Kamis, 23 Oktober 2008

Pengertian dan Asal-usul Tasawuf

Pengertian dan Asal-usul Tasawuf
1. Pengertian dan Asal-usul Tasawuf
Menurut bahasa, istilah tasawuf berasal dari kata shaf, shuf, dan shuffah. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan (shaffan) yang teratur seakan-akan mereka seperti bangunan yang tersusun kokoh.”

Jika dilihat dari asal kata shaf, maka tasawuf berarti menyusun barisan di jalan Allah. Shuf adalah bulu domba yang sering digunakan oleh pemimpin Yahudi dan Kristen sebagai simbol kesederhanaan. Jika ditinjau dari asal kata shuf, maka tasawuf berarti hal yang identik dengan kesederhanaan.

Shuffah adalah tempat duduk kecil yang terbuat dari kayu atau batu yang digunakan oleh para sahabat Nabi saw sehingga mereka disebut Ahlus-shuffah. Tasawuf diyakini berasal dari kebiasaan para sahabat Nabi saw tersebut. Kesimpulannya, tasawuf adalah barisan-barisan yang senantiasa berada di jalan Allah dan hidup sederhana dengan mencontoh teladan para sahabat Nabi saw.

Ada beberapa ulama yang telah mendefinisikan istilah tasawuf, antara lain: Abu Muhammad al-Jariri, al-Kattani, al-Ruwaim, Dzun-Nun al-Mishri, dan al-Junaid. Abu Muhammad al-Jariri berkata, “Tasawuf adalah memasuki akhlak yang baik dan keluar dari akhlak yang buruk.” Al-Kattani berkata, ”Tasawuf adalah akhlak. Barangsiapa bertambah baik akhlaknya, bertambah baik pula tasawufnya.”

Al-Ruwaim berkata, “Tasawuf adalah membiarkan diri bersama Allah menurut apa yang dikehendaki-Nya.” Sedangkan Dzun-Nun al-Mishri berkata, “Sufi adalah orang yang tidak berpayah-payah meminta dan tidak kecewa oleh penolakan.” Jadi, tasawuf bisa didefinisikan sebagai pendidikan tentang bagaimana seorang hamba harus berakhlak mulia serta menyerahkan urusannya kepada Allah.


2. Maqamat dan Ahwal
Menurut bahasa, maqamat berarti tahapan. Sedangkan menurut istilah, maqamat adalah tahapan rohani yang ditempuh oleh para salik untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan ahwal adalah keadaan mental yang dirasakan oleh para salik sebagai anugerah dari Allah. Maqam merupakan usaha, sedangkan hal merupakan anugerah.

Abu Nasr al-Sarraj berkata, “Maqam adalah kedudukan menusi di sisi Allah yang masuk ke hati, sesuatu yang dirasakan karena ketulusan mengingat Allah.”

Ada beberapa istilah dalam maqamat dan ahwal, yaitu: tobat, wara’, zuhud, faqir, sabar, tawakal, rida, mahabbah, dan makrifat. Tobat. Orang yang menempuh jalan sufi terlebih dahulu harus bertobat dari dosa yang dilakukan oleh anggota badan ataupun tersembunyi dalam hati. Wara’. Meninggalkan segala sesuatu yang syubhat. Zuhud. Mengosongkan hati dari cinta terhadap dunia.

Faqir. Kesadaran bahwa ia hanya membutuhkan Allah. Sabar. Bersabar dalam menjalankan perintah, meninggalkan larangan, dan atas nikmat yang diberikan oleh-Nya. Tawakal. Menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah. Rida. Menerima dengan senang hati segala apa yang ditakdirkan Allah. Mahabbah. Mencintai Allah. Makrifat. Mengenal Allah ‘seutuhnya’, disebut juga tajalli.

3. Takhalli, Tahalli, dan Tajalli
Takhalli berarti mengosongkan jiwa dari sifat-sifat buruk, seperti: sombong, dengki, iri, cinta dunia, riya’, dan sebagainya. Tahalli berarti menghiasi jiwa dengan sifat-sifat mulia, seperti: kejujuran, kasih sayang, tolong menolong sabar, ikhlas, dan sebagainya. Setelah menempuh takhalli dan tahalli, sampailah para pengamal tasawuf kepada maqam tajalli. Menurut bahasa, tajalli berarti pernyataan atau penampakkan. Sedangkan menurut istilah, tajalli adalah terbukanya tabir yang menghalangi hamba dengan Tuhan sehingga hamba menyaksikan tanda-tanda kekuasaan-Nya.

Ahli tasawuf berkata bahwa tasawuf dalah menjalani takhalli, tahalli, dan tajalli. Jalan yang ditempuh oleh para sufi adalah jalan takhalli, tahalli, dan tajalli. Mengosongkan jiwa dari sifat buruk, menghiasi jiwa dengan akhlak yang baik dan bertujuan untuk menyaksikan dengan penglihatan hati bahwa Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya. Manfaat dari takhalli dan tahalli adalah mempererat tali silaturahim antar-umat manusia.

4. Hasil Observasi Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah

4.1 Pendahuluan
Ini adalah hasil observasi dan wawancara mengenai pengajian Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah yang dipimpin oleh Beben Muhammad Abbas atau Ust. Beben yang kami wawancarai mengenai Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah.

Acara dilaksanakan di kediaman H. Mulyono yang dimulai setelah salat magrib hingga tengah malam dengan diiringi zikir. Acara manaqiban dimulai dengan pembacaan ayat suci Alquran beserta terjemahnya, pembacaan tanbih atau wasiat dari mursyid, pembacaan doa tawassul, dan ceramah yang dibawakan oleh Ust. Beben.

4.2 Struktur Anggota Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah
Berikut ini adalah struktur anggota Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyya di kediaman Bapak H. Mulyono.
Ketua yayasan : H.A Dradjat
Wakil ketua yayasan : H. Mulyono dan Zulkifli, SE.
Sekretaris : Nadi Mape
Bidang ilmu dan dakwah : Ust. Sudjana
Shahibul-Bait : H. Mulyono dan Hj. Nilaningrum
Alamat : Pinang Griya Permai C 97 RT 9 RW 5 Ciledug, Tangerang.


4.3 Tasawuf dan Tarekat
Tasawuf dan tarekat merupakan dua hal yang sangat berkaitan. Tasawuf adalah ilmu tentang tarekat yang bersifat teoritis, sementara tarekat adalah jalan yang harus ditempuh dalam pengamalan tasawuf yang bersifat praktis dan pengamalan. Jadi, seseorang tidak dapat bertasawuf tanpa tarekat dan tidak dapat bertarekat tanpa tasawuf.

Tasawuf dan tarekat merupakan jalan untuk mencapai jiwa yang pada akhirnya akan mendapat rida Allah. Orang yang tidak mengikuti tarekat jelas berdosa karena ia tidak jelas ke mana tujuan hidupnya. Agar tetap istiqâmah dalam menjalankan perintah Allah, sebagian umat Islam mengikuti pengamalan tarekat seperti yang dipimpin oleh Beben Muhammad Abbas.

Istilah ‘tasawuf’ dan ‘tarekat’ memang tidak ada pada zaman Nabi saw. Namun, esensi ajaran tasawuf merupakan ajaran Islam itu sendiri, mengajarkan manusia untuk tidak bergantung pada hal-hal yang bersifat keduniaan. Jadi, tasawuf dan tarekat bukan termasuk bid’ah karena hanya istilahnya saja yang tidak ada di zaman Nabi saw. Dengan demikian, menurut pandangan kaum Sufi, Nabi saw ialah Pemuka para Sufi. Salah satu kelompok pengamalan tarekat ini adalah Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah. Dinamakan demikian karena pendirinya adalah Syekh Abdul Qadîr Jaylâni dan muridnya, Syekh Naqsyabandî..

4.4 Mursyîd
Dalam sebuah kelompok tarekat, ada seseorang yang disebut mursyîd, yaitu guru besar yang menjadi panutan dalam suatu jamaah tarekat. Mursyîd dalam Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah ialah Shahîbul-Wafâ’ Tajul-‘Arifîn atau Abah Anom, pimpinan Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya yang diyakini oleh para jamaah Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah sebagai kekasih Allah karena semasa hidupnya beliau tidak pernah melakukan dosa, terutama mendurhakai orangtua.

Tidak ada syarat tertentu berkenaan dengan pengangkatan seorang mursyîd, kecuali Islam, berakal, balîgh, dan sudah di-talqîn. Mursyîd, yang hanya ada satu orang dalam sebuah jamaah tarekat, dipilih secara spontan oleh para ikhwân. Pengangkatan seorang mursyîd bergantung pada penilaian dan pandangan para ikhwân. Jika ada seseorang mengaku atau menajukan diri sebagai mursyîd, maka ucapannya tertolak karena hal itu merupakan suatu kesombongan yang jelas-jelas bertentangan dengan Alquran dan Sunah Nabi saw..

Sebagaimana sikap seorang murid kepada gurunya, para ikhwân pun sangat menghormati mursyîd karena beliau adalah yang dianggap paling berilmu di antara para jamaah dan tidak ada unsur pengkultusan di dalamnya.

4.5 Manâqib
Manâqib adalah mengisahkan kembali kehidupan para kekasih Allah untuk diambil hikmah dan dijadikan teladan. Dalam Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah, dikisahkan Manâqib Syekh ‘Abdul Qâdir Jaylâni karena beliau telah dianggap sebagai kekasih Allah dan pelanjut Nabi saw.
Manâqib diawali dengan pembacaan ayat-ayat suci Alquran, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan nasihat-nasihat (tanbih) yang dinisbatkan kepada Sang Mursyîd. Setelah itu, dilanjutkan dengan doa kepada Allah dengan ber-tawassul kepada Syekh ‘Abdul Qâdir Jaylâni, Syekh Naqsyabandî, dan Sang Mursyîd dan diakhiri dengan pembacaan otobiografi Syekh ‘Abdul Qâdir Jaylâni. Tujuannya adalah untuk membangun akhlak yang lebih baik. Salah seorang penyusun kisah-kisah manâqib Syekh ‘Abdul Qâdir Jaylâni ialah Ja’far Barzanjî.

Dalam manâqib, terdapat kisah-kisah yang tidak logis. Misalnya, kisah seekor unta yang berbicara kepada Syekh ‘Abdul Qâdir Jaylâni. Namun, menurut Ust. Beben, hal tersebut merupakan suatu karâmah yang Allah berikan kepada kekasih-Nya. Wajib bagi para ihkwân meyakini kisah-kisah tersebut meskipun tetap diperbolehkan untuk mempertanyakan kebenarannya. Manâqib diadakan di rumah karena jika diadakan di mesjid, tidak semua orang sepaham dengan mereka, justru hal itu akan menimbulkan perpecahan.

4.6 Menjadi Ikhwân Tarekat
Untuk menjadi ikhwân, seseorang diwajibkan terlebih dahulu di-talqîn di hadapan para jamaah. Talqîn merupakan janji setia kepada sorang syekh, sama halnya dengan baiat. Semua orang Islam yang berakal dan baligh boleh di-talqîn. Setelah di-talqîn, terjadilah apa yang disebut dengan rabîthah, yakni keterikatan terhadap amanat Sang Mursyîd. Dalam sejarah, Nabi Muhammad saw. Sebagaimana para sahabat tidak sedikit yang mengingkari baiat, para ikhwân pun demikian. Akibatnya, orang tersebut tidak memiliki pegangan yang kuat.

Talqîn tidak menyebabkan pengkultusan karena semata-mata janji setia untuk bersama-sama menegakkan Kalimah Tauhid. Setelah dipastikan seorang mursyîd adalah kekasih Allah, maka mursyîd dapat memberikan syafâat pada Hari Kiamat kepada para muridnya dengan seizin Allah.

4.7 Wirid
Dalam pengamalannya, ada pembacaan wirid atau zikir-zikir yang dilakukan secara jahr dan menggoyang-goyangkan kepala ke atas (sambil mengucapkan “lâ”), kanan (sambil mengucapkan “ilâha”), kiri (sambil mengucapkan “illâ”), dan ke bawah (sambil mengucapkan “Allâh”). Maknanya adalah pengakuan bahwa tidak ada yang layak untuk disembah kecuali Allah. Inilah yang menjadi dasar Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah. Setelah melakukan ritual tersebut, timbullah ketenangan dalam hati. Para ikhwân pun bertasbih dengan mengetukkan tangan ke lantai. Maknanya adalah supaya lisan dan hati senantiasa mengingat Allah.


4.8 Kesimpulan
Selama Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah, atau aliran apapun, masih berdiri dalam keyakinan akan ke-Esaan Allah dan kepamungkasan kerasulan Muhammad saw, maka hal itu sah-sah saja. Tidak ada alasan untuk menghentikan ritual-ritual mereka.

Para pendahulu Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah pun sangat berjasa dalam mengusir penjajahan dari negara Indonesia dan sepatutnyalah kita berterima kasih atas jasa mereka dan bersyukur kepada Allah SWT karena Dia telah menjadikan mereka sebagai salah satu penyelamat bangsa.


----------------------

Pengertian dan Asal-usul TasawufPengertian dan Asal-usul TasawufPengertian dan Asal-usul TasawufPengertian dan Asal-usul TasawufPengertian dan Asal-usul TasawufPengertian dan Asal-usul TasawufPengertian dan Asal-usul TasawufPengertian dan Asal-usul TasawufPengertian dan Asal-usul TasawufPengertian dan Asal-usul TasawufPengertian dan Asal-usul TasawufPengertian dan Asal-usul TasawufPengertian dan Asal-usul TasawufPengertian dan Asal-usul TasawufPengertian dan Asal-usul TasawufPengertian dan Asal-usul TasawufPengertian dan Asal-usul Tasawuf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TEMUKAN MAKALAH/ARTIKEL YANG ANDA CARI DI SINI:
Custom Search

Posting Terkini