Jumat, 26 September 2008

PERINTAH DAN LARANGAN DALAM HADITS

Perintah dalam bahasa Arab disebut amar. Menurut mayoritas ulama usul fikih, amar adalah suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang kedudukannya lebih tinggi kepada pihak yang tingkatannya lebih rendah. Adapun larangan dalam bahasa Arab disebut nahi. Mayoritas ulama usul fikih mendefinisikan nahi sebagai larangan untuk melakukan suatu perbuatan dari pihak yang kedudukannya lebih tinggi kepada pihak yang tingkatannnya.

A. Bentuk-bentuk Perintah
Bentuk-bentuk perintah dalam hadits disampaikan dalam berbagai gaya dan redaksi sebagai:
1. Menggunakan secara tegas kata amara dan yang seakar dengannya. Misalnya hadits Nabi sebagai berikut:

حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ مَيْسَرَةَ حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ

Dari Ibnu Umar r. a. sesungguhnya Nabi saw. Memerintahkan untuk zakat fitri sebelum orang-orang melakukan salat (‘idul fitri) (H.R. Al-Bukhari)

2. Memberitahukan bahwa perbuatan itu diwajibkan atas seseorang dengan memakai kata kutiba (diwajibkan). Misalnya hadits nabi sebagai berikut:

حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ كَثِيرٍ أَبُو دَاوُدَ الْوَاسِطِيُّ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ شِهَابٍ يُحَدِّثُ عَنْ أَبِي سِنَانٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ خَطَبَنَا يَعْنِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُتِبَ عَلَيْكُمْ الْحَجُّ قَالَ فَقَامَ الْأَقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ فَقَالَ فِي كُلِّ عَامٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لَوْ قُلْتُهَا لَوَجَبَتْ وَلَوْ وَجَبَتْ لَمْ تَعْمَلُوا بِهَا أَوْ لَمْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْمَلُوا بِهَا فَمَنْ زَادَ فَهُوَ تَطَوُّعٌ

Dari Ibnu Abbas r. a. berkata: Rasulullah saw memberi khutbah kepada kami, lalu beliau bersabda: wahai manusia diwajibkan atas kalian berhaji, Ibnu Abbas berkata: lalu Al-‘Aqra’ bin Habis bertanya: apakah setiap tahun wahai Rasulullah? Rasul menjawab, seandainya saya mengatakannya maka sungguh diwajibkan, dan seandainya diwajibkan maka kalian tidak akan melaksanakannya, atau tidak mampu untuk melaksanakannya, maka siapa saja yang menambahkan (dalam haji) maka itu menjadi sunnah. (HR Ahmad)

Diriwayatkan juga An-Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ad-Darimi.

3. Menggunakan redaksi pemberitaan (jumlah khabariyah), namun yang dimaksud adalah perintah. Misalnya:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالَا حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ عُثْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
Dari Abi Hurairah r. a. Rasulullah saw bersabda: orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, dan pada setiap sesuatu itu ada kebaikan maka bersegeralah pada apa yang bermanfaat bagimu, dan mintalah tolong kepada Allah, dan jangan merasa lemah jika sesuatu menimpamu, maka janganlah berkata, seandainya aku mengerjakannya begini-begini, tapi katakanlah ketetapan Allah dan apa yang Ia inginkan maka terlaksana, karena sesungguhnya (perkataan) jika membuka amal bagi setan. (HR Muslim)

Diriwayatkan juga Ibnu Majah dan Ahmad.

4. Memakai kata kerja perintah secara langsung. Misalnya
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ الْمُرَادِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ عَنْ حَيْوَةَ وَسَعِيدِ بْنِ أَبِي أَيُّوبَ وَغَيْرِهِمَا عَنْ كَعْبِ بْنِ عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَمِعْتُمْ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِي الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لَا تَنْبَغِي إِلَّا لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِي الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ

Dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, sesungguhnya ia mendengar Nabi saw bersabda: jika kalian mendengar muadzin maka ucapkanlah seperti apa yang ia ucapkan, lalu bersalawatlah kepadaku, karena siapa yang bersalawat kepadaku sekali, maka Allah memberikan ia sepuluh (pahala) kemudian memintalah pada Allah dengan perantaraanku maka baginya adalah syafa’at (pertolongan) (HR. Muslim)

Diriwayatkan juga oleh Al-Tirmidzi, Al-nasa’i, Abu Dawud, dan Ahmad.


5. Menggunakan kata kerja mudari (masa kini dan masa datang) yang disertai dengan lam al-amr (huruf yang berarti perintah)

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ الْجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ

Dari Abdullah bin Umar r. a. sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: jika salah seorang di antara kalian hendak (menunaikan salat) Jumat, maka hendaklah mandi (terlebih dahulu). (HR Al Bukhari)

Diriwayatkan juga at-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad, Malik, Ad-Darimi

6. Menggunakan kata farada (mewajibkan). Misalnya hadis Nabi saw

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ السَّكَنِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَهْضَمٍ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ نَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ

Dari Ibnu Umar r. a., berkata, Rasulullah saw (telah) mewajibkan untuk mengeluarkan zakat al-fithr (sebanyak) satu sha’ kurma atau gandum atas hamba sahaya, orang merdeka, laki-laki, perempuan, anak-anak, dan orang dewasa yang beragama Islam. Beliau menyuruh agar zakat al-fithr ditunaikan sebelum orang-orang pergi melaksanakan salat (Idulfitri). (HR. Al-Bukhari)
HR Muslim, Sahih Muslim, Kitab al-Zakat, Bab Zakat al-fithri ‘alal muslimin min al-tamri wa al-sya’iri, no. 1635

7. Memberi penilaian bahwa perbuatan itu adalah baik. Misalnya

حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ أَخْبَرَنِي عَلْقَمَةُ بْنُ مَرْثَدٍ سَمِعْتُ سَعْدَ بْنَ عُبَيْدَةَ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ عَنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ قَالَ وَأَقْرَأَ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ فِي إِمْرَةِ عُثْمَانَ حَتَّى كَانَ الْحَجَّاجُ قَالَ وَذَاكَ الَّذِي أَقْعَدَنِي مَقْعَدِي هَذَا

Dari Utsman r. a. dari Nabi saw. bersabda: “sebaik-baik dari kalian dalah seseorang yang belajar Al-Quran dan mengajarkannya.

Diriwayatkan juga oleh Al-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu majah, Ahmad dan Al-Darimi.

8. Menjanjikan pahala, surga atau kebaikan yang banyak atas pelakunya. Misalnya
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ الْمُقْرِئُ الْمَكِّيُّ حَدَّثَنَا حَيْوَةُ بْنُ شُرَيْحٍ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْهَادِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي قَيْسٍ مَوْلَى عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ قَالَ فَحَدَّثْتُ بِهَذَا الْحَدِيثِ أَبَا بَكْرِ بْنَ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ فَقَالَ هَكَذَا حَدَّثَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَقَالَ عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ الْمُطَّلِبِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَهُ

Dari ‘Amr bin Ash r. a. berkata, Rasulullah saw bersabda: Apabila seorang hakim dalam memutuskan (hukum) melakukan ijtihad, kemudian (ijtihadnya) benar, maka dia memperoleh dua pahala; dan apabila ia melakukan ijtihad, kemudian ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala. (HR Bukhari)
Diriwayatkan pula oleh Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad.

B. Bentuk-bentuk Larangan
Dalam melarang suatu perbuatan, Nabi Muhammad saw menggunakan berbagai gaya ragam bahasa atau redaksi sebagai berikut:
1. Memakai secara tegas kata naha atau yang seakar dengannya yang secara bahasa berarti “melarang”. Misalnya:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَامٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ خُبَيْبٍ عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَلَاتَيْنِ بَعْدَ الْفَجْرِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw melarang dua salat, setelah fajar sehingga matahari terbit dan setelah asar sehingga matahari terbenam. (HR. Al-Bukhari)
Diriwayatkan pula oleh Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dan Malik.
2. Menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal. Misalnya
حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ قَالَ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ الْمَقْبُرِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا حُرْمَةٌ تَابَعَهُ يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ وَسُهَيْلٌ وَمَالِكٌ عَنْ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
Dari Abu Hurairah r. a. berkata Nabi saw. bersabda: “tidaklah halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untu bepergian selama sehari semalam dengan tanpa disertai mahram.(HR Al-Bukhari)
Diriwayatkan pula oleh Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan Malik.
3. Menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan. Misalnya
حَدَّثَنَا عَبْدَانُ عَنْ أَبِي حَمْزَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ مُسْلِمٍ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ لَمَّا أُنْزِلَتْ الْآيَاتُ مِنْ سُورَةِ الْبَقَرَةِ فِي الرِّبَا خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَقَرَأَهُنَّ عَلَى النَّاسِ ثُمَّ حَرَّمَ تِجَارَةَ الْخَمْرِ

Dari A’isyah berkata, ketika turun beberapa ayat surat Al-Baqarah tentang riba, Nabi saw keluar menuju masjid, lalu membacakan ayatnya pada orag-orang kemudian beliau mengharamkan perdagangan khamr. (HR Al-Bukhari)

Diriwayatkan pula oleh Muslim, Al-Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah Ahmad dan Ad-Darimi.

4. Mengancam pelakunya dengan siksaan pedih.
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ مُسْلِمٍ قَالَ كُنَّا مَعَ مَسْرُوقٍ فِي دَارِ يَسَارِ بْنِ نُمَيْرٍ فَرَأَى فِي صُفَّتِهِ تَمَاثِيلَ فَقَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ
Dari Muslim berkata, kami bersama Masruq di dalam rumah Yasar bin Numair, kemudian ia melihat dalam . . . nya patung-patung, lalu ia berkata, saya mendengar Nabi saw bersabda: sesungguhnya orang-orang yang menerima siksaat paling berat di hadirat Allah pada hari kiamat ialah para pelukis. (HR Bukhari)

Diriwayatkan pula oleh Muslim, Al-Nasa’i, dan Ahmad
5. Menyifati perbuatan itu dengan keburukan. Misalnya,
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ عِرَاكٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ شَرَّ النَّاسِ ذُو الْوَجْهَيْنِ الَّذِي يَأْتِي هَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ وَهَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ

Dari Abu Hurairah ra. ia mendengar Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya seburuk-buruk manusia adalah yang bermuka dua, ia mendatangi orang-orang dengan muka tertentu dan pada orang-orang lain muka yang lain lagi. (HR Bukhari)

Diriwayatkan pula Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad dan Malik


C. Interpretasi terhadap Perintah dan Larangan
Tidak diragukan lagi bahwa Rasulullah saw mempunyai tugas menyampaikan perintah dari Allah. Dalam Alquran disebutkan (QS. Al-Maidah) dan memberi penjelasan terhadap apa-apa yang dimaksud Allah. (QS. Al-Nahl).
Maka sesungguhnya Rasulullah saw menjelaskan apa-apa yang maksud Alquran, kadang-kadang Rasul memberikan penjelasan dengan ucapan, terkadang dengan perbuatan, dan juga kadang-kadang keduanya yakni ucapan dan perbuatan. Seperti perintah salat, Nabi bersabda, (Shallu kama rautumini ushalli) dan perintah haji dengan sabdanya (khudzu ‘anni manasikakum), hal itu merupakan penjelasan atas Alquran yang menjelaskan secara global, membatasi keumumannya.
Muhammad al-Ghazali mengutip disertasi Syeikh Muhammad Al-Madany; tentang cara nenahami sunnah sebagai berikut:
"Di antara sunnah ada yang disyariatkan dan ada pula yang tidak disyariatkan, tidak mungkin dikatakan bahwa Nabi telah larut dalam risalahnya, dan kehilangan sifat kemanusiaannya ketiak beliau berbicara, bergerak dan memerintah atau melarang, semuanya datang dari wahyu. Ini karena risalah yang dibawanya tidak mengeluarkan beliau dari sifat kemanusiaannya. Beliau tetap seperti manusia, memiliki rasa cinta, benci, marah, sedih, lapar, dahaga, santai, capek, mengunjungi dan dikunjungi, menawar dan ditawar dalam jual beli, menceritakan apa yang dilihat dan didengar seperti manusia lain, menceritakan apa yang dilihat dan didengar seperti manusia lain, duduk bersama sahabat dan berbicara seperti biasa yang kadang-kadang hanya bicara tentang silaturrahmi, meminta bantuan kepada orang di sekitarnya baik isteri, pembantu atau sahabat. Ketika berjalan kadang beliau cepat dan terkadang lambat, terkadang menyukai satu warna dari warna-warna yang lain, menyukai satu jenis baju atau makanan dari jenis lain, terkadang istirahat dengan duduk, melakukan kebiasaannya dengan cara-cara tertentu, berbicara tentang medis, pertanian dengan dugaan atau dengan percobaan dari orang lain." Demikianlah segala sesuatu yang datang dari Rasul dalam urusan kehidupan sehari-hari sebagai manusia biasa.
Oleh karena itu para ulama membagi hadits antara yang datang dari kebiasaan nabi dan hadits yang datang untuk syari'at. Mereka berkata bahwa jenis yang pertama tidak menuntut manusia untuk mengikutinya, sedangkan yang jenis yang kedua yaitu hadis untuk syariat menuntut umat Islam untuk mengikutinya baik yang berisfat wajib, haram atau yang lainnya, yang bersifat abadi atau yang sementara dan bersifat umum atau yang khusus.
Para ulama juga menemukan jenis hadis yang statusnya berada di anatara kedua jenis tersebut, apakah ia termasuk yang disyariatkan atau tidak?
Ulama mengatakan: ada beberapa contoh hukum yang masih belum jelas, apakah masalah tersebut merupakan hukum syariat atau bukan. Salah satunya adalah jalan cepat dalam thawaf. Kalangan ahli fikih menyatakan bahwa adalah sunnah, karena Nabi Muhammad melakukannya dalam ibadah haji. Adapun Ibnu Abbas berpendapat bahwa Nabi melakukan demikian adalah untuk kekuatan jiwanya karena kalangan musyrikin ketika melihat kaum muslimin thawaf mereka berkata: "Penyakit panas yang berasal dari tanah Yastrib telah melemahkan mereka." Nabi dan para sahabatnya melakukan lari-lari cepat untuk memperlihatkan kekuatan jiwa mereka yang tidak lemah karena mengidap penyakit, maka mereka melakukan lari-lari cepat ini. Hal ini bukanlah sunnah, oleh karena itu Umar berkata, "Apa hubungannya saya dengan lari-lari kecil ini, kami hanya merenungkan kaum yang telah dimusnahkan oleh Allah."
Akan tetapi para ulama menyebutkan bahwa sahabat Umar walaupun menyatakan demikian, tetapi beliau tidak melarang orang lain untuk melakukan lari-lari cepat tersebut karena beliau takut ada sebab lain yang mensyariatkan lari-lari cepat ini.
Demikian juga perbedaan para ulama terhadap amal perbuatan yang mengiringi ibadah seperti ketika Nabi tetap dalam kendaraannya dalam wukuf di Arafah dan duduk di antara dua sujud pada rakaat pertama dan kedua.
Pendapat para ulama juga berbeda dalam perbuatan Rasulullah yang tidak ada hubungannya sama sekali dalam ibadah, seperti Nabi memanjangkan rambut kepalanya sampai kedua telinganya. Satu golongan berpendapat bahwa perbuatan ini adalah sunnah, adapaun yang lainnya berpendapat bahwa perbuatan tersebut hanyalah kebiasaan saja.
Persis yang disunnahkan di atas, ada perbuatan lain yang dianggap sunnah seperti menipiskan kumis sebagaimana diriwayatkan, bahwa Nabi bersabda, "Cukurlah kumismu dan lebatkanlah jenggotmu". Bahwasanya hubungan antara perintah dan pekerjaann yang dilakukan oleh Nabi dianggap sunnah oleh sebagian manusia, meskipun dia dalam berpakaian atau dalam perilaku.
Menurut M. Syuhudi Isma'il perintah Nabi tersebut relevan untuk orang-orang Arab, Pakistan, dan lain-lain yang secara alamiah mereka dikaruniai rambut yang subur, termasuk di bagian kumis dan jengot. Tingkat kesuburan dan ketebalan rambut milik orang-orang Indonesia tidak sama dengan milik orang-orang Arab tersebut. Banyak orang Indonesia yang kumis dan jenggotnya jarang.
Atas kenyataan itu, ia menyatakan bahwa hadis tersebut harus dipahami secara kontekstual. Kandunga hadis tersebut bersifat lokal.
Sebagian ulama menyatakan bahwa contoh hadis Nabi yang berhubungan dengan fungsi Nabi sebagai Rasulullah adalah berbagai penjelasan Nabi tentang kandungan Alquran, berbagai macam pelaksanaan ibadah, dan penetapan hukum tentang halal haramnya sesuatu.
Untuk hadis yang dikemukakan oleh Nabi dalam kapasitasnya beliau sebagai rasulullah, ulama menyatakan kesepakatan tentang wajib mematuhinya. Untuk hadis yang dikemukakan dalam kapasitasanya beliau sebagai kepala negara dan pemimpin masyarakat, misalnya pengiriman angkatan dan pemungutan dana untuk baitul mal, kalangan ulama ada yang menyatakan bahwa hadis tersebut tidak menjadi ketentuan syariat yang bsersifat umum. Dengan demikian, akal pikiran didorong untuk mewujudkan kemaslahatan berdasarkan petunjuk-petunjuk umum syariah.
Hal serupa juga dinyatakan oleh Hasbi as-Shiddiqi, menurutnya dalam meneliti materi-materi hadis, haruslah dipisahkan, mana hadis irsyad dan mana hadis tasyri’. Kemudian memisahkan antara tasyri’ khash, dengan tasyri’ am, antara tasyri’ yang bersifat insidentil dengan tasyri’ yang bersifat permanent, antara tasyri’ yang bersifat lokal dengan tasyri’ yang bersifat universal.
Apabila diperhatikan dengan saksama tentang materi-materi hadis, maka di antaranya ada yang bersifat anjuran dan ada pula yang bersifat penetapan. Nabi Muhammad saw selain sebagai rasulullah yang menerima wahyu dan menyampaikan kepada umat juga sebagai manusia yang mempunyai kebutuhan yang sama dengan manusia-manusia lainnya.
Dengan dua sifat ini, Nabi bertutur dan Nabi berbuat. Maka segala yag dilaksanakan oleh Nabi sebagai seorang manusia dan hal itu memang termasuk ke dalam kebutuhan-kebutuhan manusia, maka kesemuanya ini Rasul tidak mengerjakannya atas nama Allah dan tidak sebagai Rasulullah. Karenanya apa yang beliau kerjakan itu tidak menjadi hokum umum dan tidak wajib diikuti.
Kemudian apa yang rasul kerjakan dalam fungsinya sebagai seorang Rasul, baik yang beliau kerjakan itu merupakan tasyri’ kully atau tasyri’ juz’iy, dan tak ada keterangan, bahwa tasyri’ itu tasyri’ zamany, yang indisentil, maka inilah yang menjadi hukum umum, dan wajib diikuti oleh segala orang mukallaf.
Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya Kaifa Natamal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah memberikan beberapa petunjuk dan ketentuan umum untuk memahami as-Sunnah an-Nabawiyah (hadits) dengan baik, yakni:
1. Memahami as-Sunnah sesuai Petunjuk al-Qur’an
Untuk dapat memahami as-Sunnah dengan pemahaman yang benar, jauh dari penyimpangan, pemalsuan dan penafsiran yang buruk, maka haruslah memahami hadis sesuai dengan petunjuk Al-Quran, yaitu dalam kerangka bimbingan Ilahi yang pasti benarnya dan tak diragukan keadilannya. "Dan telah sempurnalah kalimat Tuhanmu, dalam kebenaran dan keadilannya. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-Nya dan Dia lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengtahui." (Al-An'am: 115)
Al-Quran merupakan konstitusi dasar yang paling pertama dan utama, yang kepadanya bermuara segala perundang-udangan Islam. Sedangkan As-sunnah adalah penjelasan terinci isi konstitusi tersebut, baik dalam hal-hal yang bersifat teoretis dan ataupun penerapannya secara praktis. Itulah tugas Rasulullah saw; "menjelaskan bagi manusia apa yang diturunkan kepada mereka."
2. Menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama.
Untuk berhasil memahami as-sunnah secara benar, harus dihimpun semua hadis sahih yang berkaitan dengan suatu tema tertentu. Kemudian mengembailkan kandungannya yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengaitkan yang muthlaq dengan yang muqayyad, dan menafsirkan yang 'am dengan yang khash.
Ambillah, sebagai misalanya, hadis-hadis yang berkenaan dengan larangan "mengenakan sarung sampai di bawah mata kaki", yang mengandung ancaman cukup keras bagi pelakunya. Yaitu hadis-hadis yang dijadikan sandaran oleh sejumlah pemuda yang amat bersemangat, untuk menujukan kritik yang tajam terhadap siapa-siapa yang tidak memendekkan tsaub (baju gamis)-nya sehingga di atas mata kaki.
Padahal, seandainya mereka mau mengkaji sejumlah hadis yang berkenaan dengan masalah ini, lalu menghimpun antara yang satu dengan yang lainnya, sesuai dengan tuntutan agama Islam kepada para pengikutnya dalam soal-soal yang menyangkut kebiasaan hidup sehari-hari niscaya mereka akan mengetahui apa sebenarnya yang dimaksud oleh hadis-hadis seperti itu. Dan sebagai akibatnya, mereka akan mengurangi ketegaran sikap mereka dan tidak menyimpang terlalu jauh dari kebenaran, serta tidak mempersempit sesuatu yang sebenarnya telah dilapangkan oleh Allah SWT bagi manusia.
3. Penggabungan atau pentarjihan antara hadis-hadis yang (tampaknya) bertentangan
Pada dasarnya, nash-nash syariat tidak mungkin saling bertentangan. Sebab, kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran. Karena itu, apabila diandaikan juga adanya pertentangan, maka hal itu hanya dalam tampak luarnya saja, bukan dalam kenyataannya yang hakiki. Dan atas dasar itu, wajib untuk menghilangkannya dengan cara sebagai berikut:
Apabila pertentangan itu dapat dihapus dengan cara menggabungkan atau menyesuaikan anatara kedua nash, tanpa harus memaksakan atau mengada-ada, sehingga kedua-duanya dapat diamalkan, maka yang demikian lebih utama daripada harus mentarjihkan keduanya. Sebab pentarjihan berarti mengabaikan salah satu dari keduanya sementara mengutamakan yang lainnya.
Pada dasarnya, nash-nash syariat tidak mungkin saling bertentangan. Sebab, kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran. Karena itu, apabila diandaikan juga adanya pertentangan, maka hal itu hanya dalam tampak luarnya saja, bukan dalam kenyataannya yang hakiki. Dan atas dasar itu apabila pertentangan itu dapat dihapus dengan cara menggabungkan atau menyesuaikan antara kedua nash, tanpa harus memaksakan atau mengada-ada, sehingga kedua-duanya dapat diamalkan, maka yang demikian itu lebih utama daripada harus mentarjihkan antara keduanya. Sebab, pentarjihan berarti mengabaikan salah satu dari keduanya serta mengutamakan yang lainnya.
Sebagai salah satu contoh adalah hadis-hadis yang melarang kaum wanita menziarahi kuburan. Misalnya, hadis dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. ”melaknat kaum wanita ang sering menziarahi kuburan.” (Diriwaatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi yang berkata: ”Hadis ini hasan sahih”, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Hibban dalam shahih-nya).
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Hassan bin Tsabit dengan lafal: ”... para wanita penziarah kuburan.”
Hal itu dikuatkan pula oleh beberapa hadis yang mengandung larangan kaum wanita untuk mengikuti jenazah. Dari sana dapat disimpulkan pula larangan terhadap ziarah kubur bagi wanita.
Walaupun demikian, ada hadis-hadis lainnya yang isinya berlawanan dengan hadis-hadis di atas. Yakni yang dapat dipahami darinya, bahwa kaum wanita dizinkan menziarahi kuburan, sama seperti kaum laki-laki. Di antaranya sabda Nabi saw,:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَاللَّفْظُ لِأَبِي بَكْرٍ وَابْنِ نُمَيْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ أَبِي سِنَانٍ وَهُوَ ضِرَارُ بْنُ مُرَّةَ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا ... الحديث
”Aku pernah melarang kalian menziarahi kuburan; kini ziarahilah.”
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمْ الْآخِرَةَ
Dari Abi Hurairah r.a. berkata, Rasulullah saw bersabda: ”Ziarahilah kuburan-kuburan, sebab hal itu akan mengingatkan kepada maut.”

Dalam hadis-hadis di atas, izin umum tersebut tentunya mencakup kaum wanita juga. Demikian pula hadis yang diriwayatkan oleh Muslim sebagai berikut:

قَالَتْ قُلْتُ كَيْفَ أَقُولُ لَهُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ قُولِي السَّلَامُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَلَاحِقُونَ

Dari Aisyah, katanya: ”Apa yang harus kuucapkan kepada mereka ya Rasulullah? (Yakni apabila menziarahi kuburan). Jawab beliau: ”Katakanlah: ”Salam sejahtera atas kaum mukminin dan muslimin, para penghuni rumah-rumah ini. Semoga Allah merahmati semua kita, yang telah mendahului maupun yang masih tertinggal. Kami, insya Allah, akan menyusul kalian.”(HR Muslim, diriwayatkan juga an-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad)

Juga hadis yang dirawikan oleh Al-Bukhari dan Muslim, dari Anas, bahwa Nabi saw. menjumpai seorang wanita yang sedang menangis di sisi sebuah kubur, lalu beliau berkata: ”Bertakwalah kamu dan bersabarlah!” Wanita itu menjawab: ”Menjauhlah kamu dariku, Engkau tidak mengalami musibah yang kualami”. (Rupa-rupanya ia mengenali Rasulullah saw...)
Dalam hadis itu, Nabi saw. menyatakan ketidaksukaannya kepada sikap si wanita yang tampak kurang sabar dalam menerima musibah, namun beliau tidak melarangnya berziarah.
Di antaranya pula, hadis yang dirawikan oleh al-Hakim, bahwa Fatimah, putri Rasulullah saw., biasa menziarahi kuburan pamannya, Hamzah, setiap hari Jumat. Sesampainya di sana, ia berdoa dan menangis di sisinya.
Meskipun hadis-hadis ini, yang menunjukkan diizinkannya (kaum wanita menziarahi kuburan) lebih sahih dan lebih banyak, dibandingkan dengan hadis-hadis yang melarang, namun menggabungkan semuanya dan berupaya menyesuaikan makna kandungannya, adalah masih mungkin. Yakni dengan mengartikan kata ”melaknat” yang tersebut dalam hadis –sebagaimana dinyatakan oleh Al-Qurtubiy –yang ditujukan kepada para wanita yang amat sering melakukan ziarah. Hal itu sesuai dengan bentuk kata zawwarat, yang berkonotasi ”amat sering”. Menurut Al-Qurtubiy, mungkin sebabnya ialah hal itu dapat mengakibatkan berkurangnya perhatian mereka kepada pemenuhan hak para suami, di samping kemungkinan membawa mereka kepada tabarruj serta meratapi orang-orang yang mati dengan suara keras, dan lain-lainnya lagi. Mungkin dapat dikatakan pula bahwa jika semua itu dapat dihindarkan, maka tak ada salahnya memberi izin kepada mereka. Sebab, soal mengingat mati adalah sesuatu yang diperlukan bagi kaum laki-laki maupun wanita.
4. Memahami hadis dengan mempertimbangkan latar belakangnya, situasi dan kondisinya ketika diucapkan, serta tujuannya.
Di antara cara-cara yang baik untuk memahami hadis Nabi saw, ialah denga memperhatikan sebab-sebab khusus yang melatarbelakanginya diucapkannya suatu hadis, atau kaitannya dengan suatu 'illah (alasan, sebab) tertentu, yang dinyatakan dalam hadis tersebut atau disimpulkan darinya, ataupun dapat dipahami dari kejadian yang menyertainya.
Siapa saja yang mau meneliti dengan saksama, pasti akan melihat bahwa di antara hadis-hadis, ada yang diucapkan berkaitan dengan kondisi temporer beliau khusus, demi suatu maslahat yang diharapkan atau mudarat yang hendak dicegah, atau mengatasi suatu problem yang timbul pada waktu itu.
Ini berarti bahwa suatu hukum yang dibawa oleh suatu hadis, adakalanya tampak bersifat umum dan untuk waktu tak terbatas, namun jika diperhatikan lebih lanjut, akan diketahui bahwa hukum tersebut berkaitan dengan suatu 'illah tertentu, sehingga ia akan hilang dengan sendirinya jika hilang 'llah-nya, dan tetap berlaku jika masih berlaku 'illah-nya.
Di antara cara-cara yang baik untuk memahami hadis Nabi saw. ialah dengan memperhatikan sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi diucapkan suatu hadis, atau kaitannya dengan suatu ’illah (alasan, sebab) tertentu, yang diinyatakan dalam hadis tersebut atau disimpulkan darinya, ataupun dapat dipahami dari kejadian yang menyertainya.
Siapa saja yang mau meneliti dengan saksama, pasti akan melihat bahwa di antara hadis-hadis, ada yang diucapkan berkaitan dengan kondisi temporer khusus, demi suatu maslahat yang diharapkan atau mudarat yang hendak dicegah, atau mengatasi suatu problem yang timbul pada waktu itu.
Ini berarti bahwa suatu hukum yang dibawa oleh suatu hadis, adakalanya tampak bersifat umum dan untuk waktu tak terbatas, namun jika diperhatikan lebih lanjut, akan diketahui bahwa hukum tersebut berkaitan dengan suatu ”illah tertentu, sehingga ia akan hilang dengan sendirinya jika hilang ’illah-nya, dan tetap berlaku jika masih berlaku jika masih berlaku ’illah-nya.
Hal ini memerlukan pemahaman yang mendalam, pandangan yang teliti, pengkajian yang meliputi semua nash, serta wawasan yang luas untuk mengetahui tujuan-tujuan syariat dan hakikat-hakikat agama. Di samping itu, juga diperlukan keberanian moril dan kemantapan kejiwaan untuk mencanangkan kebenaran, meskipun berlwanan dengan apa yang telah menjadi kebiasaan manusia atau telah mereka warisi dari nenek moyang.
Sebagai contoh adalah hadis tentang keharusan wanita disertai mahramnya ketika bepergian jauh. Disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin Abbas, secara marfu’:
حَدَّثَنَا يُونُسُ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَمْرَةَ هِيَ بِنْتُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدِ بْنِ زُرَارَةَ الْأَنْصَارِيَّةُ أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُخْبِرَتْ أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ يُفْتِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَصْلُحُ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تُسَافِرَ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ لَهَا
”Tidak dibolehkan seorang perempuan bepergian jauh kecuali ada seorang mahram bersamanya. ”

’Illah (alasan) di balik larangan ini ialah kekhawatiran akan keselamatan perempuan apabila ia bepergian jauh tanpa disertai seorang suami atau mahram. Ini mengingat bahwa di masa itu, orang menggunakan kendaraan unta, baghal atau keledai dalam perjalanan mereka, seringkali mengarungi padang pasir yang luas atau daerah-daerah yang jauh dari hunian manusia. Dalam kondisi seperti itu, seorang perempuan yang bepergian tanpa disertai suami ataupun mahramnya, tentunya dikhawatirkan keselamatan dirinya, atau –paling tidak –namanya dapat tercemar.
Akan tetapi, jika kondisi seperti itu telah berubah, seperti di masa sekarang, ketika perjalanan jauh ditempuh dengan menggunakan pesawat terbang yang mengangkut seratus orang penumpang atau lebih; atau kereta api yang mengangkat ratusan musafir, maka tidak ada lagi alasan untuk mengkhawatirkan keselamatan wanita yang bepergian sendiri. Karena itu, tidak ada salahnya, ditinjau dari segi syariat, jika ia lakukannya. Dan ini tidak dapat dianggap sebagai tindak pelanggaran terhadap hadis tersebut. Bahkan hal seperti itu, menguatkan kandungan hadis marfu’ yang dirawikan oleh Bukhari dari ’Adiy bin Hatim.
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْحَكَمِ أَخْبَرَنَا النَّضْرُ أَخْبَرَنَا إِسْرَائِيلُ أَخْبَرَنَا سَعْدٌ الطَّائِيُّ أَخْبَرَنَا مُحِلُّ بْنُ خَلِيفَةَ عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ قَالَ بَيْنَا أَنَا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ أَتَاهُ رَجُلٌ فَشَكَا إِلَيْهِ الْفَاقَةَ ثُمَّ أَتَاهُ آخَرُ فَشَكَا إِلَيْهِ قَطْعَ السَّبِيلِ فَقَالَ يَا عَدِيُّ هَلْ رَأَيْتَ الْحِيرَةَ قُلْتُ لَمْ أَرَهَا وَقَدْ أُنْبِئْتُ عَنْهَا قَالَ فَإِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ لَتَرَيَنَّ الظَّعِينَةَ تَرْتَحِلُ مِنْ الْحِيرَةِ حَتَّى تَطُوفَ بِالْكَعْبَةِ لَا تَخَافُ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ ... الحديث
”Akan datang masanya ketika seorang masanya ketika seorang perempuan penunggang unta pergi dari (kota) Hirah menuju Ka’bah, tanpa seorang suami bersamanya”.

Diriwayatkan pula oleh Muslim, Nasa’i dan Ahmad
Hadis ini, pada hakikatnya menubuatkan tentang datangnya masa kejayaan Islam sebagai mercusuar yang memancarkan sinarnya di seluruh alam, serta meratanya keamanan di seantero dunia. Dan sekaligus juga menunjukkan dibolehkannya seorang perempuan bepergian tanpa suami atau mahram dalam keadaan seperti itu. Begitulah yang disimpulkan oleh Ibn Hazm dari hadis tersebut.
Maka tidaklah mengherankan bahwa ada sebagian ulama yang membolehkan kaum wanita pergi untuk menunaikan ibadah haji, tanpa disertai oleh suami atau mahram. Yaitu jika ia bersama sejumlah wanita lainnya yang dipercayai, atau dalam rombongan yang aman. Dan itulah yang telah dilakukan oleh Aisyah serta beberapa dari Ummahat al-mukminin (istri-istri Nabi saw.) di masa kekhalifahan Umar. Waktu itu, tak seorang pun mahram ada bersama mereka. Mereka pergi bersama Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin’Auf, seperti yang disebutkan dalam Shahih Bukhari.
Bahkan di antara para ulama ada yang menyatakan cukup satu orang perempuan tepercaya saja yang menyertainya.
Dan sebagian lagi berkata: ”Dibolehkan baginya bepergian secara sendirian, apabila perjalanan itu cukup aman”. Pendapat seperti ini seperti disahihkan oleh pengarang Al-Muhadz-dzab dari kalangan pengikut mazhab Syafi’i.
5. Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan sasaran yang tetap.
Di antara penyebab kekacauan dan kekeliruan dalam memahami As-Sunnah, ialah bahwa sebagian orang mencampuradukkan antara tujuan atau sasaran yang hendak dicapai oleh As-Sunnah dengan prasarana temporer atau lokal ang kadangkala menunjang pencapaian sasaran yang dituju. Mereka memusatkan diri pada pelbagai prasarana ini, seolah-olah hal itu memang merupakan tujuan yang sebenarnya. Padahal, siapa saja yang benar-benar berusaha untuk memahami As-Sunnah serta rahasia-rahasia yang dikandungnya, akan tampak baginya bahwa yang penting adalah apa yang menjadi tujuannya yang hakiki. Itulah yang tetap dan abadi. Sedangkan yang berupa prasarana, adakalanya berubah dengan adanya perubahan lingkungan, zaman, adat kebiasaan, dan sebagainya.
Dari sini tidak sedikit orang-orang yang mempelajari As-Sunnah dan mencurahkan perhatiannya kepada at-thibb an-nabawi (cara pengobatan yang dinisbahkan kepada Nabi saw.) selalu memfokuskan penelitian dan perhatian mereka kepada pelbagai obat-obatan, tumbuh-tumbuhan, biji-bijian, dan sebagainya, yang pernah disarankan oleh Nabi saw. untuk dijadikan obat bagi beberapa penyakit fisik tertentu.
Karena itu, mereka sering menyebutkan beberapa hadis yang dikenal tentang hal itu, seperti:
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ أُمَّ قَيْسٍ بِنْتَ مِحْصَنٍ الْأَسَدِيَّةَ أَسَدَ خُزَيْمَةَ وَكَانَتْ مِنْ الْمُهَاجِرَاتِ الْأُوَلِ اللَّاتِي بَايَعْنَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ أُخْتُ عُكَاشَةَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِابْنٍ لَهَا قَدْ أَعْلَقَتْ عَلَيْهِ مِنْ الْعُذْرَةِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مَا تَدْغَرْنَ أَوْلَادَكُنَّ بِهَذَا الْعِلَاقِ عَلَيْكُمْ بِهَذَا الْعُودِ الْهِنْدِيِّ فَإِنَّ فِيهِ سَبْعَةَ أَشْفِيَةٍ مِنْهَا ذَاتُ الْجَنْبِ يُرِيدُ الْكُسْتَ وَهُوَ الْعُودُ الْهِنْدِيُّ وَقَالَ يُونُسُ وَإِسْحَاقُ بْنُ رَاشِدٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَلَّقَتْ عَلَيْهِ
”Pentingkanlah al-’ud al-hindiy ini (sejenis kayu dari India) sebab ia mengandung tujuh macam kesembuhan.”

Diriwayatkan pula Muslim, Tirmidzi, Nasa’i Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, Malik dan ad-Darimi.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ خَالِدِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ خَرَجْنَا وَمَعَنَا غَالِبُ بْنُ أَبْجَرَ فَمَرِضَ فِي الطَّرِيقِ فَقَدِمْنَا الْمَدِينَةَ وَهُوَ مَرِيضٌ فَعَادَهُ ابْنُ أَبِي عَتِيقٍ فَقَالَ لَنَا عَلَيْكُمْ بِهَذِهِ الْحُبَيْبَةِ السَّوْدَاءِ فَخُذُوا مِنْهَا خَمْسًا أَوْ سَبْعًا فَاسْحَقُوهَا ثُمَّ اقْطُرُوهَا فِي أَنْفِهِ بِقَطَرَاتِ زَيْتٍ فِي هَذَا الْجَانِبِ وَفِي هَذَا الْجَانِبِ فَإِنَّ عَائِشَةَ حَدَّثَتْنِي أَنَّهَا سَمِعَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ هَذِهِ الْحَبَّةَ السَّوْدَاءَ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ إِلَّا مِنْ السَّامِ قُلْتُ وَمَا السَّامُ قَالَ الْمَوْتُ
”Pentingkanlah al-habbah as-sauda’ (jintan hitam) ia adalah obat bagi semua penyakit, selain maut.”

Diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah dan Ahmad.

حَدَّثَنَا أَبُو أَحْمَدَ الزُّبَيْرِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنِ النُّعْمَانِ الْأَنْصَارِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ وَكَانَ قَدْ أَدْرَكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اكْتَحِلُوا بِالْإِثْمِدِ الْمُرَوَّحِ فَإِنَّهُ يَجْلُو الْبَصَرَ وَيُنْبِتُ الشَّعْرَ
”Bercelaklah dengan itsmid, sebab ia menjernihkan penglihatan mata dan menumbuhkan bulu.”
Diriwayatkan pula Abu Dawud dan ad-Darimi.
Menurut Yusuf Qardawi, resep-resep seperti ini bukanlah ”jiwa” dari at-thibb an-nabawi. Jiwanya adalah memelihara kesehatan manusia, hidupnya, keselamatan badannya, kekuatannya, serta haknya untuk beristirahat apabila merasa lelah, makan apabila lapar, dan berobat apabila sakit. Dan bahwa upaya berobat tidak bertentangan dengan keimanan kepada takdir ataupun bertawakal kepada Allah.
Setiap sarana dan prasarana, mungkin saja berubah dari suatu masa ke masa lainnya; dan dari suatu lingkungan ke lingkungan lainnya; bahkan semua itu pasti mengalami perubahan. Oleh sebab itu, apabila suatu hadis menunjuk kepada sesuatu yang menyangkut sarana atau prasarana tertentu, maka itu hanyalah untuk menjelaskan tentang suatu fakta, namun sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengikat kita dengannya, ataupun membekukan diri kita di sampingnya.
6. Membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya dan yang bersifat majaz dalam memahami hadis.
Ungkapan dalam bentuk majaz (kiasan, metafor) banyak sekali digunakan dalam bahasa Arab. Dalam ilmu-ilmu balaghah (retorika) dinyatakan bahwa ungkapan dalam bentuk majaz, lebih berkesan daripada ungkapan dalam bentuk biasa. Sedangkan Rasul saw adalah seorang berbahasa Arab yang paling menguasai balaghah. Ucapan-ucapannya adalah bagian dari wahyu. Maka tak mengherankan apabila –dalam hadis-hadisnya –beliau banyak menggunakan majaz, yang mengungkap maksud beliau dengan cara sangat mengesankan.
Ketika Rasulullah saw. berkata kepada istri-istri beliau: ”Yang paling cepat menyusulku di antara kalian –sepeninggalku –adalah yang paling panjang tangannya,” mereka mengira bahwa yang dimaksud oleh beliau, adalah yang benar-benar bertangan paling panjang. Karena itu, seperti dikatakan oleh Aisyah r.a.; mereka saling mengukur, siapa di antara mereka yang tangannya paling panjang.
Bahkan menurut beberapa riwayat, mereka mengambil sebatang bambu untuk mengukur tangan siapakah yang paling panjang?!
Padahal Rasulullah saw. tidak bermaksud seperti itu. Yang dimaksud beliau dengan ”tangan yang paling panjang” ialah yang paling banyak kebaikannya dan kedermawanannya.
Dan itulah yang terbukti kemudian. Di antara istri-istri beliau yang paling cepat meninggal dunia –sepeninggal beliau –adalah Zainab binti Jahsy r.a. Ia dikenal sebagai wanita yang sangat terampil, bekerja dengan kedua tangannya lalu menyedekahkan hasilnya.
Yusuf Qardawi mengiungatkan bahwa penakwilan atas hadis-hadis –serta nash-nash secara umum –dengan menyimpangkannya dari arti zahir (lahiriah)-nya, adalah termasuk tidakan riskan. Karena itu, tidak sepatutnya dilakukan oleh seorang ilmuwan Muslim kecuali apabila hal itu memang benar-benar diperlukan berdasarkan penilaian akal atau karena tuntutan teks keagamaan.
Di antaranya adalah hadis ang berbunyi:
حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ أَخْبَرَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي سُلَيْمَانَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حُبْشِيٍّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَطَعَ سِدْرَةً صَوَّبَ اللَّهُ رَأْسَهُ فِي النَّارِ سُئِلَ أَبُو دَاوُد عَنْ مَعْنَى هَذَا الْحَدِيثِ فَقَالَ هَذَا الْحَدِيثُ مُخْتَصَرٌ يَعْنِي مَنْ قَطَعَ سِدْرَةً فِي فَلَاةٍ يَسْتَظِلُّ بِهَا ابْنُ السَّبِيلِ وَالْبَهَائِمُ عَبَثًا وَظُلْمًا بِغَيْرِ حَقٍّ يَكُونُ لَهُ فِيهَا صَوَّبَ اللَّهُ رَأْسَهُ فِي النَّارِ حَدَّثَنَا مَخْلَدُ بْنُ خَالِدٍ وَسَلَمَةُ يَعْنِي ابْنَ شَبِيبٍ قَالَا حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي سُلَيْمَانَ عَنْ رَجُلٍ مِنْ ثَقِيفٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ يَرْفَعُ الْحَدِيثَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ
”Barangsiapa menebang sebuah pohon bidara, maka Allah akan menghujamkan kepalanya di dalam neraka.”

Hadis tersebut diriwayatkan dengan berbagai versi. Tetapi sebagaian dari para pemberi syarah menakwilkannya dengan mengatakan bahwa yang dimaksud adalah ’menebang pohon bidara yang berada di kawasan haram (yakni di sekitar Makkah atau Madinah). Padahal kata ’pohon bidara’ di sini disebutkan secara nakirah (tak tertentu) dalam kerangka syarat (yakni sebagai keterangan kata ’barangsiapa’). Karenanya, ia mencakup setiap pohon bidara, di mana pun ia berada. Namun, sebagian dari para pemberi syarah menganggap ancaman hukuman itu terlalu berar, sehingga mereka membatasinya pada para penebang pohon bidara di kawasan haram saja.
Akan tetapi Yusuf Qardawi lebih cenderung untuk berpendapat bahwa hadis tersebut mengingatkan akan suatu perkara penting yang dilupakan orang. Yaitu, pentingnya pepohonan –khususnya pohon bidara –di negeri Arab; mengingat besarnya faedah yang dirasakan manusia darinya, baik sebagai peneduh ataupun karena buahnya, terutama di daerah padang pasir. Oleh sebab itu, menebang pohong seperti itu akan menghilangkan banyak keuntungan bagi banyak orang. Dan upaya membiarkannya di tempatnya, dalam bahasa sekarang, tentunya termasuk ”memelihara lingkungan hidup” yang dianggap amat penting. Sedemikian sehingga untuk itu dibentuklah kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi khusus, di samping diselenggarakannya seminar-seminar serta konferensi-konferensi untuk menunjangnya.

7. Membedakan antara alam gaib dan alam kasatmata.
Di antara kandungan As-Sunnah, adalah hal-hal yang berkaitan dengan alam gaib, yang sebagiannya menyangkut makhluk-makhluk yang tidak dapat dilihat di alam ini. Misalnya, malaikat ang diciptakan oleh Allah SWT untuk melakukan berbagai macam tugas tertentu. ”...Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri...” (Al-Muddatstsir: 31)
Dan seperti itu pula: ’Arsy, Kursiy, Lauh dan Qalam. Dan sebagian lagi dari hal-hal gaib ini bersangkutan dengan kehidupan di alam barzakh, dan sebagian lagi berkaitan dengan kehidupan akhirat.
Semua ini, atau sebagian besarnya, menjadi bahan pembicaraan Al-Quran. Namun As-Sunnah berbicara tentangnya secara lebih luas, dengan menguraikan –secara rinci –apa yang disebutkan oleh Al-Quran dalam garis besarnya saja.
8. Memastikan makna dan konotasi kata-kata dalam hadis.
Adalah penting sekali, untuk dapat memahami As-Sunnah dengan sebaik-baiknya, memastikan makan dan konotasi kata-kata yang digunakan dalam susunan kalimat As-Sunnah. Sebab, konotasi kata-kata tertentu adakalanya berubah dari suatu masa ke masa lainnya, dan dari suatu lingkungan ke lingkungan lainnya. Ini diketahui terutama oleh mereka yang mempelajari perkembangan bahasa-bahasa serta pengaruh waktu dan tempat asalnya.
Adakalanya suatu kelompok manusia menggunakan kata-kata tertentu untuk menunjuk kepada makna-makna tertentu pula. Dan tentunya tidak ada kebenaran sama sekali dalam hal ini. Akan tetapi yang ditakutkan di sini adalah apabila mereka menafsirkan kata-kata tersebut ang digunakan As-Sunnah (atau juga dalam Al-Quran) sesuai dengan istilah mereka yang baru (atau yang hanya digunakan di kalangan mereka saja). Di sini akan timbul kerancauan akan kekeliruan.
Sebagai contoh, kata tashwir (pembuatan gambar atau pembentukan rupa) yang disebutkan dalam beberapa hadis sahih yang disepakati. Apa kira-kira yang dimaksud dengannya dalam hadis-hadis yang mengancam para mushawwir (pembuat gambar) dengan azab yang amat pedih?
Tidak sedikit dari kalangan orang-orang yang menyibukkan dirinya dengan hadis dan fiqih, memasukkan dalam ancaman ini, para ahli foto (yang dalam bahasa Arab disebut mushawwir) yang menggunakan kamera mereka untuk mengambil gambar-gambar tertentu.
Apakah penamaan mereka yang menggunakan kamera ini dengan sebutan mushawwir dan pekerjaan mereka tashwir, sudah ada sejak zaman dahulu kala dalam bahasa Arab? Tentunya tak seorang pun akan menyatakan bahwa ketika bangsa Arab mulai mengenal kata ini, telah terlintas dalam benak mereka mengenai hal tersebut. Jelas bahwa penamaan seperti ini hanyalah berdasarkan kebiasaan setempat semata-mata.
Dan tidak ada seorang pun akan berkata bahwa ini adalah penamaan berdasarkan syariat. Sebab, seni fotografi ini sama sekali belum dikenal masa tasyri’. Maka tak mungkin kata tersebut (dalam hadis) dimaksudkan untuk ditujukan kepada si ahli foto, sedangkan ia belum ada pada waktu itu.

Menurut M. Syuhudi Isma’il, larangan melukis dan memajang lukisan yang dikemukakan oleh Nabi itu sesungguhnya mempunyai latar belakang hukum (’illat al-hukum). Pada zaman Nabi, masyarakat belum lama terlepas dari kepercayaan menyekutukan Allah, yakni penyembahan kepada patung dan semacamnya. Dalam kapasitasnya sebagai rasulullah, Nabi Muhammad berusaha keras agar umat Islam terlepas dari kemusyrikan tersebut. Salah satu cara yang ditempuh ialah dengan mengeluarkan larangan memproduksi dan memajang lukisan. Yang diancam sisksaan berat tidak hanya yang memproduksi luksisan saja, tetapi juga yang memajangnya.
Kalau ’illat al-hukum-nya memang demikian, maka pada saat umat Islam tidak lagi dikhawatirkan terjerumus ke dalam kemusyrikan, khususnya dalam bentuk penyembahan terhadap lukisan, maka membuat dan memajang lukisan dibolehkan.
Ekses dari pemahaman secara kontekstual tersebut dapat saja timbul. Misalnya saja, lukisan dilukis pada saat masyarakat berkeakinan bahwa menyembah patung adalah musyrik. Di tempat lain atau tatkala sikap masyarakat telah berubah, lukisan itu lalu disembah oleh orang. Kalau yang demikian itu terjadi, maka apakah pelukisnya terlepas dari tanggung jawab atas penyembahan terhadap lukisannya? Yang salah memang orang yang menyembah lukisan tersebut, tetapi bagaimana pun juga sang pelukis tidak dapat mengelak dari tanggung jawab.
M. Quraish Shihab mengutip pendapat Al-Syatibi, dalam pasal ketiga karyanya, Al-Muwafaqat, tentang perintah dan larangan pada masalah ketujuh, menguraikan tentang perintah dan larangan syara’. Menurutnya, perintah tersebut ada yang jelas dan ada yang tidak jelas. Sikap para sahabat menyangkut perintah tersebut ada yang jelas dan ada yang tidak jelas, sikap para sahabat menyangkut perintah Nabi yang jelas pun berbeda.a da yang memahaminya secara tekstual dan ada pula yang secara kontekstual.
Suatu ketika, Ubay ibn Ka’b, yang sedang dalam perjalanan menuju masjid, mendengar nabi saw. bersabda, “Ijlisu (duduklah kalian)” dan seketika itu juga Ubay duduk di jalan. Melihat hal itu, Nabi yang mengetahui hal ini lelau bersabda kepadanya, “zadaka Allah tha’atan. Di sini, Ubay memahami hadis tersebut secara tekstual.
Imam Syafi’i dinilai sangat ketat dalam memahami tekas hadis, tidak terkecuali dalam bidang muamalat. Dalam hal ini, Al-Syafi’i berpendapat bahwa pada dasarnya ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw., harus dipertahankan bunyi teksnya, walaupaun dalam bidang muamalat, karena bentuk hokum dan bunyi teks-teks adalah ta’abbudy, sehingga tidak boleh diubah. Maksud syariat sebgai maslahat harus dipahami secara terpadu dengan bunyi eks, kecuali jika ada petunjuk yang mengalihkan arti lahiriah teks.
Kajian ’illat, dalam pandangan Al-Syafi’i, dikembangkan bukan untuk mengabaikan teks, tetapi untuk pengembangan hukum. Karena itu, kaidah al-hukm yaduru ma’a illatih wa ‘adam, (keteapan hokum selalu berkaitan dengan ‘illat (motifnya). Bila motifnya ada, hukumnya bertahan; dan bila motifnya gugur, hukumnya pun gugur), hanya dapat diterapkan olehnya terhadap hasil qiyas, bukan terhadap bunyi teks Al-Quran dan Hadis.
Imam Abu Hanifah lain pula pendapatnya. Beliau sependapat dengan ulama-ulama lain yang menetapkan teks-teks keagamaan dalam bidang ibadah harus dipertahankan, tetapi dalam bidang muamalat, tidak demikian. Bidang ini menurutnya adalah ma’qul al-ma’na, dapat dijangkau oleh nalar. Kecuali apabila ia merupakan ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan perincian, maka ketika itu bersifat ta’abbudi juga. Teks-teks itu, menurutnya, harus dipertahankan, bukan saja karena akal tidak dapat memastikan mengapa teks tersebut yang dipilih, tetapi juga karena teks tersebut diterimaatas dasar qath’iy al-wurud. Dengan alas an terakhir ini, sikapnya terhadap teks-teks hadis menjadi longgar. Karena seperti dikemukakan di atas, periwayatan lafalnya dengan makna dan penerimaannya bersifat zahnniy.
Berpijak pada hal tesebut di atas, Imam Abu Hanifah tidak segan-segan mengubah ketentuan yang tersurat dalam teks hadis, dengan alasan kemaslahatan. Fatwanya yang membolehkan zakat fitrah dengan nilai, atau dengan mmebnarkan jeabsahan hubungan perkawinan dengan lafal hibah atau jual beli, adalah penjabaran dari pandangan di atas. Walaupun demikian,beliau tidak membenarkan pembayaran dam tamattu’ dalm haji, atau qurba dengan nilai (uang) karena kedua hal tersebut bernilai ta’abbudiy, yakni pada penyembelihannya.

D. Pendekatan Tekstual dan Kontekstual dalam Memahami Hadits
Menurut petunjuk al-Qur’an, Nabi Muhammad saw selain dinyatakan sebagai rasulullah, juga dinayatkan sebagai manusia biasa. Dalam sejarah, Nabi Muhammad berperan dalam banyak fungsi, antara lain sebgai rasulullah, kepala negara, pemimpin masyarakat, panglim perang, hakim, dan pribadi. Oleh karena itu, dala memahami suatu hadits perlu dikaitkan juga dengan peran Nabi ketika hadis itu terjadi.
Nabi Muhammad saw hidup di tengah-tengah masyarakat. Komunikasi dengan masyarakat terjadi tidak hanya satu arah saja, yakni dari Nabi kepada umatnya, tetapi juga dua arah secara timbal balik. Tidak jarang, Nabi Muhammad menerima pertanyaan para sahabatnya. Bahkan, Nabi Muhammad pada kesempatan tertenu memberi komentar terhadap peristiwa yang sedang terjadi. Dengan demikian, terjadinya hadis Nabi aa yang didahului oleh sebab tertentu dan ada yang tanpa sebab. Di samping itu, terjadinya hadis Nabi ada ang bersifat umum dan ada yang berkaitan erat dengan keadaan khusus. Dalam al-Qur’an dinatakan bahwa dalam menyampaikan ajaran Islam, Nabi mendapat bimbingan dari Allah. Bimbingan itu misalnya berupa perintah agar Nabi dalam berdakwah berlaku bijaksana. Perintah Allah itu pastilah dilaksanakan dengan sempurna oleh nabi sebab tingkat kepatuhan Nabi sangat tinggi. Sekiranya Nabi mengalami kekeliruan dalam menjalankan perintah Allah, niscaya Allah segera memberikan petunjuk perbaikannya. Dengan demikian, maka hadis Nabi dapat dinilai sebagai bagian dari bukti kebijaksanaan Nabi dalam menyampaikan ajaran agama Allah.
Dalam berinteraksi dengan As-Sunnah (Hadis), Yusuf Qardawi mengemukakan tiga prinsip sebagai berikut:
Pertama, meneliti dengan saksama tentang ke-sahih-an hadis yang dimaksud sesuai dengan acuan ilmiah yang telah ditetapkan oleh para pakar hadis yang dipercaya. Yakni meliputi sanad dan matannya, baik yang berupa ucapan Nabi saw., perbuatannya, ataupun persetujuannya.
Kedua, dapat memahami dengan benar nash-nash yang beasal dari Nabi saw. Sesuai dengan pengertian bahasa (Arab) dan dalam rangka konteks hadis tersebut serta sabab wurud (diucapkannya) oleh beliau. Juga dalam kaitannya dengan nash-nash Al-Quran dan As-Sunnah yang lain, dan dalam kerangka prinsip-prinsip umum serta tujuan-tujuan universal Islam.
Ketiga, memastikan bahwa nash tersebut tidak bertentangan dengan nash lainnya yang lebih kuat kedudukannya, baik yang berasal Al-Quran, atau hadis-hadis lain yang lebih banyak jumlahnya, atau lebih sahih darinya, atau lebih sejalan dengan ushul.
M. Syuhudi Ismail dalam memberikan penjelasan tentang hadis Nabi yang tekstual dan kontekstual melihat dari bentuk matan suatu hadis. Menurutnya hadis Nabi ada yang berbentuk jami al-kalim (jamaknya: jawami' al-kalim, yakni ungkapan yang singkat, namun padat makna), tamsil (perumpamaan), bahasa simbolik (ramzi), bahasa percajkapan (dialog), ungkapan analogi (qiyasii), dan lain-lain. Ini dimaksudan untuk menjelaskan salah satu kekhususan yang dimiliki oleh hadis Nabi.
Selain meihat dari matan hadis, ia menjelaskan kandungan hadis dihubungkan dengan dengan fungsi Nabi Muhammad. Dalam memahami hadis Nabi, selanjutnya ia mengikuti petunjuk Nabi dengan dihubungkan dengan latar belakang terjadinya suatu hadis. Jika dalam dalam suatu hadis yang tampak saling bertentangan maka hadis tersebut dijelaskan dengan mengikuti petunjuk hadis Nabi.
Menurut pendapat M Syuhudi Ismail, ia menyimpulkan bahwa ternyata matan hadis Nabi dan kandungan petunjuknya harus dipahami secara tekstual saja dan karenanya, tidak diperlukan pemahaman secara kontesktual. Untuk matan hadis tertentu lainnya, kandungan petunjuknya diperlukan pemahaman secara kontekstual. Dalam pada itu, ada pula matan hadis yang dapat dipahamai secara tesktual dan kontekstual sekaligus. Dengan memahami hadis Nabi secara tekstual dan kontekstual, maka menjadi jelaslah bahwa dalam Islam, ada ajaran yang bersifat univeral, temporal, dan lokal.
Dalam melakukan pilpihan pemahaman yang dinilai tepat, diperlukan kegiatan pencarian qarinah-qarinah atau indikasi-indikasi yang relevan dengan matan hadis yang bersangkutan dilihat dari segi-segi yang berhubungan dengannya. Untuk menentukan suatu qarinah, diperlukan kegiatan ijtiha; dan kegiatan pencarian qarinah itu barulah dilakukan setelah diketahui secara jelas bahwa sanad hadis yang bersangkutan berkualitas sahih, taau minimal hasan.
Keberadaan hadis Nabi yang mengandung petunjuk secara tekstual dan kontekstual tersebut pada dasarnya tidak terlepas dari kebijkasanaan Nabi di bidang dakwah dan dalam rangka penerapan tahap-tahap ajaran Islam. Kebijaksanaan Nabi yang demikian ini dapat dipahami juga sebgai petunjuk yang mengandung implikasi pemikiran tentang pentingnya peranan berbagai disiplin pengetahuan, baik yang telah dijangkau pengembangannya oleh ulama selama ini, maupun yang belum terjangkau.
Berbagai disiplin pengetahuan itu penting tidak hanya dalam hubungannya dengan upaya pemahaman petunjuk ajaran islam menurut teksnya dan konteksnya saja, tetpai jugadalam hubungannnya dengan metode pendekatan yang harus digunakan dalam rangka dakwah dan tahap-tahap penerapan ajaran Islam. Dalam pada itu, karena pengetahuan selalu berkembang dan heterogenitas kelompok masyarakat selalu terjadi, maka kegiatan dakwah dan penerapan ajaran Islam yang kontekstual menuntut penggunanna pendekatan sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan ekadaan masyarakat. Jadi, di satu segi perlu sellau dilaksanakan kegiatan ijtihad; dan di segi yang lain, para mujtahid memikul tanggung jawab untuk emmahami dan emmnafaatnkan berbagai teori dari berbagai disiplin pengetahuan, termasuk ilmu-ilmu sosial, mislanya sosiologi, antropologi, psikologi dan sejarah. Dengan demikian, akan semakin jelas keberadaan ajaran Islam yang universal, temporal dan lokal.
Pemahaman antara para ulama di atas juga berbeda berkaitan dengan suatu teks hadits. Ada yang memahaminya secara tekstual dan bahkan dipraktekan oleh para sahabat Nabi saw. Memerintahkan sahabatnya untuk pergi ke perkampungan Bani Quraizhah. Sebelum berangkat, beliau berpesan: “ La yushaliyanna ahadukum al- ashra illa fi Bani Quraizhah” (Janganlah ada salah seorang di antara kamu yang shalat Ashar,kecuali diperkampungan Bani Quraizhah).
Perjalanan ke perkampungan tersebut ternyata begitu panjang, sehingga sebelum mereka tiba di tempat yang dituju, waktu Ashar telah habis. Disini, mereka merenungkan kembali apa maksud pesan Nabi di atas. Ternyata sebagian memahaminya sebagai perintah untuk bergegas dalam perjalanan agar dapat tiba di sana pada waktu masih Ashar. Jadi, bukan seperti bunyi teksnya yang melarang shalat Ashar walaupun belum tiba di tempat yang dituju.
Tetapi sebagian yang lain memahaminya secara tekstual. Oleh karena itu, mereka baru melakukan shalat Ashar setelah waktu Ashar berlalu, karena mereka baru tiba di perkampungan Bani Quraizhah (tempat an ditunjuk oleh teks perintah Nabi) setelah wakt Ashar berlalu.
Memang benar, bahwa ulama mengenal istilah asbab al-wurud, yakni seba diucapkan atau dipernkannya sebuah hadis –dengan kata lain “konteks sebuah hadis”. Namun, tidka jarang konteks dimaksud tidak diketahui secara pasti, atau kabur bagi sebagian peneliti, sehingga menimbulkan kekeliruan pemahaman. Sebagian ulama memahami sabda Nabi, “man akala lahma jazurin falyatwadhdha” (siapa yang makan daging unta hendaklah berwudhu), sebagai argumenasi (dalil) batalnya wudhu akibat mkan daging unta. Pemahaman ini ketilru akibat tidak jelasnya konteks capan nabi itu baginya.
Imam Al-Qarafi dianggap sebagai orang pertama yang memilah-milah ucapan dan sikap Nabi Muhammad saw. Menurutnya, Nabi saw. terkadang berperan sebagai Imam Agung, Qadhi (penetap hokum yang bijaksana), atau Mufti yang amat dalam pengetahuannya.
Pendapat di atas, bagi penganut paham kontekstual dijabarkan dan dikembangkan lebih jauh, sehingga setiap hadis harus dicari konteksnya, apkah ia diucapkan/dipernaka oleh manusia agung itu dalam kedudukan beliau sebagai.
1. Rasul, dan karena itu pasti benar, sebab bersumber dari Allah SWT.
2. Mufti, yang memberi fatwa berdasarkan pemahama dan wewenang yang diberikan Allah SWT kepadanya. Dan ini pun pasti benar serta berlaku umum bagi setiap muslim.
3. Hakim, yang memutuskan perkara. Dalam hal ini putusan tersebut walaupun secara formal pasti benar, namun secara material adakalanya keliru. Hal ini diakibatkan oleh kemampuan salah satu pihak yang bersengketa dalam neuutup-nutupi kebenaran, sementara di sisi lain ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang bersengketa.
4. pemimpn suaau masyarakat, yang menyesuaikan sikap, bimbingan dad an petunjuknya sesuai dengan kondisi dan budaya masyarakat yang beliau emui. Dalam hal ini, sikap dan bimbingan tersebut pasti benar dan sesuai dengan masyarakatnya. Namun bagi masyarakat yang lain, mereka dapat mempelajari nilai-nilai yang terkandung dalam petunjuk dan bimbingan itu untuk diterapkan sesuai dengan kondisi masing-masing masyarakat.
5. pribadi, baik karena beliau: (a) memiliki kekhususan dan hak-hak tertentu yang dianigerahkan atau dibebankan oleh Allah dalam rangka tugas kenabiannya, seperti kewajiban shalat malam atau kebolehan menghimpun lebih dari empat orang istri dalam satu waktu yang bersamaan; maupun karena (b) kekhususan-kekhususan yang diakibatkan oleh sifat manusia, yang berbeda antara seorang dengan yang lain, seperti perasaan suka atau tidak suka terhadap sesuatu. Soal yang terakhir ini tidak menjadi fokus perhatian utama mereka yang menitikberatkan pandangannya pada ucapan atau sikap yang berkaitan dengan hukum.

Orang dapat berbeda pendapat tentang penjabaran ini. Namun, agaknya tidak terelakkan untuk memilah-milah ucapan dan sikap Nabi saw. karena hal yang semcama inilah yang dilakukan oleh para sahabat beliau sendiri. Berikut ini bebrapa contohnya:
Jabir bin Abdillah bermohon kepada Nabi saw. agar beliau bersedia berbicara kepada sekian banyak pedagang dengan tujuan untuk membeaskan ayah Jabir dari utang-utangnya . para pedagang yang menyadari bahwa upaya nabi tersebut hanya sekedar saran, menolak saran tersebut.
Buraidah bersikeras untk meminta cerai dari suaminya, walaupun ia telah dinasihati oleh Nabi saw. Hal ini karena ia menyadari bahwa nasihat Nabi tersebut bukan merupakan kewajiban agama yang harus dilaksanakan.
Ketika Nabi saw. memilih lokasi tempat bermarkas pasukannya dalam Perang Badar, Al-Khubbab bin Al-Mundzir bertanya apakah lokasi ini merupakan pilihan yang didasari oleh petunjuk Ilahi, ataukah pilihan yang didasari oleh pertimbangan akal dan strategi perang? Ketika Nabi saw. menjawab bahwa itu adalah hasil penalarannya, Al-Khubbab mengusulkan lokasi lain yang lebih tepat, dan usulnya itu diterima oleh Nabi saw.
Demikianlah, terlihat bahwa sejak semula pemilihan dalam sikap dan ucapan Nabi saw. telah dikenal oleh sahabat-sahabat beliau sendiri. Oleh karenanya jika terdapat perbedaan dalam memahami suatu hadis, maka hal ini tidak perlu dipermasalahkan, sepanjang masing-masing pendapat disertai dengan argument yang dapat dipertanggungjawabkkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TEMUKAN MAKALAH/ARTIKEL YANG ANDA CARI DI SINI:
Custom Search

Posting Terkini