Secara Bahasa: Pembatalan ( _________ ), Penghapusan ( _________ )
Secara istilah :“An-Naskhu ialah membatalkan pengamalan dengan suatu hukum syara’ dengan dalil yang datang kemudian dari padanya”.[1]
Sedangkan yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan disebut Mansukh.
Syarat-Syarat Naskh
1). Nasikh harus terpisah dari mansukh, kalau tidak terpisah seperti sifat dan isti’na maka tidak dikatakan nasakh.
2). Nasikh harus lebih kuat atau sama kuatnya dengan mansukh, (Qur’an bisa dinasakhkan dengan Qur’an, hadis dengan hadis)
3). Nasikh harus berupa dalil-dalil syara’
4). Mansukh tidak dibataskan oleh suatu waktu. Misal ayat:
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benag hitam, yaitu fajar…” (QS.Al- Baqarah:187).
5). Mansukh harus hukum syara’ (yang bisa dibatalkan (mansukh) adalah hukum syara’).
Rukun Naskh :
a. Adah Al-Naskh ( __________ ), yaitu pernyataan yang menunjukkan pembatalan (penghapusan) berlakunya hukum yang telah ada.b. Nasikh ( ________ ), yaitu Allah ta’ala, karena dialah yang membuat hukum dan dia pula yang membatalkannya, sesuai dengan kehendaknya.
c. Mansukh ( _________ ), yaitu hukum yang dibatalkan, diahapuskan, atau dipindahkan.
d. Mnasukh ‘anhu ( ____________ ), yaitu orang yang dibebani hukum.[2]
Hikmah Naskh:
Macam-macam Nasakh:
1). Al-Qur’an menasakhkan Al-Qur’an
“ Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan duaratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan seribu dari pada orang-orang kafir …”(QS.Al-Anfal:65).
Ayat ini dinasakhkan oleh ayat;
“ Sekarang Allah telah meringankan kepadamu, dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan, maka jika ada diantara kamu seratus orang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang, dan jika diantaramu ada seribu orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang…”(QS.Al-Anfal:66).
2). Sunnah menasakhkan Sunah
Dalam hal ini ulama sepakat pula, bahwa sunah mutawatir dapat menasakhkan sunah mutawatir dan sunah ahad. Tetapi sebaliknya sunah ahad hanya bias mensakhkan sunah ahad saja. Contoh: misalkan hadis;
“Aku telah melarangmu menziarahi kubur, maka sekarang ziarahlah”.
3). Al-Qur’an menasakhkan As-sunnah
Jumhur Ulama membolehkan ayat Al-Qur’an menasakhkan sunnah. Misalnya perbuatan Nabi dan para sahabat menghadap ke baitul Maqdis dalam shalat dinasakhkan oleh ayat:
“Palingkanlah mukamu kearah Masjidil Haram…” (QS.Al-Baqarah:144).
4). As-Sunnah menasakhkan Al-Qur’an
Jumhur ulama membolehkan As-Sunnah menasakhkan Al-Qur’an, tetapi Imam syafi’I tidak membolehkan ayat Al-Qur’an dnasakhkan oleh As-sunnah, meskipun sunnah itu Mutawatir. Contoh
“ Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan tanda-tanda maut, jika dia menuinggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf…” (QS.Al-Baqarah:180)
Ayat ini menurut jumhur ulama dinasakhkan oleh hadis Mutawatir.
“Ketahuilah tidak ada wasiat untuk ahli waris”.[3]
Cara Mengetahui Nasakh dan Mansukh
Mana yang nasikh dan yang mansukh dari dua nas yang bertentangan, dapat diketahui dengan salah satu cara dibawah ini:- Penegasan yang berbentuk lafadz yang menunjukkan nasakh,seperti firman Allah ta’ala dalam surat Al-anfal:66, ayat itu menasakhkan tetapnya hukum satu lawan sepuluh dalam peperangan antara orang islam dan orang kafir.
- Salah satu dari dua nas itu terbukti terkemudian datangnya dari yang lain dengan pernyataan nabi SAW seperti hadis tentang hukum ziarah.
- Perbuatan Nabi SAW. Seperti beliau merajam Maiz dan tidak menderanya, menasakhkan sabda beliau mengenai dua janda dan duda yang berzinah.
- Ijma’ ulama bahwa salah satu dari nas ituterkemudian datangnya dari yang lain.
- Rawi (orang yang meriwayatkan) menegaskan tanggal datangnya nas yang menjadi nasikh, sedangkan nas yang satu lagi (Mansukh) diketahui datangnya sebelum tanggal itu.[4]
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Zainal Abidin. 1975. Ushul Fiqih untuk MAN dan sederajat. Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Haroen,Nasrun.1997.Ushul fiqih 1.Ciputat:PT.Logos Wacana Ilmu.Karim, Syafi’i.2006. Ushul Fiqih. Bandung : Pustaka Setia.
Usman,Muhlis. 1996. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqiyah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.[1] Zainal Abidin Ahmad, Ushul Fiqih, ( PT. Bulan Bintang,1987), h.133.
[2] Dr.H.Nasrun Haroen, Ushul Fiqih 1,(PT.Logos Wacana Ilmu,1997),h.183.
[3] Zainal Abidin Ahmad, Ushul Fiqih, ( PT. Bulan Bintang,1987), h.137.
[4] Zainal Abidin Ahmad, Ushul Fiqih, ( PT. Bulan Bintang,1987), h.141.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar