan dalih agama. Yaitu, komentar ceramah agama atau buku agama sering dikutip untuk menyatakan bahwa persoalan keluarga harus disimpan rapat-rapat, tidak boleh dibeberkan keluar rumah.
III. Analisa Masalah
Melalui latar belakang serta pendapat dan teori yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dalam bab ini akan dicoba untuk menganalisis mengenai permasalahan kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri dalam rumah tangga.
Faktor-faktor apa yang mengakibatkan dominasi laki-laki terhadap istri dalam rumah tangga?
Di dalam masyarakat yang di dominasi laki-laki, hal yang lebih membahayakan justru adalah bentuk-bentuk yang dikategorikan sebagai kekerasan simbolik, yakni kekerasan yang tak kasat mata. Jenis kekerasan ini oleh banyak kaum perempuan bahkan tidak dilihat, atau dipandang dan dirasakan sebagai kekerasan, melainkan sesuatu yang alamiah dan wajar. Dan lebih parah lagi, kondisi ini diperkuat dengan adanya pemahaman ajaran agama secara dogmatis, didukung tradisi budaya dan kepercayaan masyarakat tertentu, dan sebagainya.
Hal ini selain sangat beresiko menciptakan inferioritas dan subrodinasi perempuan atas laki-laki dalam masyarakat, juga mengakibatkan jenis kekerasan simbolik tersebut lebih sulit dicarikan jalan pemecahannya. Dalam agama Kristen kitab kejadian mengisahkan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Dalam agama Islam, ayat Al-Qur’an yang berbunyi al-rijaalu qowamuuna ‘ala nisaai (laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan). Keduanya sering disalah artikan dan dipahami sebagai bentuk inferioritas perempuan dihadapan laki-laki, dan sebagainya. Oleh karena sumber-sumber yang dijadikan referensi merupakan teks suci agama, sebagai wahyu tuhan, maka manusia dianggap harus menerimanya.
Padahal, implementasi konsepsi teologis teks-teks suci dalam kehidupan social, kebanyakan adalah hasil dari penafsiran manusia belaka. Ketika penafsiran berlangsung dan bahkan dilakukan oleh masyarakat yang terstruktur secara patriarchi, yang di dalamnya dominasi laki-laki menjadi status quo yang harus dipertahankan, maka wajar jika hasil penafsiran yang diklaim sebagai kebenaran dari hukum tuhan itu, cenderung menguntungkan kaum laki-laki dan sebaliknya sangat merugikan kaum perempuan.
Banyak ahli tafsir memaknai qawwam sebagai pemimpin, pelindung, penanggung jawab, pendidik, pengatur dan lain-lain yang semakna. Para ahli tafsir itu juga mengatakan, kelebihan yang dimiliki laki-laki atas perempuan adalah karena keunggulan akal dan fisiknya. Padahal, saat ini pandangan tentang kelebihan-kelebiahan tersebut telah terbantah melalui kenyataan riil. Realitas social, membuktikan banyak perempuan yang bisa melakukan tugas-tugas yang selama ini dianggap sebagai monopoli kaum laki-laki, seperti kepala Negara, kepala pemerintahan, gubernur, ketua parlemen, ketua partai politik dan sebagainya.
Al-Qur’an menuntut kemaslahatan dan kejadian dan kedua hal itu bisa terjadi bila kita mampu memposisikan segala sesuatu secara proporsional dan kontekstual. Dengan demikian, QS An-Nisa’ : 34, tidak lain merupakan petunjuk mengenai penerapan kemaslahatan pada situasi dan kondisi riil pada ayat itu diturunkan.
Dengan kenyataan social dewasa ini bahwa pandangan tentang kehebatan laki-laki dan kelemahan perempuan dari sisi intelektual dan profesi tengah digugat dan diruntuhkan, berarti kemaslahatan diletakkan pada kenyataan saat ini.
Faktor-faktor apa yang mengakibatkan tindakan kekerasan suami terhadap istri dalam rumah tangga?
Banyak factor yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam lingkup keluarga. Disamping itu factor penyebabnya beragam, bentuk kekerasannya pun berbeda-beda. Bahkan pada kasus-kasus tertentu sangat unik, walaupun secara umum kekerasan dalam lingkup keluarga mempunyai kesamaan. Faktor penyebab kekerasan dalam lingkup keluarga, misalnya dalam sebuah keluarga sering terjadi karena pertengkaran yang akhirnya meningkat pada kekerasan fisik maupun psikis. Biasanya factor yang paling dominant sebagai pemicu timbulnya tindakan kekerasan tersebut adalah karena factor ekonomi, di mana factor ini sangat rentan fungsinya dalam keluarga, apalagi jika istri sangat bergantung sekali terhadap suami begitu pula sebaliknya.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa perempuan lebih mudah menjadi korban tindak kekerasan dalam lingkup keluarga sendiri terutama dalam kehidupan rumah tangga, di mana laki-laki lebih dominan. Namun posisi perempuan dalam keluarga sesungguhnya tidak terlepas dari system social masyarakat yang melingkupinya. Perbedaan dominasi dan subordinasi salah satu factor penyebab pembentukan pola relasi antara suami dengan istri sehingga pada akhirnya mendorong ke arah konflik keluarga.
Pola hubungan .yang berimplikasi pada “siapa memiliki”, “siapa memutuskan”, dan “siapa mendominasi”, nilai-nilai budaya yang masih bias gender dan jastifikasi tafsir agama dalam memperlakukan seorang istri merupakan factor-faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam keluarga.
Kekerasan terhadap perempuan sebenarnya, bisa saja disebabkan oleh banyak faktor, baik yang bersifat ideologis maupun budaya. Menurut hasil penelitian Rifka Annisa Women Crisis Center, sekurang-kurangnya terdapat tiga faktor utama yang memungkinkan munculnya kekerasan terhadap perempuan yakni :
1. Budaya patriarkhi yang meletakkan laki-laki sebagai makhluk superior dan sebaliknya, perempuan sebagai makhluk inferior.
2. Pemahaman dan penafsiran yang keliru terhadap ajaran dan teks-teks agama.
3. Peniruan (modeling) akibat terbiasa menyaksikan pola komunikasi sosial yang bias gender, yang mengandung banyak bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Jika dilihat dari poin nomor dua, maka kekerasan terhadap perempuan, salah satunya disebabkan faktor pemahaman dan penafsiran yang keliru terhadap ajaran dan teks-teks agama itu sendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat Asma Barlas bahwa dalam islam, ajaran dan teks-teks agama termasuk Al-Qur;an sebenarnya justru mengajarkan kesetaraan dan tidak ada inferioritas berdasarkan gender.
Bahkan lebih jauh menurut Masdar F Mas’udi, penafsiran keliru teks-teks kitab suci terkadang justru menjadi factor yang lebih dominant bagi lahirnya kekerasan terhadap perempuan dibanding dua factor lainnya. Hal ini karena dalam konteks di Indonesia terjadi proses indoktrinasi secara sistematis melalui deunia pendidikan terutama di pesantren-pesantren klasik dan tradisional yang menggunakan kitab kuning sebagai referensi dan kajian utamanya. Dari hasil penelitiannya, Masdar menyimpulkan bahwa berbagai bentuk diskriminasi perempuan yang ada dalam kitab kuning misalnya, kitab kuning uqud dil-lijaini dan kitab qurrotul uyun, antara lain : tentang tata kehidupan social diman kaum perempuan sebagai makhluk yang di nilai hanya separo laki-laki dalam hal aqidah, dalam hal warisan di mana perempuan menerima separo dari yang di terima laki-laki, ketika perempuan terbunuh juga hanya mendapat diyah separo dari nyawa laki-laki. Dalam hal pernikahan, laki-laki boleh menikah terhadap lebih dari satu istri, sementara perempuan hanya satu suami. Belum lagi dalam persoalan hubungan suami istri di mana perempuan terkesan hanya sebagai obyek seksual belaka.[11]
Selain itu, sudah tidak asing lagi bahwa dalam kitab kuning pada umumnya termuat hal-hal yang menempatkan tanggung jawab mencari nafkah bagi suami dalam keluarganya. Kesadaran seperti ini, dalam istilah modern telah memberikan kepada laki-laki suatu posisi supremasi sebagai bojuis, sementara kaum perempuan mewakili proletariat.
IV. Kesimpulan
Dari penjelasan yang telah dikemukakan baik dari pendapat maupun analisa, maka penulis menyimpulkan :
Faktor-faktor yang menjadikan dominasi laki-laki terhadap perempuan adalah :
1.Ego seorang laki-laki yang ingin menjadi pemimpin dan sifatnya yang ingin berkuasa serta merasa lebih kuat dari perempuan, baik itu secara fisik maupun keilmuannya.
2.Pengaruh ajaran agama atas penafsiran bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan.
Kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri dalam rumah tangga disebabkan oleh beberapa factor diantaranya yaitu :
1.Adanya dominasi kekuasaan suami terhadap istri yang dipengaruhi oleh asumsi atas penafsiran kitab-kitab suci dan pemahaman ajaran agama secara dogmatis dan di dukung pula tradisi budaya dan kepercayaan masyarakat tertentu yang menyatakan bahwa kaum laki-laki itu adalah pemimipin bagi kaum perempuan.
2.Perbedaan dominasi dan subordinasi.
3.Faktor yang paling dominan sebagai pemicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga adalah persoalan ekonomi.
Bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri :
1.Kekerasan secara fisik
2.Kekerasan psikologis
3.Kekerasan secara ekonomi
4.Kekerasan seksual
Solusi yang ditawarkan :
1.Diharapkan istri jangan diam saja, apabila ada bentuk kekerasan yang dilakukan suami atau permasalahan keluarga. Artinya, jangan segan-segan untuk minta pertolongan dengan orang yang terpercaya, kerabat, saudara, ataupun tetangga.
2.Diharapkan kaum perempuan dapat berlomba-lomba berprestasi (fashtabiqul khairat) dengan laki-laki, termasuk memperoleh pendidikan setinggi-tingginya, memperkembangkan pengetahuan, wawasan dan keterampilannya sehingga menjadi pribadi yang berguna bagi dirinya sendiri, masyarakatnya, nusa, bangsa dan agamanya.
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Laporan Penelitian, Kekerasan terhadap Perempuan dalam Keluarga Analisis Kasus pada Beberapa Keluarga di Wilayah Ciputat, Kerjasama PSW IAIN Syarif Hidayatullah dengan Mc Gill Project (Jakarta : PSW dan Mc Gill Project, 2000), h. 12
[2] Warkah al Basyar, Mengintip Kekerasan Dalam Rumah Tangga,(Cirebon : Fahmina institute, 2005), Vol.III, h. 1
[3] Farha Ciciek, Ikhtiar Mengatasi kekerasan dalam Rumah Tangga : Belajar dari Kehidupan Rasulullah SAW, (Jakarta : Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999), h. 34
[4] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. 33, h. 266.
[5] Windu Warsan, Kekuasaan dan Kekerasan Menurut John Galtung, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1992), h. 20
[6] Laporan Penelitian, Kekerasan terhadap Perempuan dalam Keluarga Analisis Kasus pada Beberapa Keluarga di Wilayah Ciputat, Kerjasama PSW IAIN Syarif Hidayatullah dengan Mc Gill Project (Jakarta : PSW dan Mc Gill Project, 2000), h. 14.
[7] Jurnal Universitas Paramadina, (Jakarta : Universitas Paramadina, 2006), Vol. 4, No. 2, h.130
[8] Jurnal Universitas Paramadina, (Jakarta : Universitas Paramadina, 2006), Vol. 4, No. 2, h.131
[9] Fatayat NU, Pluralisme, Feminisme dan Gerakan Kesetaraan Gender, Edisi. 6, Tahun III, 2004, h. 6
[10] Fathul Djannah dkk, Kekerasan Terhadap Istri, (Yogyakarta : Lkis dan CIDA-ICIHEF Jakarta dan Pusat Studi Wanita IAIN Sumatra Utara, 2003), h. 16
[11] Jurnal Universitas Paramadina, (Jakarta : Universitas Paramadina, 2006), Vol. 4, No. 2, h.128.
Belakangan ini banyak sekali terjadi kekerasan dalam rumah tangga, baik itu yang dilakukan suami terhadap istri ataupun sebaliknya dan tidak menutup kemungkinan juga anak sering kali dijadikan obyek kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh orang tuanya.
Kekerasan pada dasarnya bisa terjadi dimana saja, kapan saja dan oleh siapa saja. Kekerasan ini bisa terjadi ditengah keramaian, baik itu dipasar maupun di tempat sunyi. Akan tetapi, sangat mengherankan apabila kekerasan itu terjadi dalam sebuah rumah tangga yang seharusnya di dalam rumah tersebut sebagai tempat curahan kasih sayang antara suami dan istri, orang tua dan anaknya.
Kekerasan dalam rumah tangga adalah perbuatan yang dilakukan seseorang atau beberapa orang terhadap orang lain, mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik seksual dan psikologis termasuk pula ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan seseorang secara sewenang-wenang atau adanya penekanan secara ekonomis, yang terjadi dalam rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga atau dalam istilah lainnya kekerasan domestic adalah kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga dimana biasanya yang berjenis kelamin laki-laki (suami) menganiaya secara verbal maupun fisik pada jenis kelamin perempuan (istri).[1] Dari pengertian ini maka dapat dilihat lingkup kekerasan domestic meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi. Laki-laki (suami) biasanya pelaku kekerasan atau subyeknya, sementara perempuan (istri) adalah sebagai sasaran kekerasan atau obyeknya.
Dalam buletin mingguan Warkah al-Basyar yang terbit tahun 2005/Vol.III dikisahkan peristiwa tragis seorang ibu rumah tangga yang diduga tewas oleh suaminya. Dan dugaan itu kemudian dibenarkan oleh pengakuan suaminya yang berinisial Rd yang mengaku terpaksa karena istrinya terus menghina dan mencacinya. Euis (istri) sebenarnya wanita kreatif dan dikenal sangat baik, begitu pula suaminya, baik dan santun. Euis sudah berusaha keras untuk bersabar selama sekitar 5 tahun lebih dalam keadaan suaminya menganggur. Ibu dari 2 anak ini tetap bekerja keras untuk menghidupi anak-anak dan keluarganya dengan membuka usaha jahit, bordir bahkan sampai menjadi pegawai asuransi. Tapi, semua orang tak akan menyangka, kalau pasangan ini akan berakhir dengan tragis. Darah pun tiba-tiba mengalir dari tubuh euis yang tak berdaya. Tetesan air mata dari tubuh si mungil kedua anaknya tak pernah henti menangisi kepergian ibunya. Suaminya pun tak luput dari depresi berat karena menyesal.[2]
Dari kisah tersebut, sangat jelas bahwa kekerasan dalam lingkup keluarga dilakukan oleh suami terhadap istri, dimana proses konstruksi gender dalam struktur sosial sangat mempengaruhinya. Kalau memang kekerasan terhadap istri diakibatkan oleh faktor gender, maka kekerasan tersebut dapat dihilangkan, karena posisi laki-laki dan perempuan adalah setara dalam struktur sosial. Kekerasan terhadap istri dikonstruksi secara sosial, sehingga perubahan-perubahan yang menyangkut dengan kekerasan terhadap perempuan bisa direkontruksi. Disinilah kekerasan dalam lingkup keluarga dapat ditelaah secara sosiologis.
Sebenarnya kekerasan dalam rumah tangga dapat menimpa siapa saja, ibu, bapak, anak, bahkan pembantu rumah tangga. Akan tetapi, kebanyakan korban kekerasan dalam rumah tangga adalah istri. Biasanya hal ini terjadi jika hubungan antara korban dan pelaku tidak setara, lazimnya si pelaku kekerasan mempunyai status dan kekuasaan yang lebih besar, baik dari segi ekonomi, kekuasaan fisik maupun status sosial dalam keluarga. Karena posisi khusus yang dimilikinya tersebut, maka pelaku kerapkali memaksakan kehendaknya untuk diikuti oleh orang lain. Dan demi mencapai keinginannya tersebut, pelaku kekerasan akan menggunakan segala cara bahkan tidak segan-segan untuk melukai korban.[3]
Kekerasan terhadap istri dalam keluarga tidak terjadi secara berdiri sendiri, pola hubungan kekuasaan suami terhadap istri juga mempengaruhi tindakan kekerasan. Kekuasaan yang dimaksud adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain agar sesuai dengan tindakan yang dikehendakinya.[4] Pada posisi inilah seorang istri akan menjadi sasaran kekerasan suami, terutama apabila tidak terjadi keseimbangan baru yang disepakati oleh semua pihak yang terlibat, maka terjadilah perubahan sistem kekuasaan.
Selama ini pada kelompok masyarakat tertentu, misalnya kelompok aktivis feminisme liberal menuduh doktrin agama yang menyebabkan hubungan perempuan dan laki-laki tidak sejajar. Dan disamping itu, lemahnya kontrol masyarakat sosial dan lemahnya penegakan hukum bahkan tidak tersedianya perangkat hukum merupakan juga sebab-sebab pendorong terjadinya kekerasan terhadap perempuan khususnya istri dalam keluarga. Oleh karena itu, peran pemerintah dan semua lapisan masyarakat sangat membantu untuk menghilangkan kekerasan terhadap perempuan khususnya istri. Disini pula peran sosiologi bertugas meneliti dan menelaah serta merekomendasikan penyelesaian kekerasan terhadap perempuan.
Sehubungan dengan uraian sebelumnya, maka kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan menarik untuk diteliti. Meskipun sudah banyak penelitian dengan tema yang sama, namun penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai faktor-faktor apa yang mengakibatkan dominasi laki-laki terhadap istri dalam rumah tangga? Serta faktor-faktor apa yang menyebabkan tindakan kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga?
II. Landasan Teori
Kekerasan menurut John Galtung adalah suatu perlakuan yang menyebabkan realitas aktual seseorang ada di bawah realitas potensial.[5] Artinya ada sebuah situasi yang menyebabkan segi kemampuan /potensi individu menjadi tidak muncul. Ketika mengacu kepada konsep kekerasan paling tidak ada empat hal yang menjadi ukuran dasar kekerasan, yaitu :
Ada pihak yang dirugikan
Ada unsur kesengajaan
Pelaku kekerasan merasa superior
Adanya kerusakan.
Semua bentuk kekerasan, baik verbal maupun non verbal dapat dilakukan oleh seseorang atau sekelompok terhadap seseorang atau sekelompok orang lain, sehingga dapat menyebabkan efek negatif secara fisik emosional dan psikologis terhadap orang lain yang menjadi tujuannya atau sasarannya.
Perilaku kekerasan dapat terjadi di mana saja, di tempat umum, di sekolah, di kantor, dan di rumah bahkan di tempat yang seolah-olah tidak mungkin terjadi kekerasan. Kekerasan dalam rumah tangga tentu berbeda dengan kekerasan di tempat-tempat lain, baik itu pelaku, faktor-faktor penyebab, proses pembentukan kekerasan, bentuk-bentuk kekerasan maupun intensitasnya. Pada tataran ideal, perkawinan adalah jendela penyatuan kasih dan sayang atas dasar cinta, ketika dua pasangan manusia memasuki jenjang pernikahan rasanya tidak mungkin, bahkan secara ekstrim mustahil kasih dan sayang dengan dasar cinta direnggut atau diporak-porandakan oleh kekerasan. Dan tidak jarang keluarga yang pada awalnya terbentuk dengan kasih dan sayang berujung dengan kekerasan bahkan kematian pada salah satu pasangannya, ternyata bahtera pernikahan sekali pun tidak luput dari virus kekerasan.
Kekerasan dalam rumah tangga adalah kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga di mana biasanya yang berjenis kelamin laki-laki menganiaya secara verbal maupun fisik pada yang berjenis kelamin perempuan.[6] Sedangkan yang termasuk dalam lingkup rumah tangga antara lain, suami, istri, orang tua dan anak-anak, orang-orang yang mempunyai hubungan darah, orang-orang yang bekerja membantu kehidupan rumah dan orang yang hidup bersama dengan korban atau mereka yang pernah atau masih tinggal bersama.
Untuk mendobrak tradisi kekerasan terhadap perempuan, tidak ada jalan lain yang harus dilakukan kecuali melakukan penafsiran ulang (reinterpretasi) secara kritis terhadap teks-teks kitab suci agama dan teks-teks pendukungnya serta hal-hal yang dihasilkan dari teks tersebut seperti produk-produk hukum, norma, moral dan sebagainya. Melalui penafsiran ulang diharapkan diperoleh informasi tentang unsure temporalitas wacana atau sifat kesejarahan dari pemahaman teks suci agama. Ini merupakan bentuk sikap kritis terhadap aspek histories teks-teks suci tersebut. Semua pemahaman bersifat kebahasaan, dalam arti bahwa orang hanya bisa memahami ketika dia mampu merumuskannya dalam bahasa. Oleh karena itu pemahaman bersifat prasangka, di mana ketika orang memahami suatu situasi, ia tidak pernah dalam keadaan kosong tetapi sudah membawa kategori-kategori pra-pemahaman. [7]
Tidak ada pemahaman yang murni terhadap sejarah tanpa kaitan dengan masa kini, artinya masa lalu juga beroperasi di masa kini. Melalui bahasa dan bertitik tolak dari prasangka tertentu itu, pikiran dapat diaktualisasikan dalam kondisi sejarah atau konteks tertentu. Karenanya, terhadap penafsiran yang kentara sekali nuansa bias gendernya dan berpotensi melahirkan kekerasan terhadap perempuan, kita harus mempertanyakan kembali dimensi kesejarahannya.
Dan selanjutnya, melalui penafsiran ulang kita bisa melakukan kritik ideology, yakni kritik atas prasangka-prasangka dan ilusi-ilusi yang menjadi bagian dari penafsiran teks-teks suci agama. Prasangka yang dimaksud yakni yang sarat dengan nilai kelaki-lakiannya dan mempertahankan status quo dominasi laki-laki. Sementara, ilusi yang dimaksud yakni ilusi bahwa superioritas nyata laki-laki cukup memberikan pembenaran (legitimasi) atas segala bentuk penafsiran, membuat hukum dan memberlakukannya. Prasangka dan ilusi itulah yang harus diuji melalui kritik ideology. Selain itu melalui penafsiran ulang kita juga bisa melakukan dekonstruksi untuk membongkar motivasi terselubung serta kepentingan politis, teologis, filosofis kaum laki-laki dalam proses penafsiran teks-teks suci agama.[8]
Namun menurut Marx dan Engels, feminisme marxis menganggap penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Ciri khas aliran ini adalah persoalan perempuan selalu diletakkan dalam kerangka kritik atas kapitalisme. Melalui proses perubahan segala sesuatu yang dianggap bermanfaat dan perubahan hakikat manusia ke dalam wilayah public, serta valorization (pengutamaan) produksi di atas reproduksi, maka kaum perempuan dihargai sekedar seperti halnya benda milik pribadi kaum laki-laki. Pembagian kerja secara seksual dalam masyarakat kapitalis dianggap sebagai penyebab diskriminasi terhadap kaum perempuan.[9]
Adapun secara spesifik bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan tertuang dalam deklarasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan (Declaration on Elimination of Violence Against Women), yang diadopsi Majelis PBB tahun 1993 pada pasal 2 sebagai berikut :
Tindakan kekerasan secara fisik, seksual, psikologis yang terjadi dalam keluarga, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas anak-anak perempuan dalam rumah tangga, kekerasan yang berhubungan dengan masa kawin (mahar), perusakan alat kelamin perempuan, praktek-praktek kekejaman tradisional lain terhadap perempuan di luar hubungan suami-istri, serta kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi.
kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat luas termasuk perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya. Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan atau dibenarkan oleh Negara.[10]
Kekerasan bukan hanya kekerasan fisik saja seperti pemukulan atau tendangan, akan tetapi dapat berbentuk sangat halus dan tidak dapat dilihat dengan kasat mata seperti kecaman, kata-kata yang meremehkan dan sebagainya. Bahkan bahasa tubuh yang mempunyai makna mendiskriminasikan, menghina, menyepelekan atau makna lain yang berarti kebencian adalah termasuk kekerasan. Paling tidak terdapat lima kategori bentuk kekerasan dalam rumah tangga yaitu : fisik, emosional/psikologis, seksual, ekonomi dan sosial.
Kekerasan fisik biasanya dapat berakibat langsung dan dapat di lihat dengan kasat mata, seperti adanya memar di tubuh atau goresan luka. Sedangkan kekerasan emosional atau psikologis tidak dapat menimbulkan akibat langsung, namun dampaknya bisa membuat si korban merasa trauma dan putus asa apabila kejadian tersebut berlangsung secara berulang kali. Kekerasan emosional seperti penggunaan kata-kata kasar yang sifatnya merendahkan atau mencemoohkan, misalnya membanding-bandingkan istri dengan orang lain dan mengatakan bahwa istri tidak becus dalam menjalankan tugasnya dan sebagainya.
Sehingga solusi apa yang harus dilakukan seorang istri dalam mengatasi kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suaminya? Jika kita mempunyai masalah, termasuk yang pribadi, jangan segan-segan membagi dengan orang yang terpercaya. Tindakan ini sama sekali bukan perbuatan tak senonoh atau berdosa. Hal ini merupakan bagian dari penyelesaian masalah dan sah adanya dan juga bukan aib, demikian juga agama tidak melarangnya. Yang dinilai buruk dan dilarang ketentuan agama adalah menggunjing persoalan pribadi atau rumah tangga dengan tujuan yang tidak jelas atau buruk.
Mencari penyelesaian guna mencari keadilan adalah hak setiap individu. Sejarah islam telah membeberkan dengan jelas betapa persoalan rumah tangga yang paling rahasia tentang hubungan seksual suami-istri diungkap dan dipermasalahkan secara terbuka dan gambling. Contohnya, persoalan posisi dalam melakukan hubungan seksual. Faktanya masyarakat selama ini, sering kali menutupi perbuatan yang melanggar hak asasi manusia itu dengan dalih agama. Yaitu, komentar ceramah agama atau buku agama sering dikutip untuk menyatakan bahwa persoalan keluarga harus disimpan rapat-rapat, tidak boleh dibeberkan keluar rumah.
III. Analisa Masalah
Melalui latar belakang serta pendapat dan teori yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dalam bab ini akan dicoba untuk menganalisis mengenai permasalahan kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri dalam rumah tangga.
Faktor-faktor apa yang mengakibatkan dominasi laki-laki terhadap istri dalam rumah tangga?
Di dalam masyarakat yang di dominasi laki-laki, hal yang lebih membahayakan justru adalah bentuk-bentuk yang dikategorikan sebagai kekerasan simbolik, yakni kekerasan yang tak kasat mata. Jenis kekerasan ini oleh banyak kaum perempuan bahkan tidak dilihat, atau dipandang dan dirasakan sebagai kekerasan, melainkan sesuatu yang alamiah dan wajar. Dan lebih parah lagi, kondisi ini diperkuat dengan adanya pemahaman ajaran agama secara dogmatis, didukung tradisi budaya dan kepercayaan masyarakat tertentu, dan sebagainya.
Hal ini selain sangat beresiko menciptakan inferioritas dan subrodinasi perempuan atas laki-laki dalam masyarakat, juga mengakibatkan jenis kekerasan simbolik tersebut lebih sulit dicarikan jalan pemecahannya. Dalam agama Kristen kitab kejadian mengisahkan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Dalam agama Islam, ayat Al-Qur’an yang berbunyi al-rijaalu qowamuuna ‘ala nisaai (laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan). Keduanya sering disalah artikan dan dipahami sebagai bentuk inferioritas perempuan dihadapan laki-laki, dan sebagainya. Oleh karena sumber-sumber yang dijadikan referensi merupakan teks suci agama, sebagai wahyu tuhan, maka manusia dianggap harus menerimanya.
Padahal, implementasi konsepsi teologis teks-teks suci dalam kehidupan social, kebanyakan adalah hasil dari penafsiran manusia belaka. Ketika penafsiran berlangsung dan bahkan dilakukan oleh masyarakat yang terstruktur secara patriarchi, yang di dalamnya dominasi laki-laki menjadi status quo yang harus dipertahankan, maka wajar jika hasil penafsiran yang diklaim sebagai kebenaran dari hukum tuhan itu, cenderung menguntungkan kaum laki-laki dan sebaliknya sangat merugikan kaum perempuan.
Banyak ahli tafsir memaknai qawwam sebagai pemimpin, pelindung, penanggung jawab, pendidik, pengatur dan lain-lain yang semakna. Para ahli tafsir itu juga mengatakan, kelebihan yang dimiliki laki-laki atas perempuan adalah karena keunggulan akal dan fisiknya. Padahal, saat ini pandangan tentang kelebihan-kelebiahan tersebut telah terbantah melalui kenyataan riil. Realitas social, membuktikan banyak perempuan yang bisa melakukan tugas-tugas yang selama ini dianggap sebagai monopoli kaum laki-laki, seperti kepala Negara, kepala pemerintahan, gubernur, ketua parlemen, ketua partai politik dan sebagainya.
Al-Qur’an menuntut kemaslahatan dan kejadian dan kedua hal itu bisa terjadi bila kita mampu memposisikan segala sesuatu secara proporsional dan kontekstual. Dengan demikian, QS An-Nisa’ : 34, tidak lain merupakan petunjuk mengenai penerapan kemaslahatan pada situasi dan kondisi riil pada ayat itu diturunkan.
Dengan kenyataan social dewasa ini bahwa pandangan tentang kehebatan laki-laki dan kelemahan perempuan dari sisi intelektual dan profesi tengah digugat dan diruntuhkan, berarti kemaslahatan diletakkan pada kenyataan saat ini.
Faktor-faktor apa yang mengakibatkan tindakan kekerasan suami terhadap istri dalam rumah tangga?
Banyak factor yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam lingkup keluarga. Disamping itu factor penyebabnya beragam, bentuk kekerasannya pun berbeda-beda. Bahkan pada kasus-kasus tertentu sangat unik, walaupun secara umum kekerasan dalam lingkup keluarga mempunyai kesamaan. Faktor penyebab kekerasan dalam lingkup keluarga, misalnya dalam sebuah keluarga sering terjadi karena pertengkaran yang akhirnya meningkat pada kekerasan fisik maupun psikis. Biasanya factor yang paling dominant sebagai pemicu timbulnya tindakan kekerasan tersebut adalah karena factor ekonomi, di mana factor ini sangat rentan fungsinya dalam keluarga, apalagi jika istri sangat bergantung sekali terhadap suami begitu pula sebaliknya.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa perempuan lebih mudah menjadi korban tindak kekerasan dalam lingkup keluarga sendiri terutama dalam kehidupan rumah tangga, di mana laki-laki lebih dominan. Namun posisi perempuan dalam keluarga sesungguhnya tidak terlepas dari system social masyarakat yang melingkupinya. Perbedaan dominasi dan subordinasi salah satu factor penyebab pembentukan pola relasi antara suami dengan istri sehingga pada akhirnya mendorong ke arah konflik keluarga.
Pola hubungan .yang berimplikasi pada “siapa memiliki”, “siapa memutuskan”, dan “siapa mendominasi”, nilai-nilai budaya yang masih bias gender dan jastifikasi tafsir agama dalam memperlakukan seorang istri merupakan factor-faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam keluarga.
Kekerasan terhadap perempuan sebenarnya, bisa saja disebabkan oleh banyak faktor, baik yang bersifat ideologis maupun budaya. Menurut hasil penelitian Rifka Annisa Women Crisis Center, sekurang-kurangnya terdapat tiga faktor utama yang memungkinkan munculnya kekerasan terhadap perempuan yakni :
1. Budaya patriarkhi yang meletakkan laki-laki sebagai makhluk superior dan sebaliknya, perempuan sebagai makhluk inferior.
2. Pemahaman dan penafsiran yang keliru terhadap ajaran dan teks-teks agama.
3. Peniruan (modeling) akibat terbiasa menyaksikan pola komunikasi sosial yang bias gender, yang mengandung banyak bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Jika dilihat dari poin nomor dua, maka kekerasan terhadap perempuan, salah satunya disebabkan faktor pemahaman dan penafsiran yang keliru terhadap ajaran dan teks-teks agama itu sendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat Asma Barlas bahwa dalam islam, ajaran dan teks-teks agama termasuk Al-Qur;an sebenarnya justru mengajarkan kesetaraan dan tidak ada inferioritas berdasarkan gender.
Bahkan lebih jauh menurut Masdar F Mas’udi, penafsiran keliru teks-teks kitab suci terkadang justru menjadi factor yang lebih dominant bagi lahirnya kekerasan terhadap perempuan dibanding dua factor lainnya. Hal ini karena dalam konteks di Indonesia terjadi proses indoktrinasi secara sistematis melalui deunia pendidikan terutama di pesantren-pesantren klasik dan tradisional yang menggunakan kitab kuning sebagai referensi dan kajian utamanya. Dari hasil penelitiannya, Masdar menyimpulkan bahwa berbagai bentuk diskriminasi perempuan yang ada dalam kitab kuning misalnya, kitab kuning uqud dil-lijaini dan kitab qurrotul uyun, antara lain : tentang tata kehidupan social diman kaum perempuan sebagai makhluk yang di nilai hanya separo laki-laki dalam hal aqidah, dalam hal warisan di mana perempuan menerima separo dari yang di terima laki-laki, ketika perempuan terbunuh juga hanya mendapat diyah separo dari nyawa laki-laki. Dalam hal pernikahan, laki-laki boleh menikah terhadap lebih dari satu istri, sementara perempuan hanya satu suami. Belum lagi dalam persoalan hubungan suami istri di mana perempuan terkesan hanya sebagai obyek seksual belaka.[11]
Selain itu, sudah tidak asing lagi bahwa dalam kitab kuning pada umumnya termuat hal-hal yang menempatkan tanggung jawab mencari nafkah bagi suami dalam keluarganya. Kesadaran seperti ini, dalam istilah modern telah memberikan kepada laki-laki suatu posisi supremasi sebagai bojuis, sementara kaum perempuan mewakili proletariat.
IV. Kesimpulan
Dari penjelasan yang telah dikemukakan baik dari pendapat maupun analisa, maka penulis menyimpulkan :
Faktor-faktor yang menjadikan dominasi laki-laki terhadap perempuan adalah :
1.Ego seorang laki-laki yang ingin menjadi pemimpin dan sifatnya yang ingin berkuasa serta merasa lebih kuat dari perempuan, baik itu secara fisik maupun keilmuannya.
2.Pengaruh ajaran agama atas penafsiran bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan.
Kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri dalam rumah tangga disebabkan oleh beberapa factor diantaranya yaitu :
1.Adanya dominasi kekuasaan suami terhadap istri yang dipengaruhi oleh asumsi atas penafsiran kitab-kitab suci dan pemahaman ajaran agama secara dogmatis dan di dukung pula tradisi budaya dan kepercayaan masyarakat tertentu yang menyatakan bahwa kaum laki-laki itu adalah pemimipin bagi kaum perempuan.
2.Perbedaan dominasi dan subordinasi.
3.Faktor yang paling dominan sebagai pemicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga adalah persoalan ekonomi.
Bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri :
1.Kekerasan secara fisik
2.Kekerasan psikologis
3.Kekerasan secara ekonomi
4.Kekerasan seksual
Solusi yang ditawarkan :
1.Diharapkan istri jangan diam saja, apabila ada bentuk kekerasan yang dilakukan suami atau permasalahan keluarga. Artinya, jangan segan-segan untuk minta pertolongan dengan orang yang terpercaya, kerabat, saudara, ataupun tetangga.
2.Diharapkan kaum perempuan dapat berlomba-lomba berprestasi (fashtabiqul khairat) dengan laki-laki, termasuk memperoleh pendidikan setinggi-tingginya, memperkembangkan pengetahuan, wawasan dan keterampilannya sehingga menjadi pribadi yang berguna bagi dirinya sendiri, masyarakatnya, nusa, bangsa dan agamanya.
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Laporan Penelitian, Kekerasan terhadap Perempuan dalam Keluarga Analisis Kasus pada Beberapa Keluarga di Wilayah Ciputat, Kerjasama PSW IAIN Syarif Hidayatullah dengan Mc Gill Project (Jakarta : PSW dan Mc Gill Project, 2000), h. 12
[2] Warkah al Basyar, Mengintip Kekerasan Dalam Rumah Tangga,(Cirebon : Fahmina institute, 2005), Vol.III, h. 1
[3] Farha Ciciek, Ikhtiar Mengatasi kekerasan dalam Rumah Tangga : Belajar dari Kehidupan Rasulullah SAW, (Jakarta : Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999), h. 34
[4] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. 33, h. 266.
[5] Windu Warsan, Kekuasaan dan Kekerasan Menurut John Galtung, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1992), h. 20
[6] Laporan Penelitian, Kekerasan terhadap Perempuan dalam Keluarga Analisis Kasus pada Beberapa Keluarga di Wilayah Ciputat, Kerjasama PSW IAIN Syarif Hidayatullah dengan Mc Gill Project (Jakarta : PSW dan Mc Gill Project, 2000), h. 14.
[7] Jurnal Universitas Paramadina, (Jakarta : Universitas Paramadina, 2006), Vol. 4, No. 2, h.130
[8] Jurnal Universitas Paramadina, (Jakarta : Universitas Paramadina, 2006), Vol. 4, No. 2, h.131
[9] Fatayat NU, Pluralisme, Feminisme dan Gerakan Kesetaraan Gender, Edisi. 6, Tahun III, 2004, h. 6
[10] Fathul Djannah dkk, Kekerasan Terhadap Istri, (Yogyakarta : Lkis dan CIDA-ICIHEF Jakarta dan Pusat Studi Wanita IAIN Sumatra Utara, 2003), h. 16
[11] Jurnal Universitas Paramadina, (Jakarta : Universitas Paramadina, 2006), Vol. 4, No. 2, h.128.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar